Selasa 22 Jul 2014 06:00 WIB

Seusai Ramadhan 1435

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Tak terasa, puasa kita telah memasuki minggu keempat. Waktu berputar demikian kencang, sebentar lagi Idul Fitri, 1 Syawal 1435, akan tiba untuk kita rayakan dengan penuh rasa syukur. Semoga Allah Yang Maha Pengasih masih mengizinkan batang usia ini untuk turut berhari raya, setelah sebulan berpuasa di siang hari. Adalah karena pengaruh niat yang tulus dan dalam, rasa lapar dan dahaga tidak sampai mengganggu kegiatan harian kita masing-masing. Niat yang diperintahkan iman adalah sebuah kekuatan spiritual yang dahsyat. Orang yang berpuasa merasakan semuanya ini.

Kita turunkan kembali makna ayat 183 surat al-Baqarah yang memuat perintah puasa itu: “Wahai segenap orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu berjaya meraih posisi takwa.” Perkataan takwa dengan segala variasinya mengandung makna pokok 'menjaga diri' dari segala macam kerusakan moral, sebuah inner torch (obor batiniah), tulis Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur'an (hlm 9), yang memungkinkan manusia mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dengan modal takwa, manusia akan terbebas dari perbuatan menipu diri sendiri, karena obor itu senantiasa menyala dalam batinnya.

Puasa Ramadhan adalah salah satu sarana untuk menjadi manusia bertakwa. Dalam surat al-Hujurat ayat 13, Alquran menempatkan manusia bertakwa pada posisi termulia di sisi Allah, dengan tidak memandang latar belakang sejarah dan keturunan, sebuah doktrin egalitarian (persamaan) yang senapas dengan tuntutan abadi manusia merdeka. Amat disayangkan, ajaran persamaan ini telah terbenam dalam debu sejarah selama ratusan tahun dalam sistem politik umat Islam yang jelas-jelas mengkhianati pesan suci ini, demi memenuhi kekuasaan duniawi yang tak kenal puas.

Ironisnya, pengkhianatan ini tidak jarang diberi pembenaran agama oleh sebagian ulama yang telah kehilangan obor batiniah di atas. Maka berlakulah perselingkuhan antara ahli agama dan penguasa dengan segala dampak buruknya bagi umat yang diperintahkan untuk senantiasa taat dan taat kepada penguasa, adil atau zalim. Literatur klasik tentang sistem kekuasaan dalam Islam membenarkan fenomena antipesan egalitarian ini. Posisi rakyat banyak telah jatuh menjadi hamba kekuasaan. Pergolakan di dunia Arab yang mayoritas Muslim itu sejak empat tahun terakhir adalah simbol dari kebangkitan kesadaran politik untuk melepaskan diri dari posisi hamba itu, sekalipun jalannya masih akan panjang dengan segala penderitaan yang menyertainya.

Kembali kita kepada suasana usai Ramadhan. Merayakan Idul Fitri selepas puasa adalah hadiah Langit bagi manusia beriman yang nilainya sangatlah tinggi. Kita boleh bergembira dalam batas-batas yang wajar, dan jangan lupa menyantuni tetangga kampung yang serbakekurangan. Pada hari raya itu semua orang harus merasakan kegembiraan itu, tanpa kecuali. Maka perintah untuk membayarkan zakat fitrah hanyalah simbol dari ajaran berbagi kegembiraan itu. Dalam Islam, harta selamanya punya fungsi sosial, sebab di dalamnya pasti terdapat cucuran keringat orang lain yang tidak boleh diabaikan. Pengabaian adalah sebuah kezaliman.

Dalam pemahaman saya, Islam adalah agama pro-orang miskin, tetapi pada waktu yang sama bersifat anti-kemiskinan. Artinya, kemiskinan haruslah sementara sifatnya, untuk kemudian mesti dihalau sampai ke batas-batas yang jauh, sehingga kesenjangan kaya-miskin semakin merapat dari waktu ke waktu. Dunia Islam yang masih jauh dari suasana keadilan merupakan kerja besar kita semua yang harus diingat terus-menerus, sampai keadilan itu tegak dengan sangat kokoh, berkat kegigihan kita memperjuangkannya. Tanpa tegaknya keadilan, tuan dan puan tak usahlah berbangga sebagai manusia beragama, sekalipun telah berpuasa saban tahun.

Akhirnya, dengan sedikit catatan di atas, marilah kita songsong Idul Fitri 1435 yang sarat makna itu dengan penuh kebahagiaan lahir-batin. Semoga puasa kita diterima Allah sebagai ibadah yang tulus, semata-mata karena mengikuti perintah-Nya untuk merebut keridhaan-Nya. Amin!

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement