REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ikhwanul Kiram Manshuri
Tampaknya untuk dapat melaksanakan shalat di Masjidil Aqsa semakin jauh saja. Tentu tidak sekadar shalat. Kalau hanya shalat, bisa mengikuti biro penyelenggara tur ke Yerusalem. Agen perjalanan biasanya menerbangkan jamaah dari Jakarta ke Amman. Sesampai di ibu kota Yordania itu, paspor lalu diganti dengan selembar kertas laksana paspor. Dengan surat laksana paspor ini jadilah kita turis di Madinatul Quds (media Barat menyebutnya Yerusalem) dengan pengawalan ketat aparat keamanan Israel.
Tentu saja perasaan was-was akan selalu menyertai sang turis. Maklum, karena Madinatul Quds kini masih diduduki Zeonis Israel. Mereka akan terus memelototi setiap orang asing, apalagi dari negara Islam, yang berkunjung ke sana. Karena itu, untuk bisa bebas berkunjung ke Madinatul Quds dan beribadah sepuasnya, kota suci itu harus dibebaskan dari pendudukan Zeonis Israel dan Palestina merdeka dari penjajahan. Hanya saja, dari tahun ke tahun harapan Palestina untuk merdeka dengan Madinatul Quds sebagai ibu kotanya kelihatannya semakin jauh saja.
Lalu, apa susahnya membebaskan Madinatul Quds dari cengkeraman negara kecil bernama Israel? Apakah ia begitu kuat sehingga seperti halnya Thalut yang kecil mengalahkan Jalut yang raksasa?
Ya, pembebasan Madinatul Quds tentu bukan hanya kewajiban bangsa Palestina. Ia juga kewajiban seluruh bangsa, terutama umat Islam. Dan, umat Islam sesungguhnya sangat besar dilihat dari jumlah penduduk. Jumlah keseluruhan orang Arab kini lebih dari 400 juta jiwa. Sedangkan, umat Islam di seluruh dunia sekitar 1,6 miliar jiwa (23 persen dari seluruh penduduk dunia). Sementara itu, jumlah orang Yahudi hanya 14 juta jiwa (0,2 persen dari keseluruhan penduduk dunia), dan yang menjadi penduduk Israel sekitar 6 juta jiwa saja.
Mungkin ada yang mengatakan, Israel memang negara kecil. Tapi, ia menjadi kuat lantaran di belakangnya ada kekuatan besar, yaitu AS dan sejumlah negara Eropa yang siap membantunya--membantu dalam segala hal. Karena, secara historis Israel sengaja \"ditanam\" oleh kaum kolonialis tepat di jantung negara-negara Arab dan Islam adalah untuk menjajah dengan cara lain. Atau lebih tepatnya untuk memecah belah negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk kepentingan mereka.
Namun, dengan kekuatan negara-negara Islam yang begitu besar--jumlah penduduk, dana, militer, dan lainnya--seharusnya gampang saja, seperti pernah dikatakan mantan presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, melempar Israel ke laut. Atau minimal menekan Zeonis Israel agar kembali ke batas-batas negara sebelum Perang 1967, yang dikenal sebagai Perang Enam Hari. Dengan kata lain, Israel harus mengembalikan Madinatul Quds (Jerusalem), Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Daerah-daerah itu berhasil mereka duduki sejak Perang Enam Hari tersebut hingga sekarang ini.
Batas-batas itulah yang juga dituntut oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas dan sejumlah pemimpin Arab sebagai syarat perdamaian dengan Zeonis Israel. Hanya Sinai yang kini sudah dikembalikan ke Mesir sebagai hasil Perjanjian Camp David (1978), sedangkan daerah-daerah lainnya masih diduduki atau diawasi oleh Israel.
Namun, sekali lagi, boro-boro melempar Israel ke laut, memaksa mereka berunding damai dengan syarat batas-batas sebelum Perang 1967 pun tidak bisa. Perundingan yang sekarang diprakarsai Amerika lewat Menlunya, John Kerry, sudah barang tentu versi (kepentingan) Israel dan AS. Persoalannya bukan karena Israel kuat dan tidak bisa dikalahkan, tapi lebih kepada kelemahan umat Islam, terutama bangsa-bangsa Arab sendiri. Negara-negara Arab ibarat macan ompong; terlihat gagah tapi sebenarnya loyo.
Dengan kondisi dunia Arab seperti sekarang ini, istilah kata, musuh-musuh Israel sudah bertumbangan satu per satu tanpa perang. Tidak ada lagi kekuatan militer tiga negara yang dulu pernah ditakuti Israel, yaitu Irak, Mesir, dan Suriah. Irak kini disibukkan dengan gesekan Suni-Syiah dan bom bunuh diri. Suriah dipusingkan dengan perlawanan oposisi. Mesir sedang kerepotan mempertahankan kekuasaan setelah kudeta militer terhadap pemerintahan demokratis yang didukung rakyat. Bahkan, demi kekuasaan itu, militernya tega mengarahkan senjata ke rakyatnya sendiri ketimbang ke tentara musuh.
Malah militer Mesir dan pemerintahan bonekanya kini mulai memusuhi kelompok Hamas di Gaza karena dituduh bersekongkol dengan Presiden Mursi dan Ikhwanul Muslimin. Padahal, Hamas yang berhaluan Islam selama ini merupakan kelompok terbesar di Palestina yang dengan gagah berani melawan tentara Israel. Sementara, kelompok Fatah yang berideologi sekuler cenderung lebih lunak dan kompromistis dengan Zeonis Israel.
Dengan demikian, kini tidak ada lagi kekuatan militer negara Arab yang ditakuti Zeonis Israel. Negara-negara Arab di Afrika Utara, seperti Tunisia, Aljazair, dan Maroko, lebih disibukkan dengan persoalan dalam negeri sendiri. Sedangkan, negara-negara Teluk sudah tidak bergigi lagi menghadapi Zeonis Israel. Hanya Raja Faisal bin Abdul Aziz (penguasa Kerajaan Arab Saudi) yang berani mengembargo minyak terhadap Barat pada 1973. Setelah itu, semua penguasa negara-negara Teluk melempem. Mereka lebih memilih membantu dana secara rutin kepada rakyat Palestina ketimbang terlibat perang secara langsung dengan Israel.
Itulah peta dunia Arab sekarang. Ibarat Jalut yang tampak perkasa namun tak kuasa menghadapi Talut, si Israel yang hanya negara kecil. Pertemuan-pertemuan Liga Arab pun lebih sering menampakkan perpecahan daripada menggalang kekuatan dalam persatuan. Setali tiga uang juga terjadi pada sidang-sidang Organisasi Kerja Sama Islam (sebelumnya bernama Organisasi Konferensi Islam/OKI).
OKI dibentuk sebagai reaksi atas pembakaran Masjidil Aqsa oleh orang-orang Yahudi pada 1969. Namun, setelah 40 tahun lebih perjalanan OKI, kondisi Masjidil Aqsa dan bangsa Palestina tidak lebih baik. Bahkan, seandainya pun Masjidil Aqsa sekarang ini kembali dibakar atau bahkan dihancurkan oleh Zeonis Israel, na'udzubillah min dzalik, bangsa Arab dan umat Islam pun tak berdaya.
Bila demikian, lantas kapan kita bisa shalat di Masjidil Aqsa? Masjidil Aqsa merupakan kiblat pertama dan tempat suci ketiga umat Islam. Dari tempat ini (Masjidil Aqsa), Nabi Muhammad diangkat ke Sidratul Muntaha (Isra Mi'raj) dan dari sana beliau menerima perintah dari Allah SWT berupa kewajiban bagi umat Islam shalat lima waktu setiap harinya. Masjid yang dikatakan Rasulullah Muhammad SAW, siapa yang shalat di dalamnya seperti shalat 1.000 rakaat di selainnya (shalat di tempat lain).