REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yudi Latif
Mencuatnya isu agama dalam politik kontemporer mestinya tidak boleh sekadar alat mendulang suara, melainkan sebagai pembuka jalan ke arah persoalan yang lebih substantif: mempersoalkan basis spiritualitas kemajuan bangsa.
Dalam A Study of History, sejarahwan terkemuka Inggris Arnold Toynbee melakukan pelacakan terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan negara (dan peradaban) tanpa landasan transenden, ibarat bangunan istana pasir.
Studi Toynbee tersebut mengisyaratkan adanya hubungan yang erat antara nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kemajuan bangsa dan peradaban. Samuel Huntington, dalam Who Are We?, menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa, dibandingkan dengan Uni Soviet.
Di AS, urainya, “Agama telah dan masih merupakan sesuatu yang sentral dan barang kali identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington, 2004:20). Huntington juga menunjukkan (2006) bahwa geografi peradaban yang mampu bertahan adalah geografi peradaban yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara corak kegamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert Putnam (2006), mewakili para ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan dalam memengaruhi demokrasi.
Memang, ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang menjadi rintangan bagi kemajuan. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa faktor keyakinan memberikan kontribusi yang penting dalam proses demokrasi karena ia memengaruhi aspek-aspek demokrasi itu sendiri. Tentu saja, banyak faktor yang ikut memengaruhinya sehingga dalam konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam konteks mana pula ia menjadi pendorong kemajuan, merupakan hal yang harus dipertimbangkan.
Dalam kaitan itu, hendaklah disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup yang berkaitan dengan yang suci (sacred) sedari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen: menakjubkan (enrapture) dan menghancurkan (annihilate). Kata “sacred” (Latin, sacer) itu sendiri bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan.
Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksteriotiras formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras. Tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan.
Tanpa penghayatan spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri, dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Banyak penyeru menekankan pentingnya ibadah sebagai cara memerangi korupsi, tanpa menyadari bahwa pengamalan keagamaan yang salah justru bisa menyuburkan korupsi. Bisa dikatakan, akar terdalam dari tindakan korupsi adalah ”dusta terhadap agama” dengan peribadatan yang keliru.
Alquran mengisyaratkan hal ini sebagai pangkal kecelakaan. ”Maka celakalah orang-orang yang shalat, yang lalai dalam shalatnya, yang hanya pamer saja, yang tidak memberikan pertolongan.” (QS 107: 4-7).
Dalam Hikayat Florentin, Machiavelli menandai ”kota korup” dengan sejumlah ciri. Antara lain, pemahaman keagamaan penduduk ”berdasarkan kemalasan bukan kesalehan”. Yang ia maksudkan adalah keagamaan yang menekankan aspek formal dan ritual ketimbang pengembangan esensi ajaran. Memuja ”insan pembual daripada insan pekerja”, memperindah tempat ibadah daripada menolong yang papa. Modus keagamaan seperti ini, menurutnya, ”membuat orang tak lagi beramal saleh, yang mengantarkan penduduk menjadi mangsa empuk tirani politik dan modal".
Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.
Untuk dapat keluar dari krisis, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional, tetapi juga membutuhkan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan oleh Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama tidak berhenti pada apa yang kita percaya, melainkan terurama pada apa yang kita perbuat.
Untuk itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritualitas.