Jumat 20 Sep 2013 06:40 WIB
Resonansi

Politik Dinasti + Kejahatan Terorganisasi = Negeri Koboy

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Bripka Sukardi bisa jadi bukan korban terakhir. Teror terhadap polisi masih terus menghantui jajaran kepolisian Polda Metro Jaya. Dua peristiwa pertama terjadi di Tangerang Selatan, yaitu di Cireunde (Juli) dan di Ciputat (Agustus). Masih di bulan Agustus, kali ini menewaskan dua polisi, terjadi di Pondok Aren, Tangerang. Di bulan September ini menimpa Sukardi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Terakhir menimpa Briptu Ruslan di Cimanggis, Depok.

Siapa pelakunya? Polri tampaknya meyakini benar pelakunya adalah teroris, kecuali untuk kasus di Cimanggis yang mengarah pada kasus ‘kriminal biasa’.  Kita berharap polisi bisa segera menggulung para pelaku kejahatan ini. Sebetulnya kejahatan dengan menggunakan pistol bukan hanya menimpa polisi. Sebagian besar justru menimpa warga sipil. Di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, saja dalam sepekan bisa ada tiga kasus penembakan. Semua menimpa warga sipil.

Peredaran senjata api ilegal makin marak saja. Kelompok-kelompok preman maupun kelompok-kelompok kriminal sudah melengkapi diri dengan senjata api. Mereka, seperti halnya teroris, adalah orang-orang yang otak dan jiwanya sudah rusak. Membunuh dianggap sebagai pilihan logis. Penjahat adalah orang-orang sakit bukanlah hal baru. Namun menjadi perhatian serius ketika tingkat kejahatannya makin mengerikan atau secara kuantitatif meningkat drastis. Itulah yang kini sedang terjadi.

Kasus yang menimpa Briptu Ruslan tergolong luar biasa. Saat itu ia sedang menunggu motornya yang sedang dicuci di tempat pencucian motor. Saat itu ia sedang tak berseragam. Tiba-tiba datang seorang laki-laki, ia bertanya kepada petugas pencucian motor siapa pemilik motor yang motornya sedang dicuci tersebut. Ia menunjuk seorang pria yang sedang duduk. Si bandit segera menghampiri dan meminta kuncinya. Tentu saja ditolak. Ia segera mengeluarkan pistolnya. Lalu dor-dor… Ia pun kabur membawa sepeda motornya.

Kasus ini diidentifikasi Polri sebagai kasus kriminal biasa, bukan kasus terorisme. Berbeda dengan kasus yang menimpa polisi lainnya. Polri juga sudah mengidentifikasi dari kelompok kriminal mana pelakunya. Bahkan Polri sudah menyebar wajah pria yang diduga sebagai pelakunya.

Kita tentu masih ingat bentrok antar-preman di Jl Ampera, Jakarta Selatan. Mereka bertarung di jalanan di siang bolong. Wajah mereka terekam jelas oleh para wartawan televisi. Mereka bersitembak bak di negeri koboy. Sedangkan aksi penembakan oleh teroris cenderung dilakukan di kala sepi. Sasarannya pun jelas: polisi. Mereka menargetkan efek teror terhadap kepolisian. Mereka membalas dendam terhadap tindakan Densus 88. Detasemen ini bertugas membasmi terorisme.

Tampaknya, hingga kini kita belum mendapat titik terang kapan Indonesia bisa terbebas dari terorisme. Mereka terus berbiak, merekrut anggota baru dengan mudahnya. Organisasi mereka makin rumit. Pemerintah lebih mengutamakan pendekatan keamanan dibandingkan pendekatan budaya. Lebih mengedepankan pendekatan perang dibandingkan pendekatan damai. Memang ada yang bilang tak bisa berdamai dengan teroris. Namun Malaysia ternyata cukup efektif dengan pendekatan budayanya. Negeri itu sudah terbebas dari terorisme. Memang di sana ada undang-undang yang keras, namun tanpa undang-undang semacam itu pun dalam praktiknya Indonesia sudah mempraktikkannya. Sudah banyak teroris yang langsung didor, sebagian besar lagi masuk penjara. Ada kombinasi antara penegakan hukum dan pembasmian dengan senjata.

Ketidakjelasan titik terang juga membayangi pembasmian penjahat bersenjata api. Sumber senjatanya bisa dari selundupan maupun rakitan. Untuk yang rakitan, tak hanya berasal dari satu daerah tapi sudah bertambah ke wilayah lain. Inilah yang makin mengkhawatirkan. Itu menandakan permintaan senjata rakitan meningkat. Jika Polri tak segera membasmi kejahatan bersenjata api ini, teroris maukun kriminal, maka Indonesia bisa terperangkap dalam jebakan negeri koboy. Apalagi di tingkat politik juga sedang berbiak politik dinasti dan oligarkis. Itulah dua syarat terbentuknya negeri koboy. Jika dua kekuatan ini berpadu maka Indonesia akan masuk ke fase itu.

Filipina dan negeri-negeri Amerika Latin pernah merasakan pedihnya kekacauan semacam itu. Dan di Indonesia bukan hal baru politik berpadu dengan kelompok preman. Sejarah sudah membuktikan sejak tahun 1950an hingga di masa reformasi ini. Hanya saja politik dinasti di masa Orla maupun Orba belum berkembang. Justru di masa reformasi inilah politik dinasti sedang berkecambah dengan pesat. Karena itu, kita harus mencegah dan melawan politik dinasti maupun berkembangnya kejahatan bersenjata api yang cenderung terorganisasi. Jika keduanya sudah terkonsolidasi maka simbiosis antarkeduanya hanyalah soal waktu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement