REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Dua hari setelah tiba di Iowa, memenuhi undangan untuk mengikuti International Writing Program (IWP), saya dan 33 penulis lain dari 32 negara menghadiri orientasi pertama. Selain pembahasan tentang kegiatan selama tiga bulan ke depan, panitia juga membuat sesi khusus terkait beberapa aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
Awalnya terasa aneh, tapi ternyata apa yang disampaikan terbilang penting dan siapa saja sangat mungkin tanpa sengaja melanggar jika tidak mendapatkan informasi. Poin-poin yang disampaikan cukup membuat saya tersentak, sebab merupakan sesuatu yang sangat sering dilanggar di Tanah Air tercinta.
Hal pertama yang disampaikan penyelenggara IWP adalah peraturan tentang minuman beralkohol. Di negeri yang tidak mengenal istilah haram untuk minuman keras, ternyata malah mempunyai peraturan sangat ketat terkait miras. Iowa University merupakan salah satu universitas di Amerika yang paling banyak mengadakan pesta yang melibatkan minuman keras. Meski begitu, para mahasiswa dan siapa pun tidak diperkenankan membawanya ke area publik, termasuk jalanan di depan rumah atau koridor kampus.
Walau minuman keras dipasarkan bebas, tapi hanya bisa dibeli oleh mereka yang sudah berusia 21 tahun ke atas dan dibuktikan dengan kartu identitas. Seorang penulis pernah ditangkap hanya karena berjalan sambil menenteng botol bir menuju tempat penginapan. Hanya menenteng botol minuman keras di depan umum sudah dianggap melanggar hukum.
Seorang teman sesama penulis, dari Rusia, belum lama membeli minuman keras di supermarket besar di Iowa. Dan, meski secara fisik terlihat jelas dia sudah berumur, pegawai supermarket tetap memintanya menunjukkan tanda pengenal.
Peraturan minuman keras menjadi sangat ketat di Amerika Serikat sejak kejadian beberapa pemabuk --dalam peristiwa berbeda-- mengendarai mobil dan menabrak anak dan remaja hingga menimbulkan korban luka parah bahkan meninggal dunia.
Amerika tersentak. Para ibu yang anak-anaknya menjadi korban, dengan dukungan banyak pihak, membuat Mothers Against Drunk Driving (MADD) pada 1980. Sebuah gerakan yang menentang pengendara mabuk, yang kemudian mendorong diperketat dan disahkannya aturan dan undang-undang miras.
Mau tidak mau saya jadi merenung. Teringat negeri sendiri yang katanya agamis dan menjunjung tinggi norma kesopanan, moral, dan agama, tapi kenyataannya minuman keras jauh lebih mudah didapat. Bahkan, kini dijual bebas di ribuan minimarket yang tersebar di pelosok negeri. Para remaja di bawah 17 tahun tidak perlu memperlihatkan ID, cukup menunjukkan uang untuk membayarnya.
Padahal, di Indonesia pernah terjadi seorang wanita muda yang mabuk menabrak belasan orang dan merenggut banyak nyawa, tapi toh tidak ada perubahan, baik peraturan atau penegakannya. Dan peristiwa ini sempat berulang.
Hal kedua terkait aturan, panitia membahas tentang rokok. Mereka menjelaskan bahwa kampus dan seluruh tempat umum adalah area bebas rokok. Lingkungan hotel tempat kami menginap juga bebas rokok. Sebuah stiker cukup besar ditempelkan di setiap kamar, berisi peringatan denda 100 dolar AS jika ditemukan jejak dari aktivitas merokok. Bahkan, saat melewati sebuah gedung, saya membaca tulisan larangan yang ditempel dari dalam sebuah jendela untuk tidak merokok di dekat jendela gedung tersebut.
Sekali lagi, pikiran saya terbawa jauh ke Indonesia, salah satu negeri dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Indonesia seperti surga untuk bisnis rokok. Banyak ayah rela menghabiskan gaji untuk rokok. Banyak anak yang tidak bisa membeli buku karena ayahnya lebih memprioritaskan rokok. Rokok menjadi pengeluaran kedua terbesar setelah nasi bagi banyak keluarga miskin di Indonesia. UU tentang rokok ada, tapi pelanggarannya dianggap angin lalu.
Terngiang suara guru dan orang-orang tua yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang ramah, negeri yang penuh toleransi, yang menjunjung tinggi moral dan norma. Kini di depan mata saya bisa melihat di Amerika, negara yang dianggap bebas, justru membuat peraturan ketat atas nilai-nilai yang merusak.
Peraturan ketiga yang kemudian disampaikan panitia pengundang membuat saya salut. Jika kita mengucapkan kata kotor atau makian dengan keras, seperti “F word” juga dikenakan denda. Berbagai pihak di sini seperti menyadari, manusia tempat berbuat salah, dan karenanya mekanisme kontrol yang ketat harus dibuat dan ditegakkan agar tidak kebablasan dan merugikan lebih banyak orang.
Tak ada maksud mengecilkan negeri sendiri. Tapi, dengan bukti-bukti di depan mata, sudah seharusnya berbagai pihak berkaca dan malu, lalu seyogianya mulai berpikir bagaimana budaya toleransi, sopan santun, serta nilai-nilai agama bisa memunculkan sebuah sikap dan tindakan yang melindungi rakyat.
Atau, apakah hal semacam ini --sebagaimana munculnya Mothers Against Drunk Driving-- harus dimulai dengan bersatunya para ibu dan perempuan Tanah Air yang peduli? Jika organisasi serupa telah lahir, semoga bisa lebih terdengar. Jika belum, mungkin saatnya kita bergerak.