Jumat 10 May 2013 06:39 WIB
Resonansi

Wanita Bertangan Besi yang Memiliki Hati

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Tangan kirinya pernah patah. Tapi ia layak dijuluki wanita bertangan besi. Ia berhati singa, namun ia memimpin dengan hati. Ketegasan dan kelembutan, kekeraskepalaan dan kebaikhatian. Seakan ada kontras karakter. Namun ia mampu memadukannya. Jadilah Surabaya disulap dengan cepat dalam tiga tahun ini. Tak lagi ada banjir. Hijau, bersih, dan tertata.

Tri Rismaharini. Dialah wanita itu. Tangannya patah saat ia ikut turun membersihkan got. Ia juga terkena kutu air. Ia tipikal orang lapangan. Bisa jadi ini akibat pengaruh masa mahasiswanya sebagai pendaki gunung. Ia turun dari mobilnya jika menemui kemacetan. Ia mendorong mobil jika ada mobil mogok di jalan. Ia menyeret dahan pohon yang tumbang. Ia mengecat pagar jalan dan taman. Ia dan keluarganya diancam dibunuh karena menerapkan e-government. Tak mudah lagi orang yang ingin main-main anggaran. Dari situ ia bisa berhemat banyak. Ia bisa membangun sekolah-sekolah dengan bagus. Ia membangun perpustakaan. Ia membangun puluhan pasar kaki lima. Ia membangun hutan kota. Ia membangun taman-taman kota. Ia juga menggratiskan pendidikan dari sejak play group hingga SLTA. Anak-anak dari orangtua yang cacat mendapat bantuan makanan.

Ia hampir dicopot dari jabatannya karena menaikkan pajak reklame. Ia diadili DPRD dan terkena hak angket. Ia juga menolak pembangunan jalan tol yang membelah kota. Kali ini ia menghadapi gubernur. Ia tak ingin kota Surabaya kehilangan keindahan karena pajak reklame yang murah. Ia tak ingin Surabaya makin macet karena jalan tol yang membelah kota. Ia lebih memilih pembangunan ring road di seputar kota. Ia ingin membagi beban dengan daerah-daerah sekitar, sekaligus membangun daerah-daerah remote dan sekitar Surabaya. Sebagai lulusan arsitektur ITS dan lama bertugas di perencanaan kota, ia paham benar tentang tatakota.

Jiwa keibuannya membuncah saat dituntut menutup empat lokalisasi pelacuran di Surabaya. Ini bukan pekerjaan mudah. Jika hanya mengandalkan kekuasaan, maka dengan mudah ia bisa melakukannya. Namun ia harus melihat bahwa para pelacur itu juga manusia. Ia turun menemui mereka. Tak jarang ia menemuinya di rumahnya masing-masing. Ia kaget. Sebagian pelacur itu berusia 60 tahun. Yang lebih mengejutkan lagi, konsumen mereka adalah para remaja. Ia juga dapati kenyataan tak semua karena faktor ekonomi. Ada yang karena dendam. Setelah melalui pendekatan yang panjang, dua lokalisasi ditutup. Ia targetkan akhir tahun ini sudah bisa tutup semua. Ia tak ingin mereka keluar dengan terpaksa. Ia ingin mereka keluar dari lokalisasi secara ikhlas.

Pembangunan fisik baginya jauh lebih mudah dari membangun manusia. Pembangunan fisik hanya membutuhkan uang, sedangkan membangun manusia membutuhkan segala kemampuan. Risma atau Hari, begitu ia biasa dipanggil, ingin Surabaya menjadi rumah yang nyaman. Tak hanya hijau, rapi, dan bersih. Tapi juga rapi dari sisi sosial. Ia tak ingin ada pengemis dan pengamen yang berkeliaran di jalan-jalan. Untuk pengamen, mereka diberi tempat. Sebagian juga diberi kesempatan manggung di taman-taman. Ia memberi honor pada mereka. Mereka juga boleh membuka kotak sumbangan sukarela.

Risma sangat peduli pada remaja. Ini bukan hanya karena ia menemukan fakta mereka konsumen pelacuran. Tapi juga ia mendapati 50 persen pelajar menyimpan gambar porno di handphonenya. Karena itu ia melakukan operasi penangkapan pelajar yang berkeliaran hingga tengah malam. Ia juga melakukan pembinaan khusus terhadap remaja yang disebut 'nakal'. Hasilnya, kini mereka menjadi remaja yang berprestasi. Ada yang di bidang olahraga, ada pula dalam hal pelajaran sekolah. Tak hanya di tingkat lokal, bahkan di tingkat regional.

Pasti masih banyak kekurangan pada dirinya. Namun ia mengaku siap di hadapan Tuhan jika harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya sebagai walikota saat ini juga. Toh, bukan karena itu ia menata kuburan di Surabaya. Tak hanya rapi dan hijau, tapi juga terang walau di malam hari. Ini semata untuk melayani kebutuhan masyarakat. Karena ada yang memiliki keyakinan bahwa jika ada yang meninggal maka harus dikuburkan sesegera mungkin, termasuk malam hari.

Risma memang manusia tanpa casing, tanpa pencitraan. Make upnya seadanya. Bajunya sederhana. Jilbabnya pun yang biasa saja. Gelang emasnya kecil. Ini persis dengan karakternya. Apa yang ada di hati sama dengan yang ia ucapkan dan ekspresikan. Karena itu ia tak mau tinggal di rumah dinasnya yang besar. Ia lebih suka tinggal di rumah pribadinya yang kecil. Ia tetaplah ibu rumah tangga, yang mengurusi rumah, suami, dan terutama anak-anaknya. Ia tak ingin kehilangan interaksi dengan mereka.

Ia berprinsip, “Bekerjalah dengan hati dan tak boleh berada di zona nyaman.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement