REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha
“Nelson Mandela memang akan menang, tapi dia tak akan mampu memimpin negeri ini,” ujar seorang pria kulit putih menjelang pemilu. Dialog itu menjadi pembuka film biografi pemimpin besar tersebut. Film produksi Hollywood itu menggambarkan Afrika Selatan saat baru lepas dari politik diskriminatif Apartheid. Invictus, itulah judul filmnya.
Saat ini sebagian orang mengemukakan argumen yang sama tentang Jokowi. Jokowi dianggap hanya menang popularitas. Sedangkan leadership, visi, wawasan, keterampilan, dan manajerialnya belum teruji. Bahkan ada yang mengolok-olok membayangkan Jokowi saat tampil di PBB, G-20, APEC, dan saat berdebat dalam diplomasi. Catatan perjalanannya sebagai wali kota Solo juga diungkap. Mereka skeptis dan bahkan tak menghendaki kemenangan Jokowi. Namun politik bukan soal itu semata. Ada banyak variabelnya. Pada sisi lain, para pendukungnya tentu punya jawaban untuk semuanya.
Joseph S Nye Jr, dalam bukunya The Powers to Lead yang terbit pada 2008, mencatat, kepemimpinan lahir dengan banyak cara. Dan dia tak banyak mendiskusikan ihwal teknis dan detil seperti visi dan manajerial, juga soal penampilan. Berdasarkan risetnya, sejak tahun 1920an hingga 1990an, ada 221 definisi tentang kepemimpinan. Dan pengertian paling mutakhir tentang kepemimpinan adalah konteks hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Bagi Nye, kepemimpinan adalah masalah hubungan sosial dengan tiga komponen kunci: pemimpin, pengikut, dan konteks interaksi keduanya. Kuatnya pengertian kepemimpinan yang semacam ini dipicu oleh revolusi informasi. Setiap orang relatif terpapar informasi yang sama. Padahal informasi itulah yang membuat seseorang menjadi lebih unggul dibanding yang lainnya. Akibat kesetaraan informasi itu kehidupan politik dan organisasi tertransformasi. “Hierarkhi menjadi lebih datar dan melekat pada jaringan hubungan yang cair.” Pemimpin tak lagi berada di puncak struktur hierarkhi tapi berada di pusat lingkaran. Karena itu ada yang mengatakan kepemimpinan menjadi bersifat feminin: soft power menjadi lebih penting dibandingkan hard power.
Hanya anak zaman yang bisa mempraktikkan perubahan model kepemimpinan. Mereka adalah orang-orang yang bisa mengkombinasikan soft power dan hard power sehingga menjadi smart power, kepemimpinan yang efektif. Nye berkesimpulan, kehebatan Winston Churchill bukan terletak pada kemampuannya dalam melakukan perubahan tapi karena konteksnya yang berubah, yakni akibat sepak terjang Hitler. Seperti kata Herbert Spencer, before he can re-make his society, his society must make him.
Pada sisi lain, ada orang yang berada pada waktu dan ruang yang tepat sehingga dengan hal yang sederhana ia bisa ikut menciptakan perubahan. Hal sederhana itu bisa dilakukan siapa saja. Tak butuh orang yang spesial. Sang pemimpin hanyalah membantu publik dalam menciptakan dan mencapai tujuan bersama. Penekanannya adalah pada tujuan bersama tersebut, bukan pada mobilisasinya. “Kepemimpinan bukan hanya siapa kamu tapi apa yang kamu lakukan.”
Kita sendiri belum tahu siapa presiden kita mendatang. Namun hingga kini nama Jokowi paling diunggulkan, terutama oleh survei-survei. Padahal, hingga kini nama Jokowi masih belum secara resmi bakal dicalonkan partainya, PDIP. Partai ini masih menutup rapat isi kantongnya. Walaupun sudah mulai muncul spekulasi bahwa itu hanya soal waktu. Para pendukungnya yakin benar, paling lambat sepekan sebelum pemilu legislatif, PDIP akan mengumumkan nama Jokowi. Ini diharapkan akan mengatrol perolehan suara PDIP secara signifikan. Perumpamaan paling tepat dikemukakan oleh Aburizal Bakrie. Menurutnya, Jokowi belum memegang boarding pass, walaupun sudah jelas pesawatnya. Bagi Bakrie, hanya ada dua pesawat yang diperkirakan bisa langsung terbang dalam adu balap pada pemilu presiden nanti, yakni Golkar dan PDIP. Partai-partai lain harus berkoalisi. Dan, hanya dirinya yang sudah pasti memegang boarding pass.
Model kepemimpinan Jokowi yang sesuai dengan konsep Nye tersebut merupakan buah dari reformasi. Demokrasi dan kebebasan informasi telah banyak mengubah lanskap masyarakat kita. Namun fragmentasi politik dan sosial dalam masyarakat kita merupakan tantangan yang lain lagi. India merupakan contoh nyata. Di awal abad ke-21, India dan Cina berada dalam trek yang sama, namun kini India sudah tertinggal dari Cina. Efisiensi dan efektivitas kepemimpinan Cina membuat negeri itu mudah melangkah. Sedangkan fragmentasi India yang mirip Indonesia membuat negeri itu keberatan beban sosial politik. Pada sisi lain, Indonesia yang kaya sumberdaya alam dan mineral merupakan incaran banyak negara. Menguatnya Indonesia merupakan panorama gerbang yang sedang ditutup perlahan. Mereka pasti berusaha mencegahnya, mereka ingin tetap Indonesia sebagai negeri yang lemah. Dalam konteks itu, kritik-kritik terhadap kelemahan Jokowi memiliki relevansinya.
Seperti kata Nye, the functions that leaders perform for human groups are to create meaning and goals, reinforce group identity and cohesion, provide order, and mobilize collective work. Kita harus konsisten pada model kepemimpinan yang setara. Yakni pemimpin yang hadir di tengah masyarakatnya, memobilisasi semangat dan tujuan kolektif. Seperti Mandela yang bisa menghela Afrika Selatan untuk maju dan fokus ke depan. Orang besar tak harus karena kebesaran individualnya tapi karena ia menyatu dengan masyarakatnya. Yang dibutuhkan hanyalah langkah sederhana dan tepat yang bisa dilakukan siapa saja. Sudah saatnya mengakhiri kepemimpinan yang elitis, yang hanya melibatkan sedikit orang. Itu artinya redistribusi ekonomi dan power.
Kita tunggu siapa capres yang bisa menghadirkan situasi semacam itu. Kita harus katakan, masyarakat sudah berubah. Masyarakat bukan objek dan penonton perubahan, tapi pelaku dan penentu perubahan.