REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif
Margaret Thatcher, mantan perdana menteri Inggris, seperti dituturkan dalam film the Iron Lady, memiliki cara sederhana untuk mengukur kinerja pemerintah, yakni dengan memperhatikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Normalnya harga menggambarkan masih berfungsinya pemerintah. Hal itu amat mengejutkan, karena dia mewakili suara politik konservatif yang sangat memihak daulat pasar.
Pemimpin yang bertanggung jawab, dari latar ideologi apa pun, mesti memahami timbangan kerakyatan. Bahwa, politik bagi kebanyakan rakyat punya makna sejauh ada kaitannya dengan persoalan sehari-hari.
Tentang hal ini, Bung Karno pernah mengisahkan bahwa segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, rakyat di Yogyakarta tidak mau membayar trem. Alasannya, “Bukankah kita sudah merdeka?” Bagi rakyat jelata, perbedaan antara keterjajahan dan kemerdekaan ditandai oleh ukuran keseharian yang mereka alami: dari wajib bayar menjadi gratis.
Alam pikir kerakyatan inilah yang kurang dihayati oleh para pemangku pemerintahan di masa reformasi. Dari mimbar-mimbar pencitraan, para pemimpin terus-menerus menyanyikan kehebatan Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga di dunia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) sering disodorkan sebagai ukuran. Nyatanya, dengan ukuran demokrasi “minimalis” inipun, pemilu Indonesia belum bisa dikatakan pemilu yang bermutu.
Pemilu memang telah dilakukan secara berkala dengan kebebasan memilih yang relatif terjamin. Tetapi, ada satu syarat fundamental pemilu yang belum dipenuhi, yakni syarat “fairness” (keadilan/kesetaraan). Yang sangat mencolok adalah kecurangan perhitungan dan pencurian suara serta ketiadaan aturan mengenai pembatasan “biaya kekuasaan”. Ketiadaan regulasi yang ketat dalam belanja iklan dan kampanye politik membuat politik didominasi mereka yang beruang.
Padahal, kalaupun prasyarat demokrasi “minimalis” ini telah terpenuhi, hal itu baru tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena, di benak jutaan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar pergantian institusi dan pemimpin.
Bagi mereka, demokrasi diharapkan dapat memancarkan kesempatan dan sumber daya bagi perbaikan kualitas hidup serta kehidupan sosial yang lebih baik, lebih adil, dan manusiawi. Oleh karena itu, demokrasi hanya bermakna sejauh bisa menjamin terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsibility).
Setelah sekian lama janji-janji reformasi tak kunjung membawa perubahan yang diharapkan, rakyat yang mulai tak sabar menunggu tergoda untuk mengambil imbalan segera. Inilah yang menyuburkan praktik beli suara. Banyak rakyat tidak lagi menjadikan pemilu sebagai sarana untuk menghukum para politisi yang tidak bertanggung jawab, melainkan sebaliknya menjadikan kesempatan pemilu sebagai ajang mendapatkan “imbalan segera”.
Penyelenggara negara yang terpilih melalui praktik sogok suara ini merasa jabatannya sebagai hasil pembelian yang tak perlu dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Kepedulian utamanya adalah bagaimana sesegara mungkin mengembalikan modal politik dan mencari keuntungan untuk investasi masa depan. Situasi inilah yang membuat politik kehilangan kepekaan terhadap problem-problem kerakyatan.
Ada jarak mental antara kesadaran elite politik dan suasana kebatinan rakyatnya. Masyarakat politik sibuk mematut diri, menaikkan gaji dan tunjangan, memperbaiki gedung dan sarana-sarana perkantoran, sedangkan rakyat jelata makin tertekan oleh kesempitan peluang kerja dan melambungnya biaya hidup. Sementara elite politik sibuk mewacanakan pertumbuhan ekonomi, harga-harga kebutuhan pokok makin melambung, makin sulit dijangkau rakyat kecil.
Kecenderungan politik narsistik yang mengabaikan timbangan kerakyatan ini harus diakhiri. Terbukti, demokrasi tak bisa didelegasikan kepada para politisi lewat partisipasi dalam pemilihan saja. Karena para politisi mudah berkhianat, maka warga harus ikut mengemban akuntabilitas sosial (social accountability).
Warga masyarakat harus memiliki semangat kepublikan yang terlibat dalam organisasi masyarakat sipil atau kelompok warga negara yang terorganisasi lainnya yang berupaya melakukan mobilisasi dukungan publik, pembelaan, dan menegosiasikan perubahan yang dikehendaki. Dalam kaitan ini, para pemimpin masyarakat sipil harus terbebas dari kooptasi masyarakat politik, yang memungkinkannya memiliki independensi untuk melakukan koreksi atas perilaku dan kebijakan politik dalam rangka mendekatkan pemerintahan pada kepentingan akar rumput.