REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Akses pendidikan serta keberadaan atau ketiadaan bentuk-bentuk pendidikan tertentu dalam sebuah masyarakat mencerminkan bukan saja skemata bagi pembedaan kelas dan prinsip-prinsip fundamental dari kemapanan tertib sosial, namun juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif. Konsepsi pendidikan sebagai sebuah medan gaya dari relasi-relasi kuasa yang penuh konflik ditunjukkan dengan baik oleh situasi pendidikan selama kekuasaan kolonial Belanda. Di bawah kekuasaan itu, pendidikan semakin meneguhkan perbedaan status. Dengan begitu, pendidikan menjadi faktor yang mempersatukan orang-orang dalam aneka kelompok sekaligus yang menjadi sekat pemisah antara kelompok-kelompok itu.
Bagi watak dasar dari pandangan dunia kolonial, usaha pendidikan ini mengandung sebuah dilema. Di satu sisi, usaha pendidikan dipandang penting untuk mendukung ekonomi-politik industrialisasi dan birokrasi kolonial. Di sisi lain, pendidikan mengandung ancaman potensial bagi ‘kepercayaan mistis’ mengenai superioritas kolonial. Dilema semacam itu dipecahkan dengan membangun pendidikan yang didasarkan pada prinsip segregasi etnik dan hirarki status. Dengan dasar segregasi dan pembedaan status ini, sifat dari kebijakan-kebijakan awal dalam pendidikan di Hindia adalah anti-asimilasi, elitis dan dualistik.
Perjuangan untuk menjebol diskiminasi dalam dunia pendidikan ini pertama-tama diperjuangkan oleh kaum guru. Sampai akhir abad ke-19, peran para guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan. Pertama, profesi guru hingga masa ini menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai para pendidik, mereka merupakan pihak yang paling merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya. Kedua, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai jika dibandingkan dengan posisi-posisi administratif mungkin telah menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator dari konsep kemadjoean dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial. Peran yang menonjol dari para guru ini menunjukkan bahwa ‘intelektual organik’ dari bibit inteligensia pada akhir abad ke-19 ini terutama berasal dari lingkaran-lingkaran para guru.
Para guru melancarkan tuntutan dan kritik mereka terutama lewat majalah-majalah pendidikan, seperti _Soeloeh Pengadjar_ di Probolinggo (yang pertama kali terbit pada tahun 1887) dan Taman Pengadjar di Semarang (terbit sekitar tahun 1899-1914). Majalah-majalah itu memainkan peran yang signifikan dalam mengartikulasikan aspirasi-aspirasi guru pribumi. bagi penghapusan diskriminasi dalam pendidikan. Seiring dengan itu, persis menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk, yang diberi nama klub Mufakat Guru. Cabang-cabang dari klub ini bermunculan di berbagai kabupaten dan kawedanan di Jawa. Tujuan dari Mufakat Guru pada pokoknya ialah ‘untuk membuka jalan bagi para guru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan dan isu kemadjoean.
Tuntutan utama dalam proyek emansipasi kaum guru ini berkisar pada upaya perjuangan kata/bahasa. Yakni peluasan akses terhadap kepustakaan serta peningkatan pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi dan pengajaran bahasa Belanda bagi semua anak pribumi .
Dengan trajektori kemadjoean yang telah dirintis kaum guru, sedini awal dekade pertama abad ke-20, terjadilah fase formatif ruang publik modern, sebagai ruang memperjuangkan kesetaraan sosial. Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ‘kemajuan’, Bintang Hindia, Abdul Rivai memperkenalkan istilah ‘bangsawan pikiran’. Dikatakan, “Tak ada gunanya lagi membicarakan ‘bangsawan usul’, sebab kehadirannya merupakan takdir. Jika nenek-moyang kita keturunan bangsawan, maka kitapun disebut bangsawan, meskipun pengetahuan dan capaitan kita bagaikan katak dalam tempurung. Saat ini, pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan kehormatan seseorang. Situasi inilah yang melahirkan ‘bangsawan pikiran’.”
Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Natsir dibesarkan. Semua tokoh-tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semuanya tak bisa dikatakan sebagai anak-anak priyayi tinggi. Sukarno hanyalah anak priyayi-rendahan yang mujur bisa masuk ELS karena pertolongan seorang guru Belanda; Hatta adalah anak ulama-pedagang, yang beruntung bisa diterima di ELS karena kekayaan keluarganya; Sjahrir berlatar sedikit lebih baik, ayahnya seorang jaksa pribumi sehingga diterima di ELS; Keluarga Natsir lebih rendahan lagi, ayahnya hanyalah seorang jurutulis kontelir, yang membuatnya hanya diterima di HIS. Alhasil, mereka bisa memasuki pendidikan sistem Eropa, berkat kegigihan generasi sebelumnya dalam menciptakan tanda; tanda yang membuat Belanda terpaksa mengendurkan persyaratan keturunan. Sejarah lantas mencatat, berkat akses terhadap pendidikan modern-lah anak-anak dari kalangan priyayi rendahan ini bisa melesat menjadi pemimpin pergerakan modern yang berhasil mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaannya.
Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaran. Berakhirnya kolonialisme menimbulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasan dan diskriminasi-diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna. Menyadari bahwa kualifikasi pendidikan merupakan sarana kuat untuk mengangkat status sosial selama periode kolonial, muncullah kesadaran politik yang kuat pada orang-orang dari kelompok-kelompok status yang berbeda untuk menghapuskan regulasi-regulasi yang membatasi dan memperluas pilihan-pilihan masyarakat dalam bidang pendidikan. Komitmen politik untuk memenuhi hasrat semacam itu dimaktubkan dalam pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.”
Oleh karena itu, takala kita melihat ada tanda-tanda bahwa dunia pendidikan mengarah pada pembelahan dan diskriminasi sosial baru atas dasar kekuatan daya beli, kita harus berjuang mengatasi kuman-kuman degenarasi ini, dan mengembalikan pendidikan ke mandat konsitusi.