Rabu 09 Jul 2014 11:44 WIB

Harapan di Tengah Kemurungan

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Alhamdulillah, jalan terjal kampanye kepresidenan telah kita lalui dengan menyisakan garis hitam dalam sejarah republik. Ke mana ujung "perkelahian" ini bermuara, sangat tergantung pada tanggung jawab moral pemimpin terpilih. Semoga saja, habis gelap terbit lah terang; ketika pemerintahan baru bisa menggoreskan garis kebaikan di atas kanvas kesalahan.

Kanvas kesalahan itu adalah warna dasar kita semua. Jika kita tak berlumuran noda, kita tidak akan menunjukkan keasyikan luar biasa dalam menyaksikan noda pada orang lain. Noda diri juga cenderung hanya berani mengungkap kesalahan-korupsi ringan untuk menutupi kesalahan-korupsi besar. Kesenangan melihat orang lain bersalah atau menutupi kejahatan besar adalah proyeksi dari cahaya kegelapan di langit jiwa kita sendiri.

Dalam warna dasar kegelapan itu, pepohonan tua berbuah hampa. Sedangkan, tunas-tunas muda layu sebelum berkembang. Bagaikan menegakan batang terendam, setiap percobaan ke bangunan, jatuh kembali ke kemunduran. Kita ingin sarapan pagi dengan harapan, tapi tak banyak orang yang menyalakan cahaya jiwa. Bagaimana bisa mengubah dunia jika tidak bisa meng ubah diri sendiri?

Jalaluddin Rumi berkata, "Kemarin aku merasa pintar, karenanya aku ingin mengubah dunia. Sekarang aku lebih bijaksana, maka aku mulai mengubah diriku sen diri." Dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib ke pada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, "Barang siapa di angkat atau mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain. Dan hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara memperbaiki tingkah lakukanya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidah nya. Orang yang men jadi pendidik dirinya sendiri lebih patut di hormati daripada yang mengajari orang lain."

Setelah pemimpin bermawas diri, bolehlah ia mengembangkan harmoni keluar dengan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab. Pemimpin bukan hanya meng ikuti kemauan rakyat, tapi juga mendidik rakyat meraih kematangan pribadi.Dengan landasan ideologi kerja, pemimpin harus bisa merumuskan platform perjuangan dengan prioritas yang jelas.

Pemimpin harus dapat menunjukkan fokus dalam mendefinisikan agenda substantifnya demi memudahkan mobilisasi sumber daya dan pengorientasian program bagi bawahan dan rakyatnya. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Menentukan fokus memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun, ada risiko besar bagi pemimpin yang terlalu berhati- hati mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.

Untuk bisa mengarahkan rakyat sesuai dengan platform perjuangan, pemimpin harus di percaya oleh rakyatnya. Dalam hal ini, penilaian positif tentang moralitas pemimpin menjadi taruhan pemulihan kepercayaan. Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan "modal moral" (moral capital) yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan politik yang dikehendaki oleh ideologi negara dan konstitusi. Kapital di sini bukan sekadar potensi ke bajikan yang dimiliki seseorang, melainkan potensi yang bisa menggerakkan (roda politik). Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, tapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi tingkah laku masyarakat.

Setidaknya, ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengem-bangkan, menjaga, dan memobilisasi "modal moral" secara politik. Pertama, dasaran moralitas (moral ground); menyangkut nilai-nilai, tujuan, serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya.

Kedua, tindakan politik; menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; menyangkut contoh-contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan keyakinan kepada komunitas politik. Keempat, keefektifan komunikasi politik; menyangkut kemampuan seorang pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitasnya dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memengaruhi dan memperkuat moralitas rakyat.

Paceklik modal moral pemimpin seperti itulah yang mencekik kehidupan politik dalam kemurungan. Pertanda negeri yang tidak bahagia, ujar Galileo, adalah negeri yang membutuhkan pemimpin (pahlawan).

Jika sang "juru selamat" tak kunjung datang, mengapa pemimpin yang ada tidak berusaha memperkokoh "modal moral" politiknya. Bukan kah seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, inipun bisa berkurang, bisa bertambah, atau bisa dicari cara untuk melengkapinya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk perbaikan dan pertobatan.

Bagi pemimpin terpilih, ada baiknya menggemakan doa ini: "Tuhanku, jadikan aku instrumen ke damaian-Mu. Tatkala ada kebencian, kutabur kan cinta; tatkala ada luka, maaf; tatkala ada keraguan, keyakinan; tatkala ada keputusasaan, harapan; tatkala ada kegelapan, cahaya; tatkala ada kesedihan, keceriaan."

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement