Senin 21 Oct 2013 06:30 WIB
Resonansi

Arab Saudi Marah Besar

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Kerajaan Arab Saudi rupanya telah lama memendam kemarahan kepada komunitas internasional yang direpresentasikan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Lembaga internasional ini dinilai mandul. Ia dianggap tidak mau dan tak mampu mencari solusi bagi berbagai persoalan dunia, terutama yang terkait dengan perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Timur Tengah. Puncak kemarahan besar itu dilampiaskan dengan penolakan negara Raja Abdullah bin Abdul Aziz tersebut menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.

Pada Kamis (17/10) pekan lalu Arab Saudi untuk pertama kalinya terpilih sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan (DK) PBB. DK PBB beranggotakan 15 negara. Sejumlah lima negara merupakan anggota tetap, yaitu Cina, Rusia, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat (AS). Sedangkan, sisanya merupakan anggota tidak tetap dan dipilih untuk masa dua tahun. Dalam sidang Majelis Umum PBB pekan lalu Arab Saudi mendapatkan 176 suara dari 193 suara anggota (negara).

Posisi DK sebenarnya sangat strategis. Sesuai dengan piagam PBB, ia bertugas menjaga keamanan dan perdamaian dunia dan antarnegara. Kalau organ lain dari PBB hanya bisa membuat rekomendasi “tidak mengikat”, DK memiliki kekuatan membuat keputusan yang mengikat pemerintah negara anggota, yang dikenal sebagai Resolusi DK PBB. Sayangnya, dengan komposisi keanggotaan, seperti yang selama ini tidak banyak yang bisa dilakukan DK.

Komposisi keanggotaan yang dimaksud adalah adanya lima anggota (negara) tetap yang mempunyai hak veto. Dengan hak veto ini, 10 anggota tidak tetap menjadi hanya seperti kambing congek. Hanya sebagai pelengkap penderita atau aksesori saja. Akibatnya, DK atau bahkan PBB sendiri hanya menjadi “permainan kepentingan” lima anggota (negara) tetap sang pemilik hak veto.

Hal itulah yang tampaknya membuat marah dan kecewa berat Arab Saudi. Dalam siaran pers mengenai penolakannya sebagai anggota DK, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menegaskan bahwa komposisi keanggotaan DK dan standar ganda yang digunakan, terutama oleh lima anggota tetap, telah menyebabkan DK mandul. DK tidak bisa lagi menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menjaga dan menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Alih-alih ikut menciptakan perdamaian dunia, sikap DK selama ini dipandang oleh Arab Saudi justru telah menambah ketegangan di berbagai belahan dunia dan semakin meningkatkan terjadinya pelanggaran HAM.

Ada tiga masalah penting yang disoroti negara Pelayan Dua Tempat Suci itu yang selama ini gagal ditangani oleh DK PBB. Pertama, persoalan bangsa Palestina yang selama 65 tahun tidak ada penyelesaian yang adil dan abadi. Termasuk di dalamnya persoalan Madinatul Quds (Yerusalem) yang merupakan tempat suci bagi umat Islam. Kondisi bangsa Palestina boleh dikata bertambah buruk. Zionis Israel bahkan semakin leluasa membangun permukiman di berbagai kawasan Palestina yang kini diduduki Israel. Zionis Israel juga sering melecehkan dan merusak bagian-bagian Masjidil Aqsa yang merupakan kiblat pertama umat Islam.

Setiap terjadi pelanggaran yang dilakukan Zionis Israel, DK PBB pun tidak mampu untuk mengeluarkan resolusi. Penyebabnya adalah veto AS yang didukung sejumlah negara Barat. Kalaupun DK berhasil mengeluarkan resolusi, Zionis Israel bisa dengan entengnya menganggap sepi keputusan lembaga yang mempresentasikan masyarakat internasional itu.

Dan, DK tidak mampu berbuat apa-apa. Misalnya, resolusi yang terkait dengan tuntutan agar Israel kembali ke batas-batas negara sebelum Perang 1967.

Kedua, terkait dengan larangan pengembangan senjata nuklir, terutama di kawasan Timur Tengah. Barat, khususnya AS, selama ini lebih terfokus dengan masalah nuklir Iran yang dikhawatirkan akan dikembangkan menjadi senjata nuklir. Sedangkan, negara Israel yang jelas-jelas memiliki senjata nuklir tidak pernah diutak-atik alias dipersoalkan oleh DK PBB. Bagi Arab Saudi, Timur Tengah dan dunia akan sangat berbahaya apabila salah satu dari negara di kawasan dibiarkan mengembangkan dan mempunyai senjata nuklir.

Yang terakhir ini merujuk kepada Israel dan juga Iran. Namun, lagi-lagi DK dinilai tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan kepemilikan senjata nuklir tersebut.

Ketiga, masalah konflik di Suriah. Arab Saudi selama ini secara terang-terangan mendukung kelompok-kelompok oposisi yang melawan rezim Presiden Bashar Assad. Bahkan, negara Petro Dolar itu juga mendorong campur tangan PBB untuk melengserkan rezim Assad. Arab Saudi menuduh rezim penguasa di Suriah sekarang ini telah dengan sengaja membunuh ribuan rakyatnya sendiri, termasuk dengan serangan senjata kimia.

Namun, dalam pandangan Saudi, PBB tidak mau atau tak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Suriah. Arab Saudi menyesalkan sikap Rusia dan Cina yang terus membela rezim Bashar Assad. Rusia dan Cina merupakan dua negara yang mempunyai hak veto di DK PBB.

Dengan kondisi PBB seperti itu, Arab Saudi menyampaikan penyesalannya untuk tidak menerima menjadi anggota DK PBB hingga lembaga itu mau mereformasi dirinya. Baik yang menyangkut komposisi keanggotaan DK maupun aturan-aturan lain yang memungkinkan lembaga itu menjalankan fungsinya sebagai penjaga perdamaian dan stabilitas keamanan dunia.

Berbagai komentar muncul menyusul ketidaksediaan Arab Saudi menjadi anggota DK PBB. Ada yang pro dan kontra. Juga, ada yang netral. Namun, yang jelas posisi negara Arab Saudi yang kini bisa dikatakan paling kuat di kawasan Timur Tengah-baik politik, ekonomi, maupun keamanan-akan memberi pengaruh yang besar kepada geopolitik di kawasan.

Kritik keras Arab Saudi terhadap PBB dan organ-organnya tampaknya memang patut disimak. Dunia sudah banyak berubah. Kekuatan ekonomi juga bergeser. Sayangnya, PBB yang seharusnya menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan dunia sejak berdiri hingga sekarang tidak banyak berubah. PBB hanya menjadi “barang mainan” lima negara anggota DK yang mempunyai hak veto. Kalau PBB mau lebih berfungsi sebagai penjaga perdamaian dunia, lembaga ini harus segera direformasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement