REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha
Air mata Tri Rismaharini di acara Mata Najwa menggelorakan banjir dukungan pada dirinya. Tangisan wali kota Surabaya ini bukan air mata buaya. Setiap bicara tentang pelacuran Dolly dan kisah remaja yang menjadi pelanggan di kompleks pelacuran itu ia memang selalu berurai air mata. Namun tangisannya di acara itu membuat kisah melo itu menjadi massif. Itulah kekuatan televisi. Hal itu juga makin mengokohkan Najwa Shihab sebagai pembawa acara talkshow televisi paling berpengaruh saat ini.
Risma adalah kisah penganiayaan dan perlawanan. Di awal menjadi wali kota, ia dicopot dari jabatan wali kota oleh DPRD karena menaikkan pajak reklame. Ia melawan dan menang. Kemendagri menolak keputusan DPRD tersebut. Salah satu motor utama gerakan penjatuhan dirinya adalah Wisnu Sakti Buana, wakil Ketua DPRD Kota Surabaya. Ia juga ketua DPC PDIP setempat. Ia adalah putra Sutjipto, mantan sekjen PDIP. Kini, karena wakil wali kota sebelumnya, Bambang DH, mundur dari jabatannya, Risma harus menerima kenyataan orang yang gagal menyingkirkan dirinya itu harus menjadi wakilnya. Tentu Risma meradang. Ia menolak dan mengancam mundur. DPRD tak kalah gertak: silakan mundur. Justru itu yang mereka tunggu. DPP PDIP juga mendukung Wisnu untuk menjadi wakil Risma. Wanita bertangan besi ini terjepit. Seolah tak ada pilihan: mundur atau tunduk.
Mantan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan itu memang dicalonkan oleh PDIP saat maju menjadi walikota. Ia maju digandeng Bambang DH, yang menjabat walikota dua kali berturut-turut. Boleh dikata ia menjadi walikota karena faktor Bambang. Bambang adalah tokoh PDIP di kota itu. Namun kemudian Bambang maju dalam pemilihan gubernur Jawa Timur. Untuk menunjukkan keseriusannya, ia mundur dari jabatan wakil wali kota. Karena itulah kini ada pemilihan wakil wali kota oleh DPRD. Celakanya, orang yang dipilih itu justru musuh politiknya. Risma kehilangan pegangan. Partai yang mengusungnya seolah menyodorkan macan ke dirinya.
Risma memang bukan figur biasa. Ia tak takut memasuki wilayah panas. Ia menolak pembangunan jalan tol yang membelah kota. Ia harus bertarung dengan banyak pihak, termasuk DPRD. Sebagai arsitek dan magister tata kota, ia paham benar bahwa itu konsep yang salah. Yang harus dilakukan adalah membangun satelit-satelit baru di wilayah suburban. Dengan demikian akan mengurangi pertumbuhan di wilayah pusat. Tekanan akan bergeser ke pinggir. Namun pengembangan kota berarti uang yang besar. Para raksasa pembangunan jalan tentu kecewa. Para penguasa lahan dan pengusaha properti raksasa menjadi gigit jari. Di sekitarnya adalah para makelar yang menangis kehilangan uang tiban. Kita tahu profesi apa saja yang penghasilan utamanya justru menjadi makelar.
Kisah heroik Risma yang lain adalah penutupan kompleks pelacuran Dolly, yang konon terbesar di Asia Tenggara. Ini semacam misi suci. Apalagi dua kawasan pelacuran sebelumnya sudah ditutup lebih dulu. Yang pertama adalah Kramat Tunggak di Jakarta. Kedua, Saritem di Bandung. Saat itu tak ada yang yakin Dolly bisa ditutup. Terlalu besar uang yang beredar. Ada empat kejahatan yang selalu hadir bersama: pelacuran, minuman keras, perjudian, dan narkoba. Semuanya bisnis uang kontan yang sangat menggiurkan. Berbeda dengan penutupan dua lokasi pelacuran sebelumnya, Risma mencoba melakukan pendekatan yang manusiawi. Ia melakukan dialog berkali-kali. Ia juga menyabari yang tetap bertahan. Hingga akhirnya semuanya bersedia meninggalkan kawasan yang legendaris tersebut.
Namun yang akan banyak dicatat publik atas prestasi Risma adalah program pembangunan taman, penghijauan, dan pembersihan kali. Surabaya kini menjadi lebih asri, teduh, dan bersih. Kuburan pun ia sulap menjadi wilayah yang nyaman. Ia juga memiliki program kewirausahaan dan perbaikan kawasan kumuh. Ia juga punya program untuk anak yatim, miskin, dan lansia. Ia tipikal manusia yang gemar turun ke lapangan. Ia banyak berkantor di jalan, termasuk menandatangani dokumen. Ia ikut memadamkan kebakaran, mendorong mobil mogok, membersihkan kali, menggergaji pohon tumbang. Salah satu hasilnya adalah tangannya patah.
Kini, tiba-tiba publik berharap cemas. Apakah mereka akan kehilangan wali kota luar biasa ini? Ini adalah pertarungan ideologis di tubuh PDIP. Sebagai partai marhaen, partai wong cilik, PDIP niscaya melahirkan pemimpin semacam ini. Risma adalah selanjutnya, sebelumnya adalah Jokowi. Sebagai partai berideologi pro-rakyat, wajar saja jika partai ini akan melahirkan pemimpin yang berakar ke bawah. Namun perjalanan partai ini, di elitenya justru berakar ke samping dan menggantung. Partai ini justru terpuruk ketika itu. Saat menjadi presiden, Megawati dikelilingi kader yang pro-neolib dan pro-pemodal. Sehingga partai ini dihukum pada pemilu 2004 dan 2009. Kini setapak demi setapak, setelah dua periode beroposisi, partai ini merangkak naik. Ini disumbang oleh simpati pemilih pada figur-figur seperti Jokowi dan Risma. Untuk memenangkan pemilu tak cukup mengandalkan captive market para pengikut setia Sukarno. Pemilu 1955, 1999, 2004, dan 2009 memperlihatkan tingkat persebaran suara yang merata. Pemenangnya ditentukan swing voters yang besar dan meloncatnya pemilih yang kecewa. PDIP harus kembali ke jati diri ideologisnya.
Risma juga tak boleh menangis lagi. Ia harus bertarung. Saat ini Anda kalah dalam satu pertempuran, tapi Anda bisa memenangkan perangnya. Ada satu nasihat dari Niccolo Maciavelli: “ketika mereka bisa bergantung pada diri mereka sendiri dan menggunakan kekuatan, maka mereka jarang berada dalam kondisi yang membahayakan.”
Catat pula nasihat Bung Karno: “politik buat saya ialah menyusun suatu kekuasaan yang terpikul oleh ide. Hanya machtsvorming yang terpikul oleh itulah yang bisa mengalahkan segala musuh kaum Marhaen...kita kaum Marhaen Indonesia tak cukup dengan menggerutu saja.”
Let's play the game, Risma...ini batu ujian untuk menjadi pemimpin besar.