Senin 29 Apr 2013 06:30 WIB
Resonansi

Untuk Apa Demokrasi Bila Rakyat Kelaparan

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Penerapan sistem demokrasi kini mulai dipertanyakan oleh rakyat di negara-negara Arab yang baru saja mengalami Al Rabi'ul Al Araby (The Arab Spring). Yang terakhir ini adalah nama lain dari revolusi rakyat yang telah berhasil menggulingkan para penguasa diktatator-otoriter semacam Husni Mubarak di Mesir, Zainul Abidin bin Ali di Tunisia, Ali Abdullah Saleh di Yaman, dan Muammar Qadafi di Libia.

Nama-nama ini telah berkuasa puluhan tahun di negaranya namun tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Atau dengan kata lain, kekuasaan mereka yang sangat lama justru sebuah malapetaka yang menyengsarakan bangsanya

Itu sebabnya ketika ada seorang pemuda Tunisia bernama Mohammad Bouazizi yang membakar diri karena kemiskinannya langsung mendapatkan simpati rakyat. Aksi bakar diri itu bahkan telah menyulut aksi-aksi demonstrasi besar-besaran yang kemudian menggulingkan kekuasaan rezim Presiden Zainul Abidin bin Ali.

Bouazizi adalah lulusan universitas. Namun, karena susah mencari pekerjaan seperti pemuda Tunisia pada umumnya, ia lantas berjualan sayur dan buah dengan gerobak keliling. Sial baginya, karena gerobaknya pun dirazia oleh aparat pemerintah. Di puncak putus asa kesulitan hidup itulah ia kemudian nekat melakukan aksi bakar diri.

Simpati dan rasa senasib dan sepenanggungan dengan Bouazizi ini kemudian dengan cepat menjalar ke negara-negara Arab lainnya yang ekonominya tidak lebih baik dari Tunisia. Rakyat pun bergolak. Revolusi rakyat Arab kemudian meruntuhkan sejumlah rezim penguasa yang memperkaya diri dan keluarganya di atas penderitaan rakyatnya itu.

Sayangnya, setelah negara-negara yang terkena tsunami revolusi rakyat tersebut berganti penguasa secara demokratis, nasib rakyat pun tak kunjung membaik. Yang berganti hanyalah elit para penguasa. Rakyat kebanyakan tetap saja sengsara. Para penguasa sibuk dengan kekuasaannya, sementara rakyat sibuk bagaimana makan untuk besok hari.

Di Tunisia, angka pengangguran masih tinggi. Harga kebutuhan sehari-hari semakin tak terjangkau oleh rakyat. Belum lagi kekerasan yang terus meningkat, baik oleh jamaah kecil radikal, oposisi, maupun oleh penjahat kambuhan yang digerakkan oleh rezim punguasa lama. Hal yang hampir sama juga terjadi di Mesir, Yaman, Libia, dan negara-negara Arab lainnya.

Sejumlah warga di negara-negara Arab yang menerapkan sistem demokrasi rakyat, seperti dilaporkan media Al Sharq Al Awsat edisi pekan lalu, kini pun mulai mempertanyakan mengenai hakikat demokrasi tersebut. Yakni, apa gunanya demokrasi apabila rakyat tetap miskin dan lapar.

Apa manfaatnya demokrasi jika yang berganti nasib baik hanya para politisi dan rezim penguasa sementara rakyat kebanyakan tetap sengsara. Rakyat pun kini mulai membanding-bandingkan antara kehidupan di era rezim penguasa diktator-otoriter dengan era pemerintahan yang dipilih secara demokratis sekarang ini.

Bagi rakyat kebanyakan tampaknya memang tidak peduli siapa atau kelompok apa atau partai apa yang memerintah. Mereka juga tidak peduli dengan sistem pemerintahan: apakah dimokrasi, kerajaan, atau apa pun namanya. Yang mereka pentingkan adalah penguasa/pemerintah yang bisa mensejahterakan rakyat, memberi keamanan dan kenyamanan. Penguasa yang bisa memberi keadilan dan kemakmuran kepada rakyat. “Bila para penguasa di negara-negara Al Rabi'ul Araby sekarang ini tidak segera dapat memperbaiki ekonomi rakyat, saya khawatir akan muncul aksi-aksi rakyat yang lebih besar dan membahayakan. Bila itu terjadi maka akibatnya demokrasi yang sedang tumbuh di sejumlah negara Arab akan berantakan,” ujar politisi Tunisia, Al Thayib Al Bakush, dalam sebuah konferensi mengenai masa depan demokrasi di dunia Arab di Rabat, Maroko, pekan lalu.

Namun, sejumlah pengamat di Timur Tengah yang diwawancarai media Mesir, Al Ahram, tetap berkeyakinan bahwa demokrasi yang sedang tumbuh sekarang ini masih merupakan sistem yang terbaik bagi negara-negara The Arab Spring. Simtem ini minimal menjamin bahwa kedaulatan benar-benar di tangan rakyat. Penguasa yang buruk akan dihukum oleh rakyat pada pemelihan umum berikutnya.

Al Ahram pun menyimpulkan bahwa dibutuhkan waktu yang lama hingga demokrasi di negara-negara Arab bisa berjalan dengan baik. Bukan hanya politisi yang harus belajar tentang demokrasi. Rakyat pun perlu belajar bagaimana memilih pemimpin yang baik. Demokrasi yang baik mensyaratkan masyarakat bisa menerima kemenangan dan kekalahan. Yang menang merangkul yang kalah dan yang kalah mendukung yang menang. “Tidak seperti sekarang. Yang menang ingin berkuasa mutlak dan yang kalah terus mengganggu kekuasaan yang menang,” ujar Hamdin Shobahi, salah seorang tokoh oposisi Mesir.

Tampaknya para politisi di negara-negara Al Robi'ul Al Araby perlu belajar ke Turki, yang menurut sejumlah pengamat Timur Tengah, masih merupakan salah satu negara demokratis terbaik di kalangan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam. Turki dimaksud adalah era pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan.

Semula Erdogan merupakan Wali Kota Istambul. Berkat keberhasilannya membangun dan mensejahterakan warga Istambul, Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK) yang ia dirikan kemudian memenangkan pemilu di Turki dan mengantarkannya menjadi perdana menteri. Di tangan PM Erdogan, ekonomi Turki tumbuh pesat. Atas 'jasa'nya itu, Rakyat Turki kemudian 'menhadiahi' Erdogan jabatan perdana menteri hingga beberapa periode. Hingga kini ia sudah berkuasa di Turki lebih dari 10 tahun. Diperkirakan ia masih akan menjadi penguasa Turki hingga beberapa tahun ke depan berkat keberhasilannya membangun Turki dan mensejahterakan rakyatnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ࣖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Baqarah ayat 260)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement