REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Erie Sasmita bukanlah anak orang kaya. Ayahnya pensiunan berpangkat mayor dari TNI AL. Dia anak kedua dari lima bersaudara. Ia sarjana pertanian. Setelah lulus kuliah ia justru bekerja sebagai marketing farmasi. Namun pekerjaan berikutnya di perusahaan pengapalan kargo menentukan jalan hidupnya kemudian. Di sini ia berkenalan dengan seorang bule warga Amerika Serikat yang menjadi agent buyer barang-barang furniture. Orang yang rutin berurusan untuk mengapalkan barang-barang dari Indonesia. Erie pindah kerja ikut bule. Namun itu hanya setahun. Pada 1999, anak muda Semarang kelahiran 1968 ini kemudian mendirikan perusahaan sendiri. Perusahaan eksportir furnitur.
Mengikuti jejak si bule, ia juga menjadi agent buyer. Setahun kemudian ia memiliki pabrik sendiri. Tahun 2013 ini ia bahkan mengakuisisi pabrik furniture di Jepara. Kini ia memiliki 120 karyawan. Omzetnya sekitar tiga juta dolar AS per tahun. Ia mengekspor produknya ke AS, Australia, Belanda, Belgia, Jerman, dan Afrika Selatan.
Baginya, jalan hidupnya sesuatu yang luar biasa. Walau masih kelas UKM, ia telah menjadi entrepreneur. Walau di saat SD ia pernah berjualan gambar dan saat kuliah berjualan sandal, menjadi pengusaha di luar bayangannya. Dia bukan dari keluarga kaya. Karena itu ia ingin berbagi pengalaman. Ia menulis buku yang ringkas tentang pengalaman dan kiatnya. Bukunya berjudul sederhana: Dari Karyawan Menjadi Juragan. Ia terkadang geli sendiri dengan judul buku itu. Ia seolah begitu jemawa. Namun Erie layak jemawa. Saat ini, jumlah pengusaha di Indonesia masih sangat seidikit. Sandiaga S Uno pernah menyebutkan jumlah pengusaha di Indonesia hanya 0,18 persen dari jumlah penduduk. Hatta Rajasa, Menko Perekonomian, menyebutkan 2,5 persen. Namun untuk menggerakkan sebuah negara butuh minimal 5 persen. Pada 2003, di Cina ada 5,5 persen. Sedangkan di India ada 12,5 persen. Di AS ada 26,85 persen. Tak heran jika kelas pengusaha di Indonesia merupakan kelas yang terlalu elite. Jumlahnya masih terlalu sedikit.
Masih sedikitnya jumlah pengusaha ini justru merupakan peluang besar bagi siapapun, terutama kaum muda. Seperti diketahui, usia rata-rata penduduk Indonesia adalah 27,2 tahun. Penduduk berusia produktif, 15-39 tahun, juga sangat tinggi, 42,3 persen. Peluang tumbuhnya pengusaha baru juga diperlihatkan oleh nilai APBN kita yang kini Rp 1.683 triliun. Di saat Pak Harto turun dan rezim otoriter Orde Baru tumbang, angka APBN kita masih di bawah Rp 300 triliun. Tingginya angka APBN di masa reformasi ini merupakan peluang nyata untuk berbisnis. Itu artinya ada belanja yang sangat besar baik melalui gaji pegawai, operasional birokrasi, belanja modal – kecuali bayar utang. Hal ini diperlihatkan oleh nilai PDB kita yang mencapai 845 miliar dolar AS.
Meroketnya angka APBN kita tentu sangat terkait dengan masa reformasi, ketika segala peluang menjadi terbuka bagi siapa saja. Kita menyaksikan mal-mal selalu penuh. Bahkan bandara sudah seperti terminal bus, padat. Ini menunjukkan mobilitas penduduk sangat dinamis. Ini menjadi salah satu ciri kemajuan.
Erie adalah salah satu orang yang bisa menikmati momentum perubahan tersebut. Tentu ada banyak Erie-Erie yang lain di kelas UKM di seluruh Indonesia. Mereka para pengusaha di berbagai bidang usaha yang lain. Di tingkat nasional kita juga menyaksikan lahirnya konglomerat-konglomerat baru seperti Chairul Tanjung, Hary Tanoesoedibjo, Sandiaga S Uno, Wisnu Wardhana, Erick dan Boy Thohir, dan sebagainya. Mereka adalah nama-nama baru dalam blantika konglomerat Indonesia.
Keharusan lahirnya para entrepreneur baru juga merupakan tuntutan bagi keberlanjutan Indonesia dan keberlanjutan momentum pertumbuhan. Tanpa topangan pemerataan, masa depan Indonesia terancam. Angka Indeks Gini Rasio kita sudah terbesar sepanjang sejarah Indonesia, 0,44. Ini artinya terjadi ketimpangangan. Berdasarkan data, hanya ada 120 orang Indonesia yang terlalu dominan menguasai kue ekonomi. Ini sangat berbahaya. Tapi kita tak bisa menyalahkan mereka. Ini tanggung jawab kita semua, terutama pemerintah dan DPR. Jika ini dibiarkan, kita bisa terjebak pada konflik. Pemusatan ekonomi ini beriringan dengan pemusatan politik berupa oligarki politik dan politik dinasti. Juga beriringan dengan makin terkonsolidasinya organisasi preman. Kita harus mencegah agar tak bergerak ke situasi yang lebih buruk lagi. Salah satu caranya adalah melahirkan banyak entrepreneur agar terjadi pemerataan.
Pemerintah baru-baru ini mengadakan rapat khusus yang membahas kemudahan berusaha. Dari situ lahir paket kebijakan kemudahan berusaha, yaitu di sektor pajak, perizinan, dan kredit. Sesuai data Bank Dunia yang baru dirilis Selasa lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-120 dari 189 negara dan entitas ekonomi yang disurvei tentang kemudahan berusaha. Angka yang sangat memprihatinkan. Ini tentu akibat kinerja pemerintah. Sebagai contoh, selama periode 2004-2009, pemerintah bahkan pernah bertindak culas yang menghancurkan bisnis furniture rotan. Indonesia adalah penghasil sekitar 80 persen rotan di dunia. Namun Cina dan Vietnam yang menikmatinya. Kerja keras Bob Hasan dan Rini M Soemarno, selaku menteri perdagangan, yang melarang ekspor rotan asalan menjadi sia-sia. Kini Cina memiliki cadangan rotan hingga puluhan tahun. Para pengrajin rotan Indonesia kini justru menjadi TKI yang bekerja di industri rotan Vietnam dan Cina. Ini karena kerajinan rotan adalah khas Indonesia.
Mengutuki dan mengharap dari pemerintah saja tak akan banyak manfaatnya. Salah satu ciri pengusaha adalah ulet dan selalu cari jalan sendiri. Hambatan apapun bisa dilalui. Lebih baik terus memotivasi diri. Menjadi pengusaha, selain membuat diri menjadi kaya dan bisa beramal juga membantu menyelamatkan masa depan Indonesia, menjadi patriot. Bukankah Rasul mengatakan bahwa profesi paling mulia adalah berniaga? Erie telah membuktikannya.
Jika semua berjalan sesuai rencana dan harapan, stabilitas dan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan konsisten hingga 2030an, ketika Indonesia menjadi kekuatan ketujuh ekonomi dunia. Setelah itu secara perlahan akan melambat, sesuai siklus. Periode ini merupakan periode emas sejarah Indonesia. Dalam periode ini akan lahir banyak pengusaha baru, yang akan menentukan struktur elite Indonesia ke depan. Katakanlah akan ada 10 persen atau 5 persen pengusaha dan jika penduduknya adalah 300 juta pada 2030 maka saat itu akan ada 30 juta atau 15 juta pengusaha. Jika saat ini jumlah pengusaha ada 6 juta jiwa (2,5 persen dari jumlah penduduk) maka ada peluang lahirnya 24 juta atau 9 juta pengusaha baru. Momentum seperti ini tak datang setiap saat. Jadilah para pengejar bintang, bukan penunggu godot.