Jumat 09 May 2014 06:00 WIB

Jokowi vs Prabowo (2); Siapa Berani Terbuka

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Ada sebuah pesan yang layak direnungkan: “Jangan terpesona pada yang dipidatokan, juga jangan terpukau pada yang dituliskan. Lihatlah apa kepentingan ekonominya”. Pidato bisa dibuatkan, demikian juga tulisan. Namun kepentingan ekonomi selalu sejati. Hadirnya sebuah negara hanya untuk mencapai dua hal: kesejahteraan umum dan keadilan hukum. Hanya saja pergulatan manusia selalu berporoskan pada perjuangan ekonomi orang seorang. Karena itu tujuan bernegara acap runtuh oleh godaan kepentingan ekonomi perseorangan semacam itu.

Ada juga pesan lain yang layak kita waspadai: “Untuk mengetahui jati diri seseorang, perhatikan dengan siapa dia berkawan”. Ikan bergaul dengan sesama jenisnya. Manusia bersekutu dengan yang seide. Sejarah manusia adalah sejarah mewujudkan ide-ide. Makin tinggi hierarki sebuah ide, makin kuat persekutuannya. Pada pola kedua ini, motif ekonomi merupakan batu antara untuk mewujudkan ide. Namun kepentingan ekonomi selalu lebih mudah dilihat dan lebih mudah diukur. Model kedua ini akan dicirikan oleh persekutuan yang lebih rigid. Sedangkan untuk yang pertama pada batas tertentu cenderung pragmatis, tak melihat asal-usul.

Dua model ini akan menjadi arus utama dalam pertarungan antara Jokowi dan Prabowo. Jokowi kerap dituduh sebagai capres boneka. Ia juga dituduh bahwa di belakangnya bersembunyi kepentingan sejumlah konglomerat. Isu agama juga ditembakkan ke Jokowi. Dalam hal ini asal usul Jokowi dikorek. Demikian juga agenda agama sejumlah penyokongnya. Apalagi ada fakta sikap PDIP selama ini di parlemen yang cenderung tak akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Sedangkan Prabowo mempertontonkan keberjarakan dirinya dengan publik. Rumahnya di atas gunung. Gaya hidupnya sangat mewah: kuda mahal, mobil mewah, helikopter. Hal itu menjadi ironis dan kontradiktif dengan manifesto dan pidato-pidatonya yang selalu bicara kemiskinan dan pemerataan ekonomi. Tidak nyambung antara yang dikatakan dengan perilaku sehari-harinya. Masa lalunya ketika menjadi Danjen Kopassus, terutama kasus penculikan, juga diungkap lagi.

Dalam situasi ini, kita agar terus berprasangka positif terhadap Jokowi dan Prabowo. Namun ada dua hadis Nabi Muhammad SAW yang layak kita renungkan. Pertama, tiap-tiap umat ada fitnahnya, dan fitnah pada umatku adalah harta. Kedua, menguji seseorang itu dengan tiga hal. Satu, pada saat marah apakah membawa kebaikan atau sebaliknya. Kedua, pada urusan harta. Ketiga, saat perjalanan bersama. Dua hadis ini memperlihatkan bahwa agenda ekonomi merupakan indikator nyata dalam menilai seseorang. Menjadi orang baik saja tidak cukup. Carilah orang yang memberi manfaat pada khalayak. Baik itu cenderung individual, sedangkan manfaat selalu bersifat sosial. Motif ekonomi selalu berdimensi sosial yang lebih kuat.

John Milton, pegiat politik dan cendekiawan Inggris abad ke-17, dalam tulisannya yang berjudul Areopagitica, juga mengingatkan, “Yang baik dan yang jahat yang kita ketahui di ladang dunia ini tumbuh bersama-sama hampir tak terpisahkan...yang baik dan yang jahat, seperti saudara kembar yang berpelukan”. Dengan demikian kita jangan tergesa-gesa menghakimi. Lihatlah apa yang dia kerjakan dan dia praktikkan sehari-hari. Lihat juga siapa orang-orang di sekitarnya. Publik bisa melihat dengan jelas panggung yang sedang dipertontonkan Jokowi maupun Prabowo.

Saat ini, para kandidat capres, terutama melalui tim-timnya masing-masing, sedang bekerja untuk mempresidenkan kandidatnya. Namun sayangnya, pertarungan itu lebih banyak memperlihatkan black campaign. Mereka bergerak melalui media sosial maupun media mainstream. Pada satu sisi hal itu tentu ada baiknya. Ini memberikan semacam peringatan terhadap apa yang sudah terjadi di masa lalu. Namun tampaknya warna ini terlalu dominan. Mestinya mereka lebih menonjolkan harapan ke depan. Apa visi mereka, siapa tim mereka, dan apa komitmen mereka. Bicarakan secara konkret soal-soal pertanian, energi, infrastruktur, kebijakan luar negeri, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, budaya, dan hal-hal prioritas lainnya. Semua diungkapkan secara terukur oleh para kandidat itu sendiri atau melalui juru bicara yang diproyeksikan akan menjadi menteri jika mereka menang. Dengan demikian, kita tak akan membeli kucing dalam karung.

Munculnya prasangka dan kampanye hitam akibat kebiasaan politik kita selama ini. Mereka tak pernah jelas di muka. Tak jelas perjuangannya, tak berupa pula sikapnya. Tak muncul kabinet bayangannya, tak transparan pula dasar pemilihan timnya. Akibatnya kita dipaksa untuk menjalani politik citra, intimidasi, mobilisasi, dan akhirnya transaksional.

Kita ingin pemilihan presiden 2014 ini menghadirkan perubahan yang signifikan: rasional, terbuka, elegan, dan berwacana. Jokowi datang dengan kesahajaan, kerja keras, dan merakyat. Ia sudah melempar gagasan keharusan revolusi mental. Prabowo membawa ide-ide besar, ketegasan, dan high profile. Ia sudah berbicara tentang nasionalisme ekonomi. Kita menunggu kebesaran mereka, bukan kampanye hitam yang ofensif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement