REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra
Berita cukup mengejutkan pekan lalu datang dari Turki, yaitu Perdana Menteri Recep Teyyep Erdogan memblokir Twetter. Bagi saya yang ‘jadul’ alias tidak menggunakan Twetter atau Facebook dan jejaring sosial lain, berita itu tetap mengagetkan. Hari gini kok masih ada penguasa yang berpikir dapat menguasai warganya dengan menutup jejaring sosial.
Melihat apa yang dilakukan PM Turki, pertanyaannya adalah: “Mau ke mana Erdogan?” PM Erdogan tidak hanya memutus koneksi jejaring sosial, tetapi juga menutup situs-situs internet dan rekaman yang memuat berita tentang korupsi di lingkaran kekuasaan, keluarga dan karib kerabatnya. Sebab itu, menurut laporan berbagai media, ia juga akan melarang Facebook dan Youtube.
Apakah Erdogan kini telah terkena sindrom yang pernah melanda banyak penguasa otokratik Dunia Arab dalam gejolak ‘Arab Spring’ yang bermula sejak awal 2011 dan berlanjut sampai sekarang. Sindrom itu
menyangkut angan-angan (wishful thinking) tentang tiga hal. Pertama, agar jejaring sosial diblokir; kedua, agar Jumat tidak lagi merupakan hari libur; dan ketiga, agar TV berita al-Jazeera bahasa Arab diberangus.
Kenapa demikian? Alasannya jelas. Jejaring sosial sangat efektif menggerakkan massa menentang penguasa. Kemudian, karena Jumat libur, hari tersebut digunakan untuk menggalang kekuatan pembangkang. Sedangkan al-Jazeera bahasa Arab yang dengan mudah diakses para warga dengan
pemberitaannya turut ‘memprovokasi’ massa menumbangkan rejim-rejim otoriter di Dunia Arab.
Boleh jadi dengan masalah kian menggunung yang dihadapinya, PM Erdogan juga berharap yang sama. Tapi kalau ia mau belajar dari pengalaman Tunisia dan Mesir, harapan itu jelas sia-sia. Pelarangan jejaring
sosial melalui penyedia tertentu mendorong munculnya provider lain di mancanegara yang memfasilitasi komunikasi di antara warga.
Karena itu, tindakan pelarangan hanya menjadi kontra-produktif dan sebaliknya justru kian membangkitkan perlawanan massa kian meningkat yang berpuncak pada tumbangnya rejim penguasa di negara-negara tersebut.
Turki yang sering disebut senafas dengan Indonesia pernah dipandang banyak kalangan sebagai keberhasilan demokrasi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kedua negara yang berada di luar kawasan Dunia Arab ini memperlihatkan kepada dunia, kaum Muslimin Turki dan Indonesia menerima demokrasi dan terlibat aktif dalam proses politik demokrasi. Dengan begitu mereka sekaligus menunjukkan, Islam kompatibel dengan demokrasi.
Jika ada pihak yang enggan dengan demokrasi, mereka adalah militer. PM Erdogan mengakhiri petualangan militer Turki pembela sekularisme dengan pendekatan keras; melalui rekayasa politik tertentu, ia mengakhiri campur tangan militer dalam politik. Sebaliknya di Indonesia, pendekatan lebih lunak dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid dengan menghapus dwifungsi ABRI dan mengembalikan TNI dan Polri kepada tugas pokoknya sebagai aparat pertahanan, keamanan dan penegakan hukum.
Sejak terpilih menjadi PM dari Partai Keadilan dan Pembangunan pada 14 Maret 2003, Erdogan berhasil meningkatkan ekonomi Turki. Jika banyak negara Eropa mengalami krisis dan kesulitan ekonomi, sebaliknya Turki mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan rata-rata lima
persen dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintahan PM Erdogan juga berhasil mengurangi angka pengangguran dari 15 persen menjadi sekitar sembilan persen. Selain itu, di bawah Erdogan, Turki berhasil memperbaiki dan membangun infra-struktur seperti jalan raya dan perumahan untuk rakyat miskin.
Tetapi kekuasaan yang tak tertandingi di tengah kemajuan ekonomi juga meningkatkan korupsi. Dalam tahun-tahun terakhir kian banyak elit politik di lingkaran Erdogan dan AKP yang diduga terlibat korupsi.
Dugaan korupsi akhirnya mengenai pusat syaraf kekuasaan Turki, tegasnya Erdogan sendiri, yang tentu sangat eksplosif. Dalam beberapa pekan terakhir beredar rekaman di internet dan kalangan masyarakat di mana suara seseorang yang diduga Erdogan berbicara dengan putranya Bilal.
Erdogan mengarahkan kepada Bilal untuk menitipkan atau tepatnya menyembunyikan sejumlah besar dana kepada temannya. Tetapi Bilal menyatakan teman-temannya tidak ada lagi yang berani menerima titipannya karena takut terkena razia polisi dan sebagainya.
Membantah adanya percakapan tersebut, Erdogan pertama-tama menyatakan rekaman itu adalah konspirasi Dubes Amerika Serikat untuk Turki, Frank Ricciardone guna mendiskreditkan dirinya dan AKP. Ia kemudian menuduh Gerakan Gulen sebagai bertanggungjawab merekayasa rekaman tersebut.
Erdogan memang belakangan mencurigai kaum Gulenis karena sikap kritis mereka terhadap pemerintah. Gulenis juga dianggap telah menyusup ke dalam aparat birokrasi untuk melakukan sabotase terhadap berbagai program pemerintah.
Kebijakan dan langkah serta isyu korupsi yang melanda PM Erdogan dan AKP boleh jadi sedikit banyak memupus harapan banyak kalangan masyarakat dunia pada Turki. Karena sampai sekarang PM Erdogan masih sangat kuat sementara belum ada figur alternatif, masa depan Turki sangat boleh
jadi bakal menghadapi kerawanan yang sedikit banyak mempengaruhi peta politik di Timur Tengah dan Eropa Timur dan Eropa Tenggara.