REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Pertanyaan di atas perlu dikemukakan terkait kondisi Timur Tengah sekarang ini. Namun, bila kondisinya normal seperti selama ini, jawaban dari judul tulisan ini tentu saja perlu. Banyak kiai dan ulama di Indonesia sekarang ini merupakan lulusan dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Timur Tengah, sebut misalnya Universitas Al-Azhar (Kairo), Universitas Islam Madinah, Universitas Ummul Quro (Mekah), Universitas Damaskus, Universitas Baghdad, dan seterusnya. Bahkan banyak yang hanya berguru ke beberapa ulama di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Hingga beberapa tahun terakhir, masih banyak orang tua yang beranggapan bila ingin jadi kiai atau ulama maka tempatnya adalah Makkah, Madinah, atau Kairo. Maksudnya tentu belajar di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Universitas Al-Azhar. Malah ada yang mengirimkan anaknya yang mbandel untuk mukim di salah satu negara Arab. Harapannya, anak yang mbandel akan pulang sebagai kiai atau ulama. Minimal menjadi ustazlah.
Tentu ulama atau kiai yang dimaksud adalah yang menguasai bidang ilmu tertentu. Minimal bahasa Arab berikut kelengkapannya, semisal nahwu-sharaf (grammar), dan balaghah (sastra). Dengan penguasaan bahasa Arab itu, seorang ulama atau kiai akan mampu menguasai sumber-sumber ajaran Islam.
Selain Alquran dan hadis (sunah), mereka juga akan mampu menguasai ilmu-ilmu alat berijtihad ijma', menguasai qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf, syad al-dzara'i, syar'u man qoblana, dan qaul al-shahabi. Dengan penguasaan semua itu, seorang ulama atau kiai akan bisa mandiri dan merdeka untuk mengeluarkan hukum/fatwa untuk kepentingan masyarakat. Mereka tidak takut terhadap tekanan penguasa atau pihak mana pun, kecuali untuk kepentingan umat serta bangsa dan negara.
Namun, itu dulu. Sekarang kondisinya sangat berbeda. Konflik dan instabilitas yang terjadi di sejumlah negara Arab bisa jadi telah membawa pengaruh negatif pada pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah, termasuk para ulama, syekh, dan para dosen yang mengajar di universitas-universitas. Mereka, para intelektual itu, kini tidak lagi bebas bersuara, berpendapat, dan berfatwa.
Di Arab Saudi, 18 ulama dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Alasannya, mereka sering menyampaikan khutbah politik. Maksudnya, memberikan pencerahan politik dalam khutbah-khutbahnya. Termasuk pernyataan dukungan kepada Presiden Mesir Muhammad Mursi yang digulingkan oleh kudeta militer. Padahal, pemerintah Kerajaan Arab Saudi mendukung kudeta militer. Intinya, para ulama tidak boleh memberikan pernyataan yang berbeda dengan sikap pemerintah. Mereka yang berani berbeda akan dikenai sanksi berat.
Di Mesir, sejumlah 55 ribu ulama dicekal. Mereka dilarang memberikan ceramah dan khutbah Jumat. Bila ingin berceramah, mereka diharuskan mendapatkan izin (tasrikh) dari pemerintah (Darul Ifta). Termasuk materi ceramahnya pun harus tertulis dan mendapatkan stempel dari Darul Ifta. Pencekalan ini juga berlaku buat ulama kondang Syekh Dr Yusuf Qardhawi. Qardhawi adalah doktor hukum (syariah) lulusan Al-Azhar dan kini bermukim di Qatar. Ia juga menjadi anggota lembaga Kibarul Ulama (para ulama besar) Al-Azhar dan sekaligus Ketua Persatuan Ulama Dunia. Lembaga Kibarul Ulama diketuai oleh Syekh Al-Azhar, Syekh Dr Ahmad Thayyib.
Kedua ulama besar ini, Qardhawi dan Ahmad Thayyib, kini "berseteru" terkait kudeta militer di Mesir yang menggulingkan pemerintahan demokratis Presiden Mursi. Syekh Thayyib terang-terangan mendukung kudeta militer. Alasannya, kaidah ushul fiqh yang menyatakan bila ada dua bahaya maka ambillah yang paling ringan bahayanya (al akhdzu biakhaffi dhararaini). Mendukung kudeta militer dianggap Syekh Thayyib merupakan bahaya yang lebih ringan dibandingkan membiarkan Presiden Mursi berkuasa. Dengan alasan ini, Syekh Thayyib pun rela mendampingi Jenderal Abdul Fattah Sisi ketika mengumumkan pengambilan kekuasaan oleh militer.
Sikap Syekh Al-Azhar ini langsung mendapat tanggapan keras dari Syekh Qardhawi. Qardhawi menyatakan haram hukumnya menggulingkan pemerintahan demokratis Presiden Mursi yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat Mesir. Apalagi, ketika pemerintah kudeta militer menghadapi para pendemo pendukung Presiden Mursi dengan kekerasan yang menyebabkan sekitar 3 ribu orang terbunuh oleh senjata aparat keamanan, Syekh Qardhawi pun langsung "menantang" berdebat dengan Syekh Al-Azhar.
Pencekalan terhadap para ulama, termasuk Syekh Qardhawi, oleh pemerintah Mesir tampaknya dimaksudkan untuk menghapus pengaruh pendukung Presiden Mursi. Dengan kebijakan "harus mendapatkan izin" ini, para ulama dari Ikhwanul Muslimin yang merupakan pendukung utama Presiden Mursi bisa dipastikan tidak akan bisa bebas lagi untuk berceramah dan khutbah di masjid-masjid di seluruh Mesir. Apalagi, telah ada keputusan bahwa yang "berhak" memberikan khutbah hanya para lulusan Al-Azhar dari fakultas dakwah dan syariah.
Di Irak, pamor Universitas Baghdad yang dulu mendunia pun kini redup. Konflik Suni versus Syiah sangat tajam pasca jatuhnya Saddam Husein. Meskipun pemerintah Irak kini dipilih secara demokratis, instabilitas masih mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Sementara di Suriah, konflik yang terjadi antara pengikut Presiden Bashar Assad dan oposisi juga telah memengaruhi keberadaan dunia pendidikan, termasuk Universitas Damaskus di mana banyak mahasiswa Indonesia belajar di sana.
Dengan kondisi negara-negara Arab yang serba tidak menentu seperti itu agaknya perlu dipikirkan, apakah masih perlu belajar Islam ke Timur Tengah? Instabilitas di negara-negara seperti itu jangan-jangan justru hanya akan menghasilkan calon-calon ulama dan intelektual yang tidak mandiri dan berpikiran merdeka. Atau bisa juga meng-copy kekacauan di Timur Tengah ke Indonesia. Karena, belajar di suatu universitas atau lembaga pendidikan di mana pun pada hakikatnya juga belajar dari masyarakat di mana lembaga pendidikan itu berada. Termasuk politik, kehidupan sehari-hari, terutama sikap dan cara berpikir pada ulama dan intelektual negara tersebut. Wallahu a'lam bisshawab