REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Pengenalan dan sosialisasi Islam Washatiyyah Indonesia melalui program S-2 Katholieke Universiteit Leuven (KUL) dalam pertemuan dan rapat dengan berbagai pihak terkait KUL dan fakultas teologi dan kajian agama, penulis “Resonansi” sebagai visiting professor di KUL menekankan agar program MA kajian Islam tidak terpusat pada kajian Islam masa klasik, khususnya dalam bidang teologi (kalam).
Alasannya, kajian Islam klasik, khususnya teologi, rumit, dan memerlukan penguasaan bahasa Arab. Padahal, dapat diasumsikan para mahasiswa program S-2 ini tidak memiliki kemampuan bahasa Arab.
Untuk itu, perlu ditekankan agar program S-2 kajian Islam KUL lebih berfokus pada kontemporer bidang teologi, Alquran, hadis, hukum Islam (syariah dan fikih), sosiologi-antropologi masyarakat Muslim Belgia dan Eropa, hubungan dan dialog intra dan antaragama. Penekanan seperti ini lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan kaum Muslim dan non-Muslim Belgia. Dengan begitu, dapat membantu indigenisasi Islam di Belgia.
Pembentukan pemahaman Islam Washatiyyah melalui program pascasarjana memerlukan sumber belajar atau literatur-referensi dan sumber bacaan tambahan lain bagi para mahasiswa. Dalam beberapa kali pertemuan, pihak perpustakaan menjelaskan dan memberikan daftar koleksi buku Islam di perpustakaan FTKA dan meminta saran literatur apa yang perlu disediakan.
Ketika membaca daftar buku dan mengunjungi perpustakaan, saya melihat secara umum koleksi buku tentang Islam dan masyarakat Muslim di Perpustakaan Fakultas Teplogi Kajian Agama KUL cukup memadai. Tapi, perlu ditambah dengan koleksi buku teks karya para ahli otoritatif, objektif, dan menjelaskan Islam Washatiyyah secara komprehensif sesuai kemajuan zaman.
Di antaranya, perlu pengadaan buku karya penulis, seperti Fazlur Rahman, MM Azami, Khaled Abou Fadl, dan John Esposito. Sayang, saya tidak bisa merekomendasikan karya-karya para sarjana Indonesia yang belum tersedia banyak dalam bahasa Inggris, Belanda, atau Prancis. Karena itu, sepatutnya unit terkait di Kementerian Agama meningkatkan penerjemahan karya sarjana Indonesia terpilih ke dalam berbagai bahasa internasional.
Selanjutnya, disarankan pula karena keterbatasan anggaran KUL dalam pengadaan literatur, pihak perpustakaan dapat bekerja sama dengan lembaga Islam tertentu, seperti Qatar Foundation yang juga berkerja sama dengan British Library. Qatar Foundation biasanya memberikan bantuan kepada para mitranya tanpa syarat khusus terkait pemahaman dan ideologi keagamaan (no string attached).
Karena itu, penulis tidak menyarankan pihak perpustakaan KUL untuk bekerja sama dengan negara atau lembaga yang dalam memberi bantuan buku menyertakan berbagai syarat terkait pemahaman atau ideologi keagamaan tertentu. Kerja sama dengan pihak seperti ini dapat menggeser orientasi program S-2 KUL yang akhirnya tidak menguntungkan.
Dilakukan juga pembicaraan tentang dosen dan profesor yang dapat menjadi pengajar dan tenaga ahli, baik tetap maupun visiting melalui program pertukaran (exchange programs) antara KUL dan universitas lain, baik di Eropa maupun Indonesia.
Sumber belajar berupa dosen atau guru besar KUL sangat terbatas dalam kajian Islam. Karena itu, penulis menekankan perlunya kerja sama dengan universitas lain, khususnya PTAIN Indonesia. PTAIN, misalnya, UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta yang memiliki SDM dengan keilmuan yang kuat dalam berbagai bidang, seperti Alquran-hadis, sejarah, teologi, sosiologi-antropologi masyarakat Muslim, dinamika politik kontemporer Islam, dan masyarakat Muslim.
Menyambut baik usul kerja sama tersebut, Wakil Rektor KUL Prof Danny Pieters menyatakan, akan menindaklanjuti rencana kerja sama dengan universitas komprehensif (memiliki prodi agama dan umum, khususnya fakultas atau prodi kedokteran), seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UGM yang rektornya telah bertemu pula dengan rektor KUL, beberapa bulan berselang.
Dalam pertemuan dengan Kepala International Office KUL Ms Martine Torfs dan Wakil Dekan Fakultas Teologi Kajian Agama untuk Kerja Sama Internasional Profesor Johan de Tavernier, dibahas kemungkinan kerja sama KUL dengan universitas di Indonesia. Sebagai perguruan tinggi Katolik, KUL dapat membangun jaringan dengan tiga kelompok universitas komprehensif di Indonesia. Pertama, universitas di bawah kementerian agama, seperti UIN. Kedua, universitas di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan, seperti UGM Yogyakarta. Dan, ketiga universitas Katolik, seperti Universitas Atmajaya.
Jaringan kerja sama di antara perguruan tinggi Eropa, seperti KUL dapat pula mencakup penyelenggaraan kegiatan akademik dan ilmiah lain, seperti penelitian, konferensi, dan seminar ahli (expert seminar). Dalam hal terakhir, penulis resonansi ini juga memberikan ceramah dan diskusi tentang “Islam beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory” dan “Islam dan Religious Liberty”.
Seminar semacam ini pasti merupakan kesempatan baik untuk menjelaskan pemikiran Islam dan dinamika masyarakat Muslim dalam merespons berbagai perkembangan dunia kontemporer.