Rabu 04 Sep 2013 17:09 WIB
Resonansi

Yang Muda yang Layu

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Yudi Latif

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Ungkapan Tan Malaka itu mengisyaratkan bahwa sepanjang perlintasan bangsa ini, idealisme memang merupakan barang langka yang hanya dimiliki oleh segelintir minoritas patriotis. Berbagai monumen terpenting bangsa ini menunjukkan bahwa minoritas patriotis itu utamanya dipasok oleh kaum muda.

Pendefinisi utama pemuda di sini bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Menulis di majalah Bintang Hindia, Nomor 14 (1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan “kaum muda” sebagai rakyat Hindia (yang muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno, tetapi berkehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan.

Dalam ungkapan Samuel Ullman, “Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan.”

Meski begitu, mereka yang “berusia muda” mestinya lebih berani mengemban visi perubahan karena tidak terlalu digayuti beban masa lalu. Meminjam pandangan Hatta, generasi baru kaum terdidik, dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari hipnosis kolonial, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif.

Pada kenyataannya, situasi anomali memaguti negeri ini. Penduduk berusia muda (16-40 tahunan) mengalami penggelembungan dalam struktur demografi Indonesia, tetapi mental muda mengalami pengempisan. Para aktivis muda tak mampu membebaskan diri dari hipnosis “kaum tua”, tak bisa menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan. Para politikus dan pemimpin muda satu per satu terjerat korupsi, lantas layu sebelum berkembang menuju puncak kepemimpinan nasional.

Para pemuda masuk ke dalam kendaraan politik bermesin tua sebagai aspiran kepentingan masing-masing, tanpa kesanggupan mengartikulasikan agenda kolektif sebagai suatu generasi perubahan.

Istilah generasi di sini tidak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan dalam usia, tapi juga oleh kesamaan pengalaman dan panggilan kesejarahan. Seperti dinyatakan oleh Ron Eyerman, “Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkan meskipun mereka tak pernah saling bertemu.”

Tanpa kehadiran suatu generasi perubahan, memimpikan kehadiran “pemimpin muda” dengan idealisme muda yang dapat menjebol kejumudan kaum tua bak pungguk merindukan bulan. Alih-alih menjadi lokomotif perubahan, para politikus muda justru menjadi suluh baru dalam proses regenerasi korupsi.

Dengan menggali modal sejarah, tugas pertama kaum muda adalah memulihkan kembali kepercayaan pada politik. Mitos bahwa politik merupakan “seni kemungkinan” (the art of the possible) —yang mendorong irasionalitas politik—harus diubah dengan mitos baru yang memandang politik sebagai “seni ketidakmungkinan” (the art of the possible)—yang memungkinkan pencapaian hal-hal yang tidak mungkin menurut lensa kelaziman.

Kaum muda dalam pergerakan kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia berperan penting dalam “menemukan politik” (the invention of politics)—yang hingga awal abad ke-20, istilah politik tersebut tak ada padanannya dalam bahasa Melayu-Indonesia. Seturut dengan itu, kaum muda pada masa kini dituntut untuk meraih kembali “politik” yang hilang dari genggamannya seraya mengembalikannya ke jalur yang benar.

Politik dalam kesadaran kaum muda pergerakan jauh dari bahasa teori “pilihan rasional”, bahwa rasionalitas kepentingan individual harus dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik dalam konsepsi mereka merupakan usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif. Mirip dengan pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum, terutama kepentingan kaum terjajah, dengan jalan menyubordinasikan kepentingan-kepentingan partikular pada kepentingan (kaum terjajah) secara keseluruhan.

Di sinilah letak khitah politik kaum muda. Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada “kejumudan” dan “ego sektoral”, kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme.

Peran politik kaum muda seperti itu kini dipanggil kembali oleh sejarah ketika politik sebagai seni mengelola republik demi kebajikan kolektif mulai tersisihkan oleh apa yang disebut Machiavelli sebagai raison d’état (reason of state) yang berorientasi kepentingan sempit. Jika “politik” sejati memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik; reason of state memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan ‘kebajikan publik’. Dengan demikian, reason of state adalah seni memerintah dengan menipu rakyat.

Kaum muda harus menghidupkan kembali idealisme muda untuk menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada Republik dengan mengembalikan politik pada khitahnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement