Senin 17 Feb 2014 06:00 WIB

Saudi Mengekspor Teroris?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz, awal bulan ini mengeluarkan dekrit penting melarang warganya bergabung atau mendukung kelompok-kelompok yang bisa diklasifikasikan sebagai organisasi teroris. Dekrit itu juga mengharamkan warga Saudi ikut berperang dalam konflik-konflik di luar negeri.

 

Bagi yang membandel tetap mendukung dan apalalagi terlibat dengan kelompok teroris diancam hukuman 5-30 tahun. Sedangkan bagi yang ikut 'berjihad' dengan senjata di luar negeri ancaman hukumannya antara 3-20 tahun.

Titah Raja Abdullah itu bukan hanya penting buat Kerajaan Arab Saudi, tapi juga bagi kawasan Timur Tengah dan bahkan dunia Islam. Kekuatan ekonomi dan keberadaan tempat-tempat suci umat Islam telah menjadikan Saudi sebagai negara berpengaruh. Termasuk pengaruh ideologi keberagamaan umat Islam di berbagai negara. Fatwa-fatwa para ulama Saudi sering dijadikan rujukan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa ada kelompok-kelompok 'garis keras' di masyarakat, termasuk di Indonesia, yang sering diafiliasikan ke Saudi. Afiliasi itu bukan ke institusi negara, namun lebih ke orang per orang ulama Saudi. Bahkan, konon, kelompok-kelompok itu mendapatkan dukungan dana dari oknum-oknum atau pihak Saudi tersebut. Mereka sering menuduh kelompok lain yang berbeda sebagai kafir.

Rumor atau tuduhan keterkaitan pihak-pihak Saudi dengan kelompok-kelompok garis keras semakin kental pasca pemboman Menara Kembar World Trade Center di New York dan beberapa sasaran lainnya di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Peristiwa yang menewaskan lebih 3.000 jiwa itu kemudian dikenal sebagai Tragedi Nine Eleven atau 9/11.

Tuduhan pihak yang berada di belakang Tragedi 9/11 pun segera dialamatkan ke Alqaidah dan pemimpinnya, Usamah bin Ladin. Pada awalnya, Usamah menolak dikaitkan dengan tragedi berdarah itu. Namun, belakangan ia mengaku bertanggung jawab terhadap serangan tersebut.

Usamah bin Ladin berasal dari Saudi. Keluarganya sangat terpandang dan merupakan konglomerat dengan bendera Ben Ladin. Dari sinilah kemudian muncul tuduhan bahwa pihak-pihak di Saudi terlibat dengan aksi-aksi terorisme. Apalagi dari sejumlah 19 pembajak pesawat yang digunakan untuk menyerang World Trade Center dan sasaran lainnya, seperti dirilis  FBI, adalah berasal dari Saudi. Belakangan keluarga Bin Ladin dan pemerintah Saudi menolak keras dikaitkan dengan Usamah maupun sejumlah warganya yang terlibat dalam serangan beradarah itu.

Keterlibatan pihak atau orang-orang yang berasal dari Saudi dengan tindak terorisme bermula dari Afghanistan. Tepatnya pada 1979, ketika Uni Sovyet menyerang Afghanistan. Serangan itu dianggap sebagai serangan negara kafir terhadap negara Islam dan karena itu umat Islam tidak boleh berpangku tangan. Dari sini, banyak orang-orang Islam yang pergi berjihad ke Afghanistan, termasuk Usamah bin Ladin. Bahkan yang terakhir ini kemudian mendirikan kelompok mujahidin Arab di bawah organisasi Alqaidah.

Di bawah Alqaidah -- bekerjasa sama dengan pemerintahan Taliban Afganistan -- inilah kemudian banyak orang Islam dari berbagai negara bergabung. Termasuk ribuan orang yang berasal dari Saudi. Apalagi ketika beberapa ulama setempat ikut memberi fatwa bahwa pergi ke Afghanistan adalah jihad. Mereka kemudian bergabung dengan orang-orang Islam dari berbagai negara.

Ketika tentara Uni Sovyet menarik diri dari Afghanistan, Alqaidah pimpinan Usamah dan orang-orang yang tergabung dengannya segera berbalik melawan Amerika Serikat. Yang terakhir ini tadinya membantu perjuangan Alqaidah dan Taliban untuk mengusir tentara Uni Sovyet. Usamah mengeluarkan fatwa agar tentara Amerika meninggalkan Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya. Alasannya, karena AS selama ini terus membantu negara Zeonis Israel yang dianggap sebagai musuh Islam.

Pada perkembangan berikutnya, mengutip pengamat Timur Tengah Ridwan Said (Al Sharq Al Awsat, 14/02), karena Alqaidah mendasarkan pada Islam, maka siapa pun yang dianggap merugikan umat Islam mereka adalah musuh. Bahkan, lanjut Said, mereka (Alqaidah) juga ingin 'meluruskan pelaksanaan ajaran agama (tashihu masaru ad-din)' di seluruh masyarakat Islam di berbagai negara. Sebagai akibatnya, umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka juga dianggap sebagai lawan.

Apalagi, tulis kolomnis tetap Al Sharq Al Awsat, Abdul Rahman Al Rasyid, kelompok-kelompok radikal itu berhasil memahamkan bahwa jihad (perang) adalah kewajiban individu dan bukan negara. Dari sinilah kemudian mereka bisa merebut hati anak-anak muda dan merekrutnya sebagai kelompok-kelompok pejuang yang siap memerangi siapa saja yang dianggap musuh.

Karena itu bisa dipahami, menurut Al Rasyid, mengapa setelah berhasil membantu Taliban di Afganistan mengusir tentara Uni Sovyet, mereka mencari medan jihad baru. Medan jihad itu ada di Bosnia, di negara-negara Teluk untuk mengusir Amerika, di Irak, Somalia, Burma, dan seterusnya. Bahkan Saudi sendiri juga tak terlepas dari serangan para teroris yang menelan puluhan kurban jiwa. Lantaran itu, menurut beberapa pengamat Timur Tengah – Ridwan Said, Al Rasyid, dan Tariq Al Hamid --, dekrit Raja Abdullah untuk melawan terorisme dan radikalisme bukan hanya ditujukan untuk melarang warga Saudi yang siap berjihad di Suriah. Namun, yang lebih penting lagi, dekrit sang raja justeru ditujukan untuk menghilangkan radikalisme di dalam negeri dan sekaligus membantah anggapan bahwa Saudi selama ini mengekspor dan membantu teroris atau kelompok-kelompok yang menempuh jalan kekerasan.

Bagi kawasan Timur Tengah dan dunia Islam, sikap tegas Raja Abdullah bisa dipastikan juga akan mempunyai pengaruh yang besar untuk menangkal radikalisme. Selama ini Saudi – didukung kekuatan ekonomi dan keberadaan Mekah dan Madinah – telah memainkan peran strategis di kawasan. Termasuk peran mereka mendukung pemeritahan Mesir sekarang ini melawan Ikhwanul Muslimin yang dianggap akan melahirkan bibit-bibit radikalisme pasca penggulingan Presiden Mohammad Mursi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement