REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yudi Latif
Tibalah kita pada fase sejarah yang murung. Di negara ini, korupsi dan kebohongan bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral kolektif tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara. Lebih merisaukan lagi, seperti memenuhi nubuat Adolf Hitler dalam Mein Kampf 1925), “Sebuah massa besar dari sebuah negara lebih mudah jatuh sebagai korban manipulasi pembohong besar ketimbang pembohong kecil.”
Dengan korupsi dan kebohongan sebagai pilar utama negara, setiap usaha memperjuangkan pemerintahan yang bersih, transparansi dan akuntabilitas publik seperti menegakkan benang basah. Kehidupan publik tidak memiliki landasan untuk bisa saling percaya. Di republik korup dan bohong, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati negara dan temannya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya, timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri.
Sejak 1952, Sukarno telah mengingatkan tentang lima macam krisis yang bisa mematikan perkembangan demokrasi. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang memaguti kehidupan negara. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik tak berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara gagal menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara miskin visi dan wawasan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari moralitas seperti terpisahnya air dengan minyak. Adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru berlomba menghancurkan gejag.
Mengenai musabab krisis, Sukarno mengingatkan untuk tidak begitu mudah mengalamatkan semua itu pada kehidupan perekonomian yang belum beres. ”Lihatlah pada waktu pendudukan Jepang. Adakah satu waktu di dalam sejarah kita belakangan ini yang perekonomian kita lebih kocar-kacir, lebih morat-marit, lebih berantakan daripada di zaman pendudukan Jepang itu?”
Lagi pula, perekonomian para penyelenggara negara sekarang ini tidak bisa dikatakan serba kekurangan. Bukankah gaji dan aneka tunjangan terus dilambungkan tanpa rasa malu di sela-sela memburuknya perekonomian rakyat?
Sebab utama dari semua krisis ini karena politik sebagai teknik terus dikembangkan, tetapi politik sebagai etik diabaikan. Yang berkembang adalah politik sebagai seni manipulasi, bukan politik sebagai seni kebaikan hidup. Pusat kepeduliannya berhenti sebagai usaha mengelola pencitraan, bukan mengelola kenyataan.
Bahasa politik menjadi siasat untuk membuat kebohongan terkesan kebenaran, kelambanan terkesan kehati-hatian, ketidakbertanggungjawaban terkesan ketidakintervensian, ketidakseriusan terkesan kesabaran, ketidakmampuan terkesan ketergangguan, pengkhianatan terkesan sebagai korban.
“Kebohongan” untuk tujuan kebaikan memang dimungkinkan dalam politik. Akan tetapi, kedunguan politik terjadi manakala pemimpin percaya bahwa rakyat selalu bisa dibohongi. Konsistensi dalam inkonsistensi akan menimbulkan sikap apriori dalam diri rakyat, bahwa apa pun ucapan pemimpin, sekalipun sekali-kali ada benarnya, akan dipandang sebagai kebohongan.
Sepandai-pandainya menutupi kebohongan, jika hal itu terus berulang akan melahirkan banjir kebohongan yang secara cepat atau lambat akan menjebol tabir penutup. Karena korupsi dan kebohongan biasanya dikerjakan secara berantai, maka sekali suatu mata rantainya terkuak akan menyeret rangkaian persekongkolannya. Terkuaknya megaskandal Bank Century dan korupsi Nazaruddin pun dapat menyeret daftar panjang keterlibatan unsur-unsur lainnya, yang jika sumbu apinya tak segera diputus, tidak mustahil bara kasus ini bisa menjalar hingga ke lingkaran dalam kekuasan. Bila secara legal formal pucuk pimpinan pemerintah dinyatakan tidak bersalah, risiko politiknya pada tahap ini pun sudah terjadi. Hampir segala unsur dalam masyarakat sipil dan bahkan masyarakat politik tidak lagi memercayai Presiden dalam komitmennya untuk memberantas korupsi.
Krisis kepercayaan publik pada pusat kekuasaan ini mengindikasikan bahwa sulitnya pemulihan krisis yang Indonesia hadapi hari ini terutama bukan karena defisit sumber daya dan orang pintar, melainkan karena bangkrutnya moral capital dari para pemimpin politik. Terlalu sedikit panutan dan terlalu banyak pengkhianat membuat jagat politik kehilangan pahlawan. Tatkala nama pahlawan disebutkan, kita terpaksa harus menoleh ke batu nisan. Pahlawan terlanjur dikuburkan, meninggalkan jagat politik dalam kealpaan panduan. Mereka yang mendambakan teladan, terpaksa harus mencari di dunia rekaan.