REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra
Menunggu di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, untuk perjalanan di dalam dan luar negeri sepanjang Juni 2013, saya menemukan sejumlah indikator masa kemelimpahan (the age of affluence) di Indonesia.
Apakah indikator ini cukup sahih? Agaknya perlu pengujian lebih dalam. Karena itu, boleh jadi era kemelimpahan itu masih perlu diletakkan dalam tanda tanya.
Sementara menunggu kajian semacam itu, dalam pengamatan saya, salah satu indikator paling jelas adalah berjubelnya banyak rombongan jamaah yang ingin melaksanakan umrah, khususnya umrah Ramadhan. Rombongan berbeda yang datang dari berbagai daerah di Indonesia dapat dikenali dengan seragamnya yang tidak sama. Dalam pengamatan saya, sebagian besar jamaah umrah itu berusia di bawah 40 tahun, walau juga ada jamaah lansia dalam jumlah lebih sedikit.
Dalam 10 tahun terakhir memang jumlah jamaah umrah terus meningkat signifikan, apalagi dengan kian lamanya masa tunggu untuk pergi naik haji, kian berbondong-bondong yang menjalankan ibadah umrah. Jumlah pasti jamaah umrah setiap tahun sulit diketahui. Namun jelas, kini menjadi pemandangan yang semakin biasa menemukan jamaah umrah tidak hanya di Bandara Jeddah atau Dubai, tetapi juga di Bandara Istanbul dan bahkan Bandara Barcelona.
Indikator lain yang saya lihat di Bandara Cengkareng adalah kian banyaknya keluarga muda yang ingin menikmati liburan sekolah ke luar negeri. Bertanya kepada salah satu keluarga muda dengan dua anak usia SD, saya mendapat jawaban, "Mau 'jalan-jalan' ke Melbourne." Saya juga menemukan banyak keluarga semacam itu di sebuah hotel di Korea Selatan ketika menginap di hotel tersebut pertengahan Juni 2013.
Kini, keluarga-keluarga muda tidak lagi dapat ditemukan hanya di daerah pariwisata dalam negeri semacam Jakarta, Bali, Bukittinggi, Danau Toba, atau Manado, tetapi kian banyak pula di luar negeri. Negara tujuan wisata mereka pun tidak lagi hanya Singapura, Kuala Lumpur, atau Bangkok yang kelihatannya sudah sering mereka kunjungi.
Belakangan ini kian banyak pelancong Indonesia yang berwisata ke Australia, Jepang, Korea Selatan, Cina, Eropa, dan bahkan Amerika Serikat. Menurut data Kemenparekraf, lebih delapan jutaan pelancong Indonesia berwisata ke luar negeri pada 2012 lalu, jumlah hampir sama dengan jumlah turis internasional yang berwisata ke Indonesia.
Salah satu gejala yang sangat observable dari pelancong Indonesia ke luar negeri itu, antara lain, adalah mereka umumnya keluarga muda yang menampilkan ciri kelas menengah Muslim. Mereka kebanyakan kalangan profesional berpendapatan tetap dan-tak kurang pentingnya-dengan ibu muda mengenakan busana Muslimah dengan jilbab dan anak-anak usia SD atau SMP yang kelihatan sangat sehat karena mendapat asupan gizi lebih daripada memadai.
Apakah gejala ini merupakan masuknya Indonesia ke masa kemelimpahan? Dari satu sisi kelihatan ya. Gejala tersebut jelas merupakan satu sisi 'cerita' Indonesia masa kini. Akan tetapi, ada sisi lain, masih banyak pula cerita sedih karena sekitar 30 juta-50 juta warga Indonesia tetap terpuruk dalam kemiskinan, kemelaratan, dan pengangguran. Mereka ini jangankan 'melimpah', untuk bisa bertahan hidup saja mereka sangat susah.
Karena itu, masih menjadi tugas berat negara ini membuat mereka lebih layak. Dan, juga merupakan kewajiban moral mereka yang sudah melimpah untuk turut memperbaiki kehidupan mereka yang masih nestapa. Alangkah mulianya jika mereka yang sudah affluent dapat melimpahkan sebagian rezeki kepada kaum fuqara.
Dengan begitu, kemelimpahan menjadi lebih bermakna secara keagamaan. Meminjam argumen John R Scheneider dalam The Good of Affluence: Seeking God in a Culture of Wealth (2002), kemelimpahan material dapat menjadi baik dan selaras dengan ajaran agama-termasuk Islam. Bahkan dalam Islam, baiknya kemelimpahan material memungkinkan kaum Muslim affluent untuk menunaikan kewajiban keagamaan, seperti mengeluarkan ziswaf; naik haji dan pergi umrah; membangun masjid, pesantren, madrasah, dan sekolah; meningkatkan gizi dan kesehatan; memberdayakan ekonomi, dan seterusnya.
Sebaliknya adalah bad affluence, kemelimpahan yang buruk, jika kelebihan yang ada di tangan mereka yang melimpah tidak ada limpahannya kepada masyarakat lingkungannya. Hal yang terjadi justru adalah meningkatnya kecemburuan dan kejengkelan sosial yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi kekerasan massal. Berbagi dan memberi jadinya menjadi keniscayaan.
Kemelimpahan semestinya juga tidak menjadi isyraf, berlebih-lebihan, apalagi tabzir, hal mubazir belaka. Juga sangat menyinggung kepekaan sosial jika kemelimpahan itu menampilkan gaya hidup konsumtif dan komsumerisme. Di sini kemelimpahan menjadi wahana untuk pameran kekayaan.
Karena itu, penting mewujudkan kemelimpahan yang baik (good affluence). Ini terjadi hanya jika kemelimpahan itu melimpah pula untuk memperbaiki dan meninggikan harkat dan martabat manusia di lingkungan masing-masing.