REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Setelah 68 Tahun Pancasila dilahirkan, keluhuran nilai-nilainya sebagai dasar dan haluan bernegara terus diimpikan dan dipidatokan di berbagai mimbar tanpa kemampuan untuk membumikannya. Nilai-nilai ideal Pancasila gagal dicetak menjadi karakter bangsa yang melahirkan kelumpuhan moralitas, integritas, dan etos kejuangan.
Lumpuhnya karakter bangsa itu tecemin dari bahasa publik kita. Perhatikan halaman depan surat kabar atau perbincangan para politisi. Cuma ada dua bahasa yang kerap dipakai: bahasa politik atau bahasa ekonomi.” Bahasa politik selalu bertanya ‘siapa yang menang?’ (who's winning?). Bahasa ekonomi selalu bertanya ‘di mana untungnya?’ (where's the bottom line?).
Jika kita hendak maju secara budaya dan berkarakter sebagai bangsa, sepatutnya mesti ada satu bahasa lagi dalam wacana publik, yang mempertanyakan 'apa yang benar?' (what's right?). Bahasa ini merupakan bahasa yang unik yang membuat kita tak terlalu nyaman membincangkannya. Dan, untuk membuat kita nyaman berbincang dalam bahasa ini di masa depan, diperlukan pendidikan karakter sejak dini.
Yang dimaksud dengan pendidikan karakter di sini adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter. Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan siswa.
Pendidikan karakter yang efektif tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif dalam rumus hapalan atau ”pilihan ganda”, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif. Untuk mendekati hal itu, pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dan pahlawan itu. Dalam kaitan ini, medium kesusastraan dengan karya-karya agungnya bisa memberikan wahana yang tepat bagi pendidikan karakter.
Demikianlah, di Inggris, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak sekolah dasar dalam rangka menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakat tersebut. Di Swedia, aneka spanduk dibentangkan di hari raya berisi kutipan dari karya-karya kesusastraan. Di Perancis, sastrawan-sastrawan agung menghuni pantheon; jejak-jejak singgahnya di beberapa tempat diberi tanda khusus.
Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia. Kisah “Rosie the Riveter” yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah biru menjadi pengungkit bagi Women's Liberation Movement. Kisah Siegfried, kesatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cilik dengan memberikan standar gaya dan kecantikan (Lazar, et.al. 2006). Belum lagi kalau kita bicara pengaruh yang ditimbulkan oleh karya-karya Homer, Goethe, hingga Ronggo Warsito yang memberi dampak yang luas bagi lifeword masyarakatnya masing-masing.
Dalam kehidupan publik yang mengalami defisit figur teladan dan ketiadaan platform politik yang jelas, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik. Figur-figur teladan fiktif dalam sastra bisa menjadi role model yang dapat mengompensasikan defisit tokoh hidup. Dalam berbagai masyarakat beradab, sastra dan seni lainnya diberdayakan sebagai medium yang memungkinkan cita-cita sosial bisa bertahan dalam memori kolektif.
Dalam kaitan ini, ada baiknya kita simak pernyataan Antonio Skarmeta, sastrawan Cile, ”Jika modernitas bukan sekadar budaya efisiensi, dan jika demokrasi bukan hanya pesta pemilihan dan penjelimetan prosedur politik, akan selalu ada intelektual-sastrawan di seberang struktur politik—berhadapan dengan mereka yang memburu kekuasaan—di luar institusionalisasi akademik dan negara. Akan selalu ada intelektual-sastrawan yang melontarkan pertanyaan jenaka, menafsirkan kembali kontroversi dengan memunculkannya lagi, untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang mungkin diabaikan agenda publik, atau digelapkan oleh media masih absah dipertanyakan” (Skarmeta 1996: 48-49).