REPUBLIKA.CO.ID: Oleh: Yudi Latif
Demokrasi tak bisa berumah di angin. Trilyunan uang terkuras, berbilang institusi tiruan dicangkokkan serta pelbagai prosedur baru digulirkan tak membuat rakyat kian berdaya secara politik. Perangkat keras demokrasi memang berhasil dipoles, tetapi perangkat lunaknya masih berjiwa tirani. Demokrasi berjalan dengan meninggalkan sang “demos” (rakyat jelata), seperti malin kundang yang melupakan ibunya sendiri.
Situasi demikian mengingatkan kembali sisi kegagalan demokrasi Indonesia pada dekade 1950-an. Menurut pandangan Ricklefs, kegagalan tersebut disebabkan oleh lemahnya fondasi demokrasi. ”Di sebuah negara yang masih ditandai oleh tingginya tingkat buta huruf, rendahnya pendidikan, buruknya kondisi ekonomi, lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitas otoritarian, wilayah politik masih merupakan hak istimewa milik sekelompok kecil elite politisi.”
Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi kelembagaan politik dan ekonomi, melainkan perlu mengakar ke bumi reformasi budaya. Reformasi budaya merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide dan jalan hidup. Dalam hal ini, terasa penting untuk memperhatikan jalinan erat antara budaya, politik
dan ekonomi, sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Seperti dingatkan oleh Anthony Giddens (1984), “Konsep budaya kita bersifat interaktif. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa alih-alih terpisah dari wilayah ekonomi, politik dan masyarakat, budaya merupakan medium pembentukan makna yang berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan lainnya dalam mempengaruhi semua bidang kehidupan, termasuk politik dan ekonomi.”
Budaya demokrasi mengandaikan adanya empati dan partisipasi; yakni kesanggupan untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, yang menjadi anjakan bagi kesediaan berperan aktif dalam penyelesaian masalah-masalah kolektif. Kemampuan empati dan partisipasi ini bisa ditumbuhkan oleh kekuatan literasi (Lerner, 1958).
Dunia kelisanan adalah dunia pemusatan yang mengarah pada elitisme. Dalam tradisi kelisanan hanya ada sedikit orang yang memiliki akses terhadap sumber informasi. Kelangkaan ini menganugerahkan privilese khusus kepada sedikit elit yang membuatnya dominan secara politik. Adapun dunia keberaksaraan adalah dunia penyebaran. Perluasan kemampuan literasi dan jumlah bacaan mendorong desentralisasi penguasaan pengetahuan. Desentralisasi ini secara perlahan memerosotkan nilai sakral elitisme seraya memperkuat egalitarianisme.
Elitisme mengadung mentalitas narsistik yang berpusat pada diri sendiri, tanpa empati dan kesungguhan mengajak partisipasi. Egalitarianisme mengadung kepekaan akan kesedarajatan hak, oleh karenanya berusaha mencegah timbulnya dominasi dengan menggalakan partisipasi.
Tak heran, dalam negeri dengan tradisi literasi yang kuatlah demokrasi bisa tumbuh dengan kuat. Athena (Yunani) sering dirujuk sebagai ”ibu demokrasi” karena berakar pada tradisi literasi yang kuat, berkat penemuan alfabet. Peradaban Yunani dan Romawi adalah yang pertama di muka bumi yang berdiri di atas aktivitas baca-tulis masyarakat; pertama kali diperlengkapi dengan sarana-sarana berekspresi yang memadai dalam dunia tulis; pertama kali mampu menempatkan dunia tulis dalam sirkulasi umum (Havelock, 1982). Revolusi demokratik terjadi di Perancis (1848), tidak di Inggris sebagai pelopor revolusi industri, karena Perancis (Paris) saat itu merupakan masyarakat dengan tingkat literasi yang paling tinggi di Eropa (Rude, 1970).
Gambaran paling nyata dari demokrasi Barat kontemporer terletak pada derajat literasinya yang tinggi. Secara umum dipercaya bahwa naiknya tingkat literasi masyarakat mengarah pada kemunculan institusi-insitusi sosial yang rasional dan demokratis; juga pada perkembangan industrial serta pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kemunduran dalam tingkat literasi menimbulkan ancaman terhadap kemajuan dan demokrasi.
Kalangan sejarawan mencoba melukiskan secara spesifik tentang relasi antara literasi dan perkembangan sosial di Barat. Cipolla (1969) menemukan bahwa kendatipun pola sejarah tidaklah seragam, ‘tampak jelas bahwa seni menulis secara nyata dan tegas berkaitan dengan kondisi urbanisasi dan hubungan komersial.” Korelasi ini menarik kesimpulan bahwa literasi merupakan sebab pembangunan, suatu pandangan yang mendorong komitmen UNESCO untuk “melenyapkan iliterasi” pada tahun 2000 sebagai katalis bagi modernisasi (Graff, 1986).
Tingkat keberaksaraan dan keluasan erudisi masyarakat, khususnya di Indonesia, saat ini mendapatkan ancaman dari berbagai penjuru. Ancaman pertama datang dari “vokasionalisme baru” (new vocationalism), yakni suatu konsepsi utilitarian dari lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan keterampilan teknis. Dalam arus ini, pengajaran bahasa mengabaikan dimensi kesasteraan, seraya memberi perhatian yang berlebihan pada pengajaran tata-bahasa dalam disiplin keilmuan dan kejuruan yang spesifik.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut Frank Furedi (2006) sebagai ”the cult of philistinism”, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Universitas dan lembaga pendidikan lainnya sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya dan pendidikan sejauh yang menyedikan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Orang-orang yang membaca kesusateraan dan mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai ’’elitis’, ’tak membumi’, dan ’marjinal’. Kedalaman ilmu dan wawasan kemanusiaan dihindari, kedangkalan dirayakan.
Ancaman kedua, berupa terpaan mendalam dan meluas dari multimedia, khususnya televisi. Selain biasnya terhadap kelisanan, kemaharajalelaannya di tanah air, saat tradisi literasi rapuh dan kesasteraan dimarjinalkan, memberi penguatan terhadap budaya kedangkalan seraya melemahkan fungsi-fungsi keberaksaraan.
Tekanan pada utilitarianisme dalam kelemahan tradisi literasi dan erudisi memberi ketimpangan pada kehidupan publik. Jagad politik dibanjiri politisi-tukang, dengan kelangkaan politisi-intelektual. Demokrasi yang mensyaratkan meritokrasi didarahi oleh mediokrasi, yang melumpuhkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian
nasional.
Demokrasi harus berakar di bumi. Demokrasi hanya bisa tumbuh subur jika tersedia basis literasi. Saatnya memuliakan keberaksaraan!