Kamis 17 Apr 2014 06:00 WIB

Multikulturalisme Indonesia dan Eropa

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Multikulturalisme masih menjadi agenda yang belum terselesaikan di banyak bagian Eropa. Meski dinamika demografi dan sosial-budaya beberapa negara Eropa meniscayakan penerapan multikulturalisme dalam kehidupan para warganya yang kian beragam, Kanselir Jerman Angela Merkel belum lama ini pernah menyatakan, multikulturalisme telah gagal di banyak

wilayah benua ini.

Munculnya pandangan tentang kegagalan multikulturalisme di Eropa terkait dengan tidak terjadinya akulturasi dan akomodasi budaya secara signifikan di antara para warga. Para migran yang kian banyak datang dari Afrika dan Asia Barat dan Asia Selatan sejak 1950an membuat masyarakat Eropa secara etnis dan agama kian beragam. Tetapi, kaum migran yang kini banyak sudah generasi ketiga, tetap sulit berbaur dengan penduduk pribumi lokal; mereka cenderung hidup dalam perkampungan (enclave) miskin dan kumuh.

Sementara kaum migran umumnya tidak dapat mencapai mobilitas sosial-ekonomi selama puluhan tahun, krisis atau kesulitan ekonomi yang terjadi di sejumlah negara Eropa Selatan seperti Yunani, Italia, Spanyol atau Portugal membuat kaum pendatang menjadi ‘kambing hitam’. Mereka dituduh telah merampas pekerjaan warga lokal, merusak tatanan sosial-budaya, dan mengganggu keseimbangan demografi keagamaan. Sikap anti-migran yang berbaur dengan Islamo-fobia segera mengejawantahkan diri dalam politik dengan kemunculan kelompok politik dan partai ultra-kanan di beberapa negara Eropa.

Mengamati berbagai perkembangan tidak kondusif itu, saya merasa beruntung mendapat undangan Departemen Kajian Silang-Budaya dan Regional Universitas Kopenhagen bekerja sama dengan KBRI untuk Denmark menyampaikan kuliah umum pada 24 Maret 2014 tentang Multikulturalisme Indonesia. Sesuai tajuk ini saya diminta membicarakan multikulturalisme Indonesia secara historis dalam kaitan dengan Islam dan politik khususnya.

Dalam bacaan dan pergaulan dengan banyak pengamat Eropa atau Barat umumnya, saya mendapat kesan, bagi mereka sulit dibayangkan Indonesia yang terdiri dari begitu banyak kelompok etnis atau suku bangsa dengan tradisi sosial budaya, adat istiadat dan bahasa berbeda dapat bersatu dalam sebuah negara-bangsa. Apalagi, wilayah Indonesia dipisahkan samudera, lautan, dan selat, di mana para warga yang hidup di pulau-pulau terpisah sulit bertemu, berinteraksi dan saling bertukar budaya—setidaknya sampai alat transportasi moderen, khususnya pesawat udara dan medium telekomunikasi instan belum tersedia.

Tak kurang pentingnya menambah keragaman itu adalah agama. Hampir seluruh agama besar dunia terdapat di Indonesia—dalam urutan historis mulai dari Hindu, Budha, Islam, Kristianitas (Katolik dan Kristen Protestan), dan Kunghucu. Mereka hidup berdampingan berabad-abad. Penyebaran dan pergantian agama berlangsung damai dalam perjalanan sejarah panjang. Di wilayah ini tidak pernah terjadi ‘perang agama' dalam skala besar dan dalam waktu lama. Jika ada konflik, itu cenderung isolatif dan berlangsung dalam waktu singkat.

Tetapi fakta, realitas historis dan dinamika kelompok etnis dan keagamaan yang sangat beragam itu tak banyak diketahui para ahli Eropa dan Barat umumnya. Sekalipun mengetahuinya, mereka cenderung mengabaikan fakta dan realitas bahwa multikulturalisme bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Walau istilah ‘multikulturalisme’ relatif baru bagi banyak warga Indonesia.

Sekali lagi, bagi banyak pengamat Eropa atau Barat umumnya, tidak terlalu penting, bahwa secara substantif keragaman itu sudah ada dan berurat berakar di Kepulauan Nusantara, yang kemudian diadopsi menjadi salah satu prinsip dasar negara-bangsa Indonesia sejak merdeka 17 Agustus 1945. Itulah dia, prinsip Bhinneka Tunggal Ika—keragaman dalam

kesatuan.

Oleh sebab itu, dalam mengamati keragaman Indonesia, para pengamat cenderung memproyeksikan pengalaman dan realitas historis yang pernah terjadi di Eropa. Kawasan benua ini pada dasarnya monokultural sampai dasawarsa awal pasca-Perang Dunia II ketika kaum migran mulai berdatangan. Dalam monokulturalisme itu, konflik dan perang agama yang berbau etnis (ethno-religious) menjadi salah satu fitur utama di antara negara-negara Eropa berbeda.

Kasus paling akhir di Eropa (timur) adalah ethnic cleansing yang dilakukan penguasa Serbia (umumnya beragama Kristen Ortodoks) terhadap warga Bosnia-Hercegovina (kebanyakan Muslim). Sisa konflik dan perang di Semenanjung Balkan ini masih terlihat sampai sekarang di Kosovo misalnya.

Atas dasar pengalaman ini, pengamat Belanda seperti JS Furnivall dalam karya klasiknya, Netherlands India: A Study of Plural Economy (1939 dan edisi revisi 1944) memprediksi Hindia Belanda tidak dapat bersatu pasca-Perang Dunia II karena tidak ada kemauan sosial-politik yang sama; para warganya dikuasai sentimen ethno-religious bernyala-nyala dalam kelas-kelas sosial yang ketat. Ketika Indonesia mengalami transisi menuju demokrasi pada 1998-99, kalangan pengamat Barat meramalkan Indonesia segera mengalami ‘Balkanisasi’.

Semua skenario itu jauh daripada kenyataan, Indonesia bertahan dan melangkah maju dalam bidang kehidupan tertentu. Multikulturalisme atau kebhinnekaan juga bertahan. Tetapi jelas bertahan saja tidak cukup. Perlu upaya sadar setiap dan seluruh warga untuk terus memperkuat dan memberdayakan multikulturalisme Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement