REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif
Kamis, 23 Mei 2013. Sekitar pukul 14.30 turun dari pesawat GA 210 Jakarta-Yogyakarta, saya langsung pesan taksi Rajawali, semacam perusahaan resmi taksi milik teman-teman AURI yang beroperasi di Bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Dalam perjalanan ke Nogotirto, Sleman, sekitar 45 menit (biasanya hanya 30 menit), Bung Kunto Hendardi (52 tahun), sang sopir bercerita panjang tentang diri dan keluarga, karena memang saya pancing agar mau bertutur, sebagai mana dulu sopir Marsudi telah berbuat serupa. (Lihat "Resonansi, Republika Online, 26 Maret 2013).
Dari empat bersaudara, Bung Kunto adalah satu-satunya yang tidak berhasil menyelesaikan S-1 karena sakit. Ayahnya adalah mantan hakim tinggi yang telah wafat beberapa tahun yang lalu. Karena merasa telah banyak mengeluarkan biaya pengobatan, Bung Kunto tidak meneruskan kuliahnya agar saudara saudaranya yang lain tidak terganggu.
Cerita punya cerita, ternyata kantong empedu sahabat kita ini telah diangkat karena di dalamnya bersarang batu empedu. Fungsi empedu adalah pembantu hati untuk membuang limbah tertentu, seperti pigmen hasil pemecahan sel darah merah dan kelebihan kolestrol, di samping membantu pencernaan dan pemecah lemak. Dengan diangkatnya kantong empedu, maka hati bekerja lebih kuat karena harus dipikul sendiri tanpa pembantu.
Menurut ceritanya, tanpa empedu Bung Kunto tidak boleh bekerja terlalu keras. "Hidup", tuturnya, "Biar mengalir begitu saja," sekalipun untuk menghidupi keluarga penghasilan tidak seberapa. Sikap pasrah Bung Kunto ini patut diapresiasi, ditambah lagi istrinya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja sampingan.
Ada hal lain lagi yang saya perlu catat.
Bung Kunto sudah punya menantu, seorang pria sarjana teknik sipil tamatan sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Yogyakarta. Kini bekerja di Kalimantan Ti mur pada perusahaan kelapa sawit.
Dulu putri Bung Kunto diajak ke Kaltim mendampingi sang suami, tetapi karena sering sakit, sekarang kembali hidup bersama ayah-ibunya di Yogya.
Lalu, saya tanya, "Apakah kiriman dari menantu Anda bisa teratur?" Dijawab, "Itulah masalahnya, sehingga beban tanggungan ekonomi saya menjadi lebih berat." Pertanyaan saya teruskan, "Apakah sang menantu masih sering kontak dengan istrinya?" Jika masalah kontak tak pernah berhenti, bahkan "hampir setiap malam," jawab Kunto. Terbaca di sini sikap Bung Kunto yang terlalu "halus," tak tega memohon perhatian, sementara sang menantu punya penghasilan yang lumayan di tempat pekerjaannya.
Bulan Agustus 2013 ini, jika semuanya berjalan lancar, Bung Kunto bakal punya cucu pertama. Biaya pemeriksaan ke hamilan anaknya, semuanya ditanggung oleh sopir tanpa empedu ini. Semoga Resonansi ini terbaca oleh sang menantu untuk lebih peduli terhadap istrinya yang kini sedang hamil tua. Janganlah beban ekonomi Bung Kunto yang sudah berat sebagai sopir taksi semakin bertambah berat. Sekarang Bung Kunto bersama istri dan dua anaknya tinggal di sebuah rumah kecil dengan segala kepasrahan dan kesederhanaan yang semestinya tidak harus demikian.
Sebagai seorang yang hampir buta terhadap masalah empedu, maka saya harus buka internet. Ternyata, manusia bisa bertahan hidup tanpa kantong empedu. Tentu saja harus lebih hati-hati, sebagaimana Bung Kunto telah menyadarinya. Dalam bahasa Jawa "jangan ngoyo" (tidak berlebihan bekerja).
Bung Kunto jika tidak sedang menyopir, malah membantu istri menyiapkan makanan untuk keluarga. Sekalipun punya beban ekonomi yang tidak ringan, Bung Kunto sebagai rakyat kecil tetap bertahan dengan iman seorang Muslim yang tak tergoyahkan. Dibandingkan dengan nasib puluhan juta rakyat Indonesia yang lebih miskin, Bung Kunto masih bisa bertahan hidup dengan segala suka dukanya.
Oleh sebab itu, tuan dan puan, bila naik taksi, mohon jangan terlalu cerewet dalam menawar ongkos, manusia baik tipe Bung Kunto banyak kita temui dalam berbagai kesempatan dan peristiwa!