Selasa 11 Jun 2013 07:00 WIB
Resonansi

TK dan Madrasah Mu'allimin Yogyakarta

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif

TK adalah sebutan populer untuk Taufiq Kiemas (31 Desember 1942-8 Juni 2013) atau nama lengkapnya Dr HM Taufiq Kiemas yang baru saja wafat di RS Umum Singapura pada pukul 18.05 WIB atau 19.05 waktu Singapura pada 8 Juni 2013. Sejak tahun-tahun terakhir ini sudah berapa kali dirawat di dalam maupun di luar negeri, akhirnya takdir Allah menentukan TK harus menyudahi perjalanan hidupnya yang penuh warna itu di Singapura.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita pasti kembali), semoga Pak TK husnu al-khatimah (berada di ujung yang baik), amin. Bukan hanya PDI Perjuangan yang berkabung, tetapi bangsa ini seluruhnya telah kehilangan seorang negarawan yang akrab dengan semua golongan.

Tentu yang paling berat merasakan kepergian TK ini sudah pasti keluarga inti yang paling dekat: Bu Mega dan anak-anaknya. Kita doakan agar keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, kesabaran, dan hati yang tenang. Toh, kita semua pada saatnya pasti menyusul Pak TK, lambat atau cepat. Maut adalah misteri yang pasti datang.

Cukup panjang dan banyak kenangan yang patut saya sebut bersama negarawan yang satu ini sejak 15 tahun terakhir. Hampir pada setiap ada acara penting yang menyangkut dirinya, saya tidak pernah lupa untuk diundang dan memberi sambutan. Karena usia saya delapan tahun lebih tua, TK selalu memanggil saya abang, kadang-kadang uda (bahasa Minang).

TK adalah produk darah Minang (ibu) dan darah Palembang (ayah). Oleh sebab itu, dari sisi adat persukuan, TK termasuk warga negara yang paling beruntung: dia Minang asli sekaligus Palembang asli. Hal ini pernah saya sampaikan kepadanya, yang disikapi dengan penuh senyum.

Hubungan TK dengan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Akibat gempa pada 27 Mei 2006 yang menggegerkan kawasan Yogyakarta, bangunan madrasah ini, bekas sekolah saya tahun 1950-an, menjadi rusak berat. Setelah para ahli meneliti, gedung itu akan berbahaya jika masih juga digunakan bagi proses belajar dan mengajar. Jadi, harus dihancurkan untuk kemudian dibangun gedung baru yang lebih kokoh.

Karena punya hubungan emosional dengan madrasah ini, saya “melamar” untuk menjadi ketua panitia pembangunan, khususnya untuk mencari dana dari para dermawan. Dalam kaitan inilah nama TK harus disebut secara khusus, karena tanpa bertanya lebih lanjut, proposal permohonan dana yang saya antarkan langsung ke kediamannya di Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat, ditanggapi dengan sangat positif. Pembangunan kembali Madrasah Mu’allimin akan dibantu secara pribadi.

Tetapi, lanjut Pak TK, agar jelas halalnya, tidak akan diberikan sekaligus. Bantuan dikirimkan secara teratur oleh adik iparnya Drs H Herianto, seorang Minang pakai nama Jawa, sampai gedung itu rampung dibangun. Janji ini benar-benar ditepatinya. Dari dana yang masuk sekitar Rp 7 miliar, sumbangan dari TK tidak kurang dari 20 persen, sebuah angka yang sangat menolong panitia.

Sumbangan lain datang dari pemerintah dan dari para dermawan lainnya yang tak perlu disebut namanya di sini. Panitia selalu melaporkan perkembangan dan kemajuan pembangunan kepada para dermawan. Saat peresmian pemakaian gedung pada 7 Juni 2008, di antara tamu kehormatan yang diundang adalah Pak TK, sekaligus memberikan sambutan.

Sekalipun telah diresmikan, TK masih saja bertanya, apakah dana sudah cukup. Saya jawab, masih kurang sekitar Rp 300 juta. Oleh Pak TK, kekurangan inipun masih saja dibantu, sampai semua utang menjadi lunas. Setelah semuanya beres, Pak TK dan para dermawan yang lain dikirimi laporan pertanggunganjawaban yang terakhir, sekalipun TK tidak mengharapkan itu semua. TK punya kepercayaan penuh kepada Muhammadiyah. Setiap sen dana yang masuk pasti dicatat rapi dan dilaporkan pertanggungjawabannya.

Masih ada hal lain yang perlu disebutkan. Ketika MPR pimpinan TK mengadakan lomba cerdas tentang Empat Pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) di Yogyakarta, siswa Mu’allimin keluar sebagai juara nomor satu. Pak TK senang sekali saat menyampaikan kabar itu kepada saya. Dalam hati saya berbisik, untunglah siswa Mu’allimin tampil sebagai juara, sehingga bantuan Pak TK untuk pembangunan sekolah mereka diikuti oleh prestasi lomba cerdas itu.

Kini madrasah yang dibantu Pak TK ini telah menjadi sekolah favorit, sehingga saban tahun sekitar dua per tiga siswa yang mendaftar terpaksa ditolak karena daya tampung yang tidak memadai lagi. Jumlah siswa saat ini 1.200. Tim pembelian tanah telah pula dibentuk PP Muhammadiyah. Diperlukan dana sekitar Rp 14 miliar untuk pembelian tanah seluas 5,5 hektare. Baru terbayar separuhnya.

Apa yang saya tuliskan di atas hanyalah sekelumit kenangan saya dengan TK yang secara fisik telah pergi untuk selama-lamanya. Semoga Allah mengampuni semua kesalahan dan kekurangannya selama hidup di muka bumi. Amin. Selamat jalan Pak TK, terlalu banyak rasanya yang patut diingat tentang tokoh ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement