REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif
"Seluruh pemerintahan tak lebih dari kekuasaan dalam kepercayaan.” Kesahihan ungkapan John Dryden tersebut menemukan pembuktiannya dalam drama rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM berulang kali terjadi, tapi jarang yang ditarik-ulur berkepanjangan dan menuai gelombang aksi penolakan publik atas rencana pemerintah mengucurkan subsidi kepada rakyat dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Bagaimanapun juga, masalah kenaikan harga merupakan perkara lumrah yang dialami masyarakat sehari-hari, mulai dari kenaikan harga sembako, pupuk, dan lain-lain. Toh, dengan segala kesulitan yang melilitnya, rakyat kecil jarang berteriak menyerukan perlawanan. Selain itu, masalah pemberian subsidi kepada rakyat miskin juga normalnya merupakan kemestian yang patut mendapat dukungan publik.
Mengapa kali ini, meski pemerintah telah mengerahkan justifikasi para ahli dengan dalil-dalil ekonominya yang tampak hebat di atas kertas, terjadi gelombang aksi yang meragukan kejujuran pemerintah? Alasannya, di balik pro-kontra rencana kenaikan harga BBM itu terdapat kesenjangan dalam ukuran “kebenaran”. Pemerintah hanya sibuk mengargumentasikan “kebenaran tipis” tentang defisit minyak dan potensi defisit keuangan negara.
Sedangkan, para demonstran mempertanyakan “kebenaran tebal” tentang mengapa kita menjadi defisit minyak dan apakah benar menaikkan harga BBM menjadi satu-satunya pilihan untuk menutupi defisit anggaran. Mengapa pula mengucurkan subsidi BLSM dalam momen menjelang pemilihan umum?
Ketidakmampuan pemerintah menjawab serangkaian pertanyaan tentang “kebenaran tebal” tersebut memberi penjelasan ikutan tentang kerasnya penolakan publik bahwa penentuan batas harga BBM kali ini menyentuh ambang batas kepercayaan publik kepada pemerintah. Dengan kata lain, aksi-aksi penolakan ini bukan sekadar menolak kenaikan harga dan pemberian subsidi, tapi mencerminkan akumulasi ketidakpercayaan publik pada kemampuan pemerintah untuk menjawab persoalan-persoalan riil yang dihadapi rakyat bawah.
Dari drama ketegangan di seputar rencana kenaikan harga BBM kali ini, kita bisa melihat perbedaan antara kepalsuan dan kesejatian. Pemerintah yang kerap mendengungkan keberhasilan perekonomian, lewat rekayasa statistika, justru berteriak menghadapi kenyataan potensi defisit keuangan negara. Pemerintah sebagai pemenang pemilu yang fantastis justru seperti ragu dengan kemenangannya, sehingga berbagai kebijakan yang diambilnya harus meminta belas kasih partai-partai koalisi, yang pada akhirnya tunduk pada formula “pemain besar” dalam koalisi.
Pemerintah yang kerap memanjakan kepentingan-kepentingan elitis demi mengompensasikan kelemahan kekuasaannya, yang harus dibayar mahal oleh penderitaan rakyat dan kedaulatan negara dalam jangka panjang.
Di dalam samudera kepalsuan politik seperti itu, kita bersyukur masih ada kekuatan lain yang bisa memandu bangsa ini keluar dari kegelapan dan kepelikan. Ketika pelbagai argumen pro-kontra didedahkan di ruang publik, dan masing-masing argumen terkesan memiliki rasionalitasnya, pilihan mana yang harus diambil pada akhirnya harus memperhatikan suara kejujuran dari arus bawah. Gelombang aksi mahasiswa, buruh, dan rakyat miskin lainnya yang muncul di berbagai kota besar dan kecil dalam skala nasional adalah suara kesejatian yang terus menggugat kepalsuan.
Perjalanan jatuh-bangunnya kekuasaan di Indonesia memberi pelajaran, sekuat apa pun rekayasa kepalsuan, pada akhirnya akan jebol oleh gelombang arus balik kesejatian. Mengelabui rakyat, dengan pura-pura menolong rakyat, tapi sejatinya demi kepentingan elitis, hanya akan menambah amunisi kepada arus kesejatian untuk bergerak lebih jauh, membongkar berbagai kepalsuan yang disembunyikan.
Menaikkan harga BBM adalah jalan termudah bagi pemerintah yang tak mau berkeringat. Namun, jika kita mau mengambil jalan kejujuran, mengabdi pada keselamatan dan kesejahteraan bangsa, penentangan arus bawah atas kenaikan harga BBM itu bisa menjadi momentum bagi perombakan tata kelola negara secara mendasar. Kita harus berani mengambil langkah-langkah yang sulit karena kebahagiaan adil makmur itu hanya akan datang setelah berani melakukan pengorbanan dan kerja keras.