Kamis 26 Sep 2013 06:53 WIB
Resonansi

Mitos Gelombang Muslim (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Azyumardi Azra

Jika kaum migran Katolik dan Yahudi di Eropa Barat dan Amerika Utara mendapat persepsi stereotipikal negatif dari masyarakat indigenous (pribumi) yang dalam perjalanan waktu secara bertahap berkurang, para migran Muslim yang datang ke kedua benua itu juga mengalami nasib yang sama--jika tidak lebih. Berbagai persepsi negatif yang kemudian menjadi mitos tentang "gelombang Muslim" yang bakal menguasai Barat dengan segera menguasai imajinasi dan pikiran kian banyak kalangan masyarakat Barat, terutama disebabkan laporan media massa dan tulisan yang mencitrakan kaum Muslim dan Islam secara negatif.

Padahal, kehadiran kalangan Muslim ke Barat pertama kalinya diharapkan masyarakat setempat. Kedatangan mereka banyak disebabkan faktor penarik (pull factor) dari negara-negara Barat sendiri yang membutuhkan tenaga kerja murah untuk pekerjaan kasar dengan jam kerja hampir tanpa batas. Tarikan begitu kuat itu pada saat yang sama berkombinasi dengan faktor pendorong (push factor) dari negara-negara Muslim sendiri berupa kesulitan ekonomi dan lapangan kerja, ketidakstabilan politik, dan ketidaktersediaan pendidikan memadai dan baik.

Dalam perkembangannya, kemajuan ekonomi dan stabilitas politik Barat ditambah kegagalan banyak negara di dunia Muslim dalam pembangunan ekonomi-sosial yang disertai instabilitas politik berkepanjangan kian mendorong banyak Muslim bermigrasi ke Barat. Sikap permusuhan dari kalangan masyarakat lokal juga meningkat. Permusuhan dan antipati itu meningkat drastis pascaperistiwa 11 September 2001 di New York dan Washington DC, AS.

Pembahasan Doug Saunders dalam Myth of the Muslim Tide: Do Immigrants Threaten the West (2012) tentang 'gelombang' migran Muslim berawal dengan sejumlah 'fiksi' populer di kalangan masyarakat 'pribumi' Eropa dan Amerika Utara. Fiksi-fiksi ini kemudian menjadi mitos yang jika diuji dengan fakta di lapangan jelas jauh daripada kebenaran. Tetapi, mitos-mitos tersebut merupakan salah satu sebab pokok meningkatnya sikap anti-Muslim dan fobia Islam.

Di antara fiksi dan mitos itu adalah tentang apa yang disebut "wabah bulan sabit" (crescent fever) yang kian menjangkiti Barat. Wabah bulan sabit itu bagi orang dan kelompok ultrakanan anti-Muslim menjangkiti banyak politikus dan pejabat negara-negara Eropa. Karena itu, kian banyak kalangan Eropa yang ingin mengobati wabah tersebut dengan cara apa pun. Salah seorang di antaranya adalah Anders Behring Breivik yang pada Jumat 22 Juli 2011 melakukan pengeboman dan penembakan di Oslo dan Pulau Utoya, Norwegia, yang menewaskan 77 orang.

Dalam "manifesto" berjudul 2083: A European Declaration of Independence setebal 1.518 halaman, Breivik menyatakan, “(Para pejabat Eropa) adalah pengkhianat . . . yang memfasilitasi Islamisasi dan (peningkatan) demografi Muslim . . . saya mengeksekusi para pengkhianat tersebut untuk mencegah mereka melanjutkan proses genosida dan pelenyapan budaya dan demografi Eropa.” Penting diingat, tahun 2083 yang dikutip Breivik adalah persis 400 tahun setelah terjadinya Perang Wina, di mana gerak maju pasukan Usmani menuju Eropa Barat berhasil dihentikan balatentara Habsburg. Simbolisme "2083" dan pernyataan Breivik ini menegaskan tentang pentingnya mencapai "kemerdekaan Eropa" dari crescent fever yang dianggap tengah menjangkiti Benua tersebut.

Mitos utama lainnya dalam banyak kalangan masyarakat Eropa adalah menguatnya apa yang disebut Eurobia (Europa-Arabia). Mitos tentang Eurobia turut meningkatkan sikap anti-Muslim dan fobia Islam. Istilah Eurobia diciptakan Gisele Littman, penulis asal Swiss-Inggris kelahiran Mesir dari orang tua Yahudi, yang menulis dengan nama Bat Ye'or (kosakata bahasa Yahudi untuk putri Sungai Nil). Ia menerbitkan buku Eurobia: The Euro-Arab Axis pada 2005 yang memperkuat mitos tentang kaum migran Muslim.

Dalam karya yang segera menjadi hit di Eropa dan Amerika Utara, Littman menyalakan "lampu merah" tentang bahaya Eurobia yang bersumber dari transformasi sosial, budaya, politik, dan agama di Eropa. Eurobia menurut dia melahirkan apa yang disebutnya sebagai "peradaban dzimmi baru", di mana kaum non-Muslim harus tunduk kepada kekuasaan Muslim. Untuk memperkuat argumennya, Littman mendukung tindakan Serbia yang melakukan genosida di Bosnia. Dia memandang, kaum Muslim Bosnia merupakan ancaman nyata terhadap Eropa dan apa yang dilakukan Serbia adalah gerakan perlawanan terhadap penetrasi Muslim ke Eropa dalam rangka mewujudkan Eurobia.

Meski Eurobia jelas merupakan mitos belaka, terdapat kalangan Eropa, yang serta-merta menerimanya. Di kalangan sarjana, misalnya, adalah pakar sejarah dan politik Timur Tengah Bernard Lewis dan Daniel Pipes. Menanggapi Eurobia temuan Bat Ye'or, Lewis menyatakan, “Mitos Eurobia seperti mitos-mitos lain mengandung unsur kebenaran secara signifikan, dan kebenaran sejarah ada di tempat biasa--di tengah-tengah di antara sudut-sudut ekstrem.”

Contoh lain adalah wartawati senior Oriana Fallaci yang dengan antusias menerima konsep Eurobia. Fallaci menyatakan: “Eropa (kini) bukan lagi Eropa; ia adalah Eurobia, sebuah koloni Islam, di mana invasi Islam tidak hanya berarti secara fisik, tetapi juga secara mental dan kultural.” Fallaci memang sudah menyimpan rasa khawatir terhadap bahaya Muslim. Dalam bukunya yang menjadi bestseller di Italia, The Rage and Pride (2002), dia menulis: “Putra-putri Allah (Muslim) . . . berlipat ganda jumlahnya seperti tikus.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement