REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Dalam suatu acara pernikahan putri bungsu JK pada 24 Agustus 2013 di Jakarta, seorang tokoh Bugis mendekati saya. Setelah berbincang-bincang, lalu saya diminta untuk menulis tentang Raja Ali Haji (1808-1873) yang berdarah Bugis itu. Katanya jika saya yang menulis, pengaruhnya akan lebih terasa, padahal kajian tentang RAH (Raja Ali Haji) telah cukup banyak dilakukan orang, sarjana asing maupun penulis Indonesia dan Malaysia.
Saya tidak yakin juga bahwa tulisan singkat ini akan punya pengaruh, tetapi demi memenuhi harapan tokoh Bugis itu, nama besar RAH, penulis multitalenta itu memang perlu sering disebut. Belakangan namanya juga diabadikan dalam bentuk Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), berlokasi di Senggarang, Tanjung Pinang, Riau Lautan. Ini universitas negeri termuda, diresmikan akhir 2012. Studi kelautan adalah di antara program unggulan pada universitas ini. Rektor pertamanya adalah Prof Dr Maswardi M Amin M Pd.
Nama lengkap RAH adalah Tengku Haji Ali al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji al-Syahidu fi Sabilillah bin Upu Daeng Celak. Mengabadikan nama RAH jadi sebuah universitas sangat beralasan, dari sisi mana pun orang menilainya. Sekalipun lebih banyak dikenal sebagai pengarang “Gurindam Dua Belas,” radius perhatiannya sangatlah luas: bahasa, sastra, agama, fikih, sejarah, tasawuf, politik, etika, dan filsafat.
Fasih bicara tentang agama, karena memang lama belajar di Makkah, RAH adalah penganut tarikat Naqsyabandiyah dengan mazhab fikih al-Syafii, sebagaimana yang umum menjadi anutan di dunia Melayu.
Adalah saat RAH muda (17) diajak ayahnya ke Semarang untuk suatu urusan. Tidak dinyana, RAH tiba-tiba jatuh sakit serius, muntah berak. Ayahnya hampir tak punya harapan lagi bagi kelangsungan hidup anaknya. Itulah sebabnya kerangka mayat mau dipesan untuk membawa jenazah RAH ke Pulau Penyengat, tanah kelahirannya. Ternyata RAH kembali pulih dan selamat pulang ke Riau untuk kemudian dengan bergulirnya waktu dalam usia menjelang 40 tahun pada 1847 muncullah “Gurindam Dua Belas,” yang dianggap sebagai Magnum Opus dalam sastra Melayu kelasik.
Gurindam ini memuat banyak sisi: nasihat, sejarah, teologi, etika, pendidikan, filsafat, dan politik. Di abad ke-19, di dunia Melayu, karya sastra RAH tidak ada tandingannya. Selain “Gurindam Dua Belas,” masih ada 11 karya tulis RAH lainnya yang masih diteliti orang sampai hari ini, seperti Tuhfat al-Nafis (Hadiah Bernilai Tinggi), Bustan al-Katibin (Taman Para Penulis), Kitab Pengetahuan Bahasa.
Untuk menyegarkan ingatan kita tentang “Gurindam Dua Belas,” kuitipan di bawah ini tidak kurang menariknya. Dalam Gurindam III, kita baca:
Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi'il yang tidak senonoh.
Dalam Gurindam V, bait di bawah ini patut pula direnungkan:
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
Lihat kepada budi dan bahasa.
Jika hendak mengenal orang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.
Dalam Gurindam VII, kita baca pernyataan di bawah ini:
Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta.
Apabila anak tidak dilatih, Jika besar bapanya letih.
Pada Gurindam XII, bait terakhir berbunyi:
Akhirat itu terlalu nyata,
kepada hati yang tidak buta.
Terasa sekali betapa luasnya wawasan dan perhatian RAH dalam membaca fenomena sosial kemanusiaan. Sebagai seorang yang sangat paham bahasa Arab, pengaruh //Ihyâ' 'Ulûm al-Dîn// karangan al-Ghazali dan kitab-kita Arab lainnya sangat dirasakan dalam karya-karya RAH, tetapi dianyam dalam kultur Melayu yang apik dan puitis. Gurindam adalah bentuk modifikasi RAH atas pantun dan syair yang sudah begitu mengakar dalam kultur Melayu.