Jumat 19 Jul 2013 07:00 WIB
Resonansi

Ketika Presiden Marah karena Harga Terbang

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Ketika kepura-puraan para penguasa menjadi kelumrahan, dan ketika orang-orang baik hanya diam dan tak berdaya maka rakyat menjadi korban paling sempurna untuk menderita.

Akhirnya pemerintah mengakui. Mereka tak berdaya. Para pemegang kuasa tak bisa berbuat apa-apa. Segala rumus mental. Harga-harga barang pangan terus melambung. Harga satu buah cabai merah hampir menyamai harga sebutir telur ayam. Harga daging sudah melambung terus.

Sebelumnya, masyarakat sudah dikejutkan oleh harga jengkol yang melangit, pertama dalam sejarah Indonesia. Karena itu, sebutan ekonomi Indonesia tak pantas lagi dinisbahkan pada nama orang seperti “widjojonomic”. Kita lebih tepat mengacu pada “jengkolnomic” dan “cabenomic”.

Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sebuah pernyataannya, dengan jelas memperlihatkan kemarahannya. Mulut dikatup, sorot mata ditajamkan, pipi menggembung, dan suara tegas ditahan. Ia jengkel karena proses birokrasi perizinan impor daging dari Australia terlambat turun sehingga ada kekurangan pasokan daging.

Namun, apa yang terjadi setelah daging impor masuk? Harga tetap mahal. Padahal, harga daging impor itu setelah sampai di Indonesia hanya 5,8 dolar AS (sekitar Rp 60 ribu) per kg. Berapa harga di pasar? Antara Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu per kg. Terlalu lebar disparitasnya. Harga cabai merah sekitar Rp 100 ribu per kg dan bawang merah Rp 60 ribu per kg.

Permainan harga ini sudah keterlaluan. Sebagian pedagang nasi goreng keliling lebih memilih pulang kampung. Mereka bingung harus dijual berapa rupiah per porsinya. Karena, harga komponen nasi goreng sudah tak terkendali lagi. Lebih baik mereka puasa di kampung halaman.

Bagi ibu-ibu, situasi Ramadhan kali ini benar-benar menikam karena berbarengan dengan tahun ajaran baru sekolah. Karena itu, seorang wakil menteri secara terbuka dan jujur mengakui betapa tak berdayanya pemerintah menghadapi situasi ini. Biasanya pemerintah menggunakan sebutan “pelaku pasar” dan “spekulan”. Sebutan yang abstrak.

Sebetulnya, pemerintah bisa menyebut secara lebih jelas. Tunjuk saja siapa mereka. Tak perlu bersembunyi di balik sebutan anonim semacam itu. Importirnya sudah jelas, bahkan lembaga negara seperti Bulog ikut dilibatkan. Lalu, daging itu didistribusikan lewat siapa? Jika daging itu diberikan ke distributor yang selama ini gemar memainkan harga, maka “matilah kau”.

Pertanyaannya, mengapa diberikan ke distributor-distributor yang selama ini tak punya moral tersebut? Kita selama ini menuding mereka sebagai “kartel” karena mereka bisa bersepakat dalam menentukan harga secara sepihak.

Merujuk pengalaman pada awal reformasi, harga dan pasokan minyak sayur dipermainkan distributor dan produsen. Pemerintah segera berlaku sigap. Pemerintah segera membeli CPO dan diproses menjadi minyak sayur. Untuk distribusi, pemerintah menggunakan jaringan koperasi. Dalam waktu singkat semua terkendali.

Dalam hal daging, kini kita cenderung menyerahkannya pada mekanisme pasar biasa. Padahal, dalam kondisi tertentu negara harus campur tangan. Tak bisa semuanya diserahkan ke pasar. Betapa naifnya pemerintah, ketakberdayaan yang sudah bisa diprediksikan dari awal.

Akhir-akhir ini, publik sedang menderita akibat ekonomi roller coaster. Naik-turun jumpalitan. Ini semua akibat tak adanya perencanaan dan program yang sistematis. Semua bersifat ad hoc. Lalu, berpadu dengan persaingan politik menjelang 2014 yang terjadi formasi politik untuk membentuk blok-blok politik dalam memenangkan pertarungan politik tersebut. Sehingga, tak terjadi koordinasi dan sinergi yang baik antarkementerian.

Padahal, perilaku korup birokrasi dan penguasa makin menggila. Ketika kinerja tak diukur secara objektif tapi secara politik maka ekonomi koruptif menjadi hasil akhirnya. Inilah yang sedang terjadi. Apalagi, struktur ekonomi kita masih dikuasai segelintir orang. Apatah lagi yang bisa didiskusikan? Semua sudah jelas.

Lalu, di mana anggota parlemen? Aktivis LSM? Gerakan mahasiswa? Cendekiawan? Tokoh agama? Semua sedang sibuk mengkalkulasi blok-blok politik menjelang 2014. Suka tidak suka, suasana seperti itu yang sedang terjadi. Tak ada yang mengurus rakyat.

Benar peringatan sebagian orang, tahun ini hingga Pemilu 2014 merupakan tahun politik. Semua energi kita tersedot. Kita tak sadar akibat kekacauan harga bawang dan daging akan menghancurkan fondasi kita dalam pertanian bawang dan peternakan sapi. Usaha bertahun-tahun untuk berswasembada bisa bubar dalam sekejap. Lalu, kita kembali menjadi importir. Lalu, di mana letak ketahanan nasional?

Marah saja tak cukup. Lakukan sesuatu yang konkret dan signifikan. Terukur dan terencana. Terlembaga dan sistematis. Karena, bukan kemenangan politik yang akan dikenang, tapi apa yang kita lakukan untuk rakyat. Mari kita jujur. Kembali ke nurani dan hati kita yang sejati. Kemenangan hanyalah titik sedangkan tindakan adalah lukisan. Kemenangan adalah not, sedangkan tindakan adalah nyanyian. Untuk apa menjadi penguasa jika tak bisa berkuasa. Untuk apa menjadi pemerintah jika tak bisa memerintah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement