REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Sejak revolusi rakyat berhasil menggulingkan sejumlah pemimpin diktator-otoriter negara-negara Arab, tiba-tiba saja Ismail Haniyah, kepala pemerintahan Hamas di Jalur Gaza, Palestina, harus sering berjalan di atas karpet merah, menerima tamu-tamu penting di kantornya. Tamu terakhir yang berkunjung ke Gaza adalah ulama besar Sheikh Dr Yusuf Qaradhawi, ketua Persatuan Ulama Dunia. Ia memimpin sejumlah koleganya (para ulama) dalam kunjungan tiga hari ke wilayah seluas 365 km2 itu.
Sebelumnya, Perdana Menteri Mesir Hisham Qandil pun telah mengunjungi kawasan berpenduduk 1,7 juta jiwa tersebut. Begitu pula para menteri luar negeri negara-negara Arab, Amir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifah Al Tsani, PM Malaysia Najib Razak, Presiden Tunisia Moncef Marzouki, dan rombongan DPR RI yang dipimpin ketuanya, Marzuki Alie. Sementara itu, PM Turki Recep Tayyib Erdogan juga telah mengumumkan akan berkunjung ke Jalur Gaza pada akhir Mei ini.
Kunjungan para ulama dan pemimpin negara ke Jalur Gaza itu jelas semakin menunjukkan eksistensi dari keberadaan Hamas. Yang terakhir ini merupakan akronim dari Al-Harakat Al-Muqawwamah Al-Islamiyah alias Gerakan Perlawanan Islam. Pada awalnya, Hamas hanyalah bergerak di bidang sosial, moral, dan pendidikan. Salah seorang pendirinya, Sheikh Ahmad Yasin (dibunuh Israel pada 22 Maret 2004) lalu mencatatkan organisasi ini secara legal di Israel pada 1987. Zeonis Israel bukan hanya mengizinkan berdirinya Hamas, tapi justeru memanfaatkan keberadaannya untuk menyaingi kepopuleran Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang waktu itu dipimpin almarhum Yasir Arafat. Sebagai catatan, Jalur Gaza ketika itu berada di bawah pendududukan Israel.
Secara ideologis, Hamas merupakan perpanjangan tangan dari Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan oleh Sheikh Hasan Bana pada 1928. Dalam akta pendirian Hamas disebutkan, organisasi ini bertujuan mengibarkan panji-panji Allah di setiap inci bumi Palestina.
Sedangkan para pendirinya mempunyai latar belakang dan disiplin ilmu yang berbeda-beda. Sheikh Ahmad Yasin merupakan seorang ulama lulusan Universitas Al Azhar (Kairo), Abdul Aziz Al-Rantisi dokter spesialis anak, Abdul Fatah Dukhan dan Muhammad Shama keduanya guru, Isa Nasar dan Abu Marzuq insinyur mesin, Salah Silada dosen, dan Ibarahim Al-Yazuri adalah farmakolog.
Lantaran tidak puas terhadap organisasi-organisasi perlawanan Palestina yang lebih dahulu dalam menghadapi Zeonis Israeil, Hamas kemudian berkembang menjadi organisasi perlawanan bersenjata pada 1987. Hamas menilai organisasi-organisasi tersebut terlalu lembek dan cenderung kompromistis. Fatah, misalnya, membuka dialog dengan Zeonis Israel. Fatah merupakan faksi terbesar di tubuh PLO.
Penjelmaan Hamas sebagai organisasi perlawanan bersenjata telahmenyebabkan munculnya gerakan perlawanan rakyat Palestina yang kemudian dikenal dengan Intifada. Yakni perjuangan anak-anak muda di Jalur Gaza. Mereka dengan gagah berani melawan tentara Zeonis Israel dengan hanya bersenjatakan bebatuan. Bersamaan dengan itu sayap militer Hamas juga beroperasi melancarkan serangan secara terbuka. Mereka meluncurkan sejumlah serangan balasan ke kubu Zeonis Israel, termasuk bom bunuh diri.
Karena kerepotan menghadapi gerakan Intifada, PM Israel Yitzhak Rabin kemudian bersedia duduk semeja dengan Presiden Yasir Arafat dalam Perjanjian di Oslo. Hasilnya adalah Deklarasi Oslo di mana Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. Rabin juga mempersilakan Arafat menjalankan sebuah lembaga pemerintahan semiotonomi di dua wilayah tersebut. Sebaliknya, Arafat mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai. Deklarasi Oslo ini ditentang keras oleh Hamas.
Ketidakpuasan terhadap Arafat dan Fatah ini kemudian mendorong Hamas untuk terjun ke politik formal. Pada pemilu tahun 2006, secara mengejutkan Hamas meraih 76 dari 132 kursi dalam pemilihan anggota parlemen Palestina. Dengan demikian, Fatah yang selalu mendominasi percaturan politik Palestina dapat dikalahkan oleh Hamas. Dengan kemenangan ini Hamas berhak untuk membentuk pemerintahan.
Namun, pemerintahan yang didominasi oleh tokoh-tokoh Hamas ini terus diganggu oleh Fatah. Puncaknya, pada Februari 2007 terjadi konflik bersenjata secara terbuka antara Hamas dan Fatah. Sejak saat itu warga Palestina terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Fatah dan Hamas. Fatah yang dipimpin Presiden Palestina Mahmud Abbas membentuk pemerintahan di Tepi Barat. Sedangkan Hamas membentuk pemerintahan di Jalur Gaza dengan perdana menterinya, Ismail Haniyah. Eksistensi dari yang terakhir ini tidak diakui Presiden Palestina Mahmud Abbas dari Fatah.
Namun, revolusi rakyat Arab yang dikenal dengan Al-Rabi' Al-Araby atau The Arab Spring kini tampaknya lebih menguntungkan Hamas. Apalagi Ikhwanul Muslimin di Mesir telah memenangkan pemilu dan mengantarkan Mohammad Mursi ke tampuk presiden. Di Tunisia, Partai Islam juga mengendalikan pemerintahan. Sedangkan di Turki, PM Erdogan yang berasal dari Partai Islam pun lebih condong ke Hamas daripada Fatah dengan merencanakan kunjungan ke Gaza akhir Mei ini. Karena itu tak mengherankan bila banyak tokoh Islam dan pemimpin negara yang memilih berkunjung ke Gaza daripada ke markas Presiden Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat.
Karena itu, siapapun - termasuk Presiden AS Barack Obama atau Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono -- yang ingin mengupayakan perdamaian di Timur Tengah, terutama Palestina dengan Israel, tidak bisa mengabaikan fakta mengenai eksistensi Hamas di Gaza. Perundingan perdamaian tanpa melibatkan tokoh-tokoh Hamas bisa dipastikan akan buntu alias gagal.