REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Suatu hari pada akhir 1980-an dari mulut seorang Mikhael Gorbachev (waktu itu Presiden Uni Soviet) terucap doa, ''Semoga Yang di Atas Sana memberi kekuatan pada saya dan bangsa ini.'' Sang Presiden sedang mengalami masa yang paling sulit. Ia baru saja menggelindingkan perubahan besar-besaran di negaranya. Perubahan itu ia sebut sebagai glasnost (keterbukaan politik) dan perestroika (restrukturisasi ekonomi).
Glasnost dan perestroika ia maksudkan untuk mengubah Uni Soviet dari sistem komunis yang kaku dan tertutup menjadi sistem yang lebih terbuka. Sistem yang memberi peran lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi dan politik. Harapannya tentu saja akan segera tercipta percepatan pembangunan ekonomi (uskoreniye).
Namun, yang ia tidak perkirakan, ternyata rakyat di Negeri Beruang Merah itu belum siap menerapkan sistem itu. Glasnost dan perestroika telah menjadi bumerang bagi dirinya. Kedua program itu secara langsung maupun tidak langsung telah memicu bubarnya Uni Soviet dan disusul kemudian dengan runtuhnya Tembok Berlin. Yang terakhir ini merupakan simbol persaingan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet) dengan Blok Barat (dipimpin Amerika Serikat) yang dikenal sebagai Perang Dingin.
Pada Agustus 1991, kelompok komunis garis keras di Moskow mencoba melakukan kudeta terhadap kekuasaannya. Mereka marah atas rencana perubahan bentuk negara. Lima bulan kemudian Gorbachev mengundurkan diri sebagai presiden Uni Soviet.
Meskipun tidak lagi jadi presiden, Gorbachev ternyata tetap menarik jadi bahan ulasan oleh para ahli hingga bertahun-tahun. Bukan hanya soal glasnost dan perestroika, tetapi juga yang ia ucapkan, termasuk pengakuannya ada kekuatan di luar dirinya di 'Atas Sana'.
Bagi kaum komunis, agama-yang basic-nya adalah kepercayaan kepada Tuhan-hanyalah dianggap candu yang meracuni masyarakat. Komunis adalah ateis. Komunis tidak mengakui keberadaan Tuhan. Karena itu, pengakuan dari seorang Gorbachev tentang adanya kekuatan di 'Atas Sana' juga dianggap sebagai pertanda runtuhnya paham komunis, mengingat ia saat itu merupakan pemimpin tertinggi dari negara komunis terkuat di dunia.
Apalagi terbukti kemudian, Federasi Rusia yang terbentuk setelah pecahnya Uni Soviet membebaskan warganya untuk beragama atau tidak beragama. Membebaskan masyarakat untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Begitu juga dengan komunis di Cina. Di negeri berpenduduk terbesar di dunia itu, komunis lebih sebagai sistem politik. Komunis bukan lagi sebagai ideologi yang harus ateis.
Itu pula sebabnya Presiden Rusia Vladimir Putin ketika berkunjung ke Vatikan pada November lalu, ia bersama Paus Fransiskus terlihat menunduk di depan patung Bunda Maria (Maryam), sambil mulutnya berkomat-kamit berdoa. Beberapa media pun mempertanyakan siapakah Putin yang sedang berdoa itu? Apakah benar ia si agen rahasia KGB yang komunis di Berlin Timur ataukah seorang Kristen Ortodoks? Apakah ia seorang komunis pada era Uni Soviet ataukah seorang beragama pada era Rusia?
Komunis sebagai ideologi-dan bukan sebagai sistem politik-tampaknya memang tidak bisa bertahan atau dipertahankan. Sebab, secara naluri, setiap manusia-baik sadar maupun tidak sadar-akan mengakui ada kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan yang lebih dahsyat di luar kekuasaan manusia.
Siapakah yang mempunyai kekuasaan yang mahadahsyat itu? Kekuasaan yang mampu mengangkat dan menurunkan derajat seseorang? Kekuasaan yang mampu mendatangkan melapetaka dan keberuntungan? Kekuasaan yang mampu mendatangkan banjir bandang, gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi? Kekuasaan yang mampu meluluhlantakkan bangunan-bangunan megah seisinya? Kekuasaan yang mampu meruntuhkan kejayaan sebuah bangsa dan negara yang terdahulu dan yang akan datang?
Lalu, dari mana pula datangnya sebuah kecelakaan dahsyat meskipun manusia sudah berhati-hati? Juga adakah manusia dapat berlindung terhadap bertambahnya umur dari bayi, kemudian remaja, pemuda, dewasa, tua, dan lalu mati? Siapakah Sang Mahadahsyat Pencipta semua itu?
Manusia, diukur dari sisi mana pun, adalah sangat kecil. Manusia hanyalah sebuah titik. Bahkan titik yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan umur kehidupan dunia yang usianya ribuan, jutaan, atau bahkan miliaran tahun. Manusia, apakah ia miskin ataukah si kaya sekaya-kayanya, ia hanyalah sebuah titik.
Manusia, apakah ia rakyat jelata ataukah si penguasa, dia juga hanya sebuah titik. Kekayaan akan berakhir ketika ia mati. Kekuasaan juga akan ada batasnya ketika waktunya tiba. Pun demikian dengan Mikhael Gorbachev. Juga Vladimir Putin atau siapa pun yang sedang menggenggam kekuasaan dan kekayaan, sebesar apa pun kekuasaan dan kekayaan itu. Semuanya akan ada akhirnya.
Bukan hanya sebuah titik. Manusia juga lemah di hadapan Sang Mahadahsyat. Itu sebabnya, Gorbachev dan Putin yang tadinya komunis ateis alias tak bertuhan masih membutuhkan doa. Mereka memerlukan mengingat (zikir) Sang Mahakuasa yang mempunyai kekuasaan di luar nalar manusia. Begitu juga dengan para pemain bintang sepak bola dunia juga masih membutuhkan berdoa sebelum turun ke lapangan. Mereka merasa belum pede (percaya diri) dengan strategi, kemampuan teknis, serta kebugaran fisik saja. Mereka masih membutuhkan keberuntungan.
Ya, setiap manusia, setiap diri kita, jelas membutuhkan keberuntungan. Keberuntungan yang berasal dari luar kemampuan dan usaha maksimal kita. Dalam bahasa agama (Islam), keberuntungan atau nasib baik itu jelas berasal dari Allah SWT, Sang Mahadahsyat yang mampu melakukan apa saja. Kun fayakun.
Untuk memperoleh kun fayakun Tuhan (Allah SWT), kita tentu perlu persiapan. Ibarat orang yang akan melompat jauh, ia perlu ambil ancang-ancang. Ancang-ancang ini bisa berupa momen-momen tertentu. Katakanlah, menjelang pergantian tahun seperti sekarang. Misalnya, dengan merenung dan mengevaluasi diri. Menengok ke belakang tentang apa yang telah kita perbuat dan menatap ke depan dengan semangat optimisme. Menyadari bahwa diri kita hanyalah sebuah titik kecil dalam kehidupan. Dan, sebagai titik kecil, kita berharap kepada Sang Maha Pengatur Kehidupan sebuah keberuntungan dan nasib baik pada tahun-tahun mendatang.
Selamat tahun baru. Mari bergabung dengan komunitas Kelompok Media Republika untuk mengambil ancang-ancang menghadapi tahun 2014 dengan menghadiri acara Zikir Nasional untuk Indonesia Lebih Baik di Masjid At-Tin, TMII, Jakarta Timur, pada 31 Desember 2013, dari sore hingga lewat tengah malam. Sejumlah ulama akan mengisi acara malam pergantian tahun itu.
Semoga kita bisa menatap tahun dengan penuh semangat dan optimisme. Semoga pula keberuntungan dan nasib baik selalu menaungi hidup kita. Kullu 'aamin wa antum bikhoirin