REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Ibarat semut marabunta, iring-iringan para pemudik dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, khususnya yang terbesar di tanah Jawa, tampaknya merupakan kultur khas Indonesia. Saya tidak tahu sejak kapan kebiasaan mudik ini mulai ditradisikan di negeri ini.
Tengoklah di stasiun kereta api, terminal bus, pelabuhan, dan bandara menjelang dan sesudah hari H, berjibun mereka yang terlibat dalam ritual tahunan itu. Sudah tentu kampung-kampung yang dikunjungi oleh sanak saudara yang merantau secara ekonomi seperti mendapatkan durian runtuh.
Entah berapa triliun rupiah yang beredar selama arus mudik ini, sebuah tradisi yang sangat berakar kuat dalam masyarakat kita. Sekiranya orang tua saya masih hidup di kawasan Bukit Barisan, Sumatra Barat, rasanya kerinduan untuk pulang kampung ini akan sangat menggoda pula.
Kadang-kadang memang terasa sulit untuk memahami gelombang arus mudik ini. Cobalah tuan dan puan bayangkan untuk tahun ini, ada satu keluarga dari Malang ke Semarang dengan becak. Sang ayah berhari-hari mengayuh becaknya menuju tempat tujuan. Tidak jarang pula si istri harus turun, saat becak suaminya harus menempuh jalan tanjakan.
Yang hebat lagi, keluarga ini tetap saja berpuasa dalam perjalanan panjang itu. Beberapa kali pihak polisi menawarkan jasa agar bersedia naik bus, keluarga ini tetap saja memilih balik kampung dengan becak. Allahu akbar. Alangkah kerasnya tekad sahabat kita ini, alangkah kuatnya imbauan kampung halaman di hari raya ini.
Kekuatan rindu telah mengalahkan pertimbangan-pertimbangan rasional akan segala risiko yang mengintai dalam perjalanan mudik ini. Risiko tertinggi adalah mengadang kematian yang jumlahnya ratusan saban tahun, jauh melebihi korban bencana alam. Itu belum lagi mereka yang mengalami luka berat dan ringan, jumlahnya menjadi ribuan. Selalu saja berlaku pergumulan antara tawa dan tangis dalam suasana hari raya ini. Dan orang pun tidak pernah mengenal kapok karena demikian tingginya nilai mudik dalam kultur Indonesia.
Tahun ini telah muncul pula kata “laka” dalam media sosial untuk kecelakaan. Memang ekonomis, tetapi pembentukan kata “liar” itu tidak ada acuan standarnya dalam kaidah bahasa Indonesia. Maka angka “laka” lalu lintas selama tiga tahun terakhir ini masih sangat tinggi. Tahun 2010 sejumlah 31.234; 2011 dengan angka 30.626; 2012 sedikit turun lagi pada angka 27.441.
Jalan raya adalah pembunuh terbesar, tidak saja di Indonesia, tetapi kejadian serupa juga berlaku di lain negara. Sekitar tahun 1980-an, ketika mobil saya kena tilang di Chicago yang harus diselesaikan di pengadilan, saya mendengar penjelasan bahwa jumlah “laka” di jalan raya Amerika melebihi jumlah korban Perang Vietnam. Bedanya, perang dibenci, sedangkan korban dalam perjalanan tidak pernah membawa orang jera karena bepergian itu sebuah keharusan, sekalipun mungkin akan membawa maut.
Mari kita turunkan lagi angka-angka kamatian korban “laka” di jalan raya dalam tenggat waktu empat tahun terakhir dalam suasana Lebaran berdasarkan penjelasan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny Frengky Sompie beberapa hari yang lalu.
Tahun 2010 sejumlah 632, 2011 dengan angka 587, 2012 meningkat manjadi 908, hanya dalam tempo 20 hari. Tahun 2013 angka “laka” ada 2.749 dengan 471 meninggal, 435 luka berat, dan sekian pula luka ringan, yang umumnya dengan memakai kendaraan roda dua. Rinciannya, roda dua 1.897, mobil penumpang 426, bus 109, mobil barang 232. Angka kematian 471 itu masih mungkin meningkat karena arus balik masih berlangsung selama beberapa hari ini.
Tahun 2013 terlihat penuruan dalam angka kematian karena kesadaran pemudik kabarnya telah semakin meningkat untuk tidak lagi sembrono dalam mematuhi tertib lalu lintas. Selain itu, tahun ini semakin banyak jumlah aparat yang diterjunkan ke lapangan demi kelancaran arus mudik.
Tetapi, terlepas dari sedikit kemajuan yang patut disyukuri itu, secara umum transportasi publik di Indonesia masih semrawut. Padahal, salah satu prinsip sebuah negara berkeadaban adalah jika transportasi publiknya berjumlah cukup, nyaman, aman, teratur, dan disukai. Indonesia kita masih dari harapan itu semua. Kemauan keras negara ke arah perbaikan itu tidak perlu menunggu mayat-mayat yang harus bergelimpangan lagi di jalan raya, seperti yang berlaku selama ini.