Kamis 24 Jul 2014 06:00 WIB

Pemilu 2014: Retrospeksi

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Pemilu Indonesia 2014 lalu, yang mencakup Pileg 9 April dan Pilpres 9  Juli, secara retrospektif mengandung sejumlah hal penting yang perlu dicatat. Inilah Pileg keempat dan Pilpres langsung ketiga yang diselenggarakan dalam masa pasca-otoritarianisme Orde Baru.

Banyak kalangan internasional memuji transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia—dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di Dunia Islam. Mereka misalnya menyebut Indonesia sebagai ‘the showcase of successful and workable compatibity between Islam and democracy”. Sebagai kontras, kebanyakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim lain di muka bumi ini—khususnya di Dunia Arab dan Asia Selatan—masih terus bergulat dengan transisi demokrasi yang pedih dan tidak memberikan banyak harapan.

Pemilu nasional Indonesia juga sering disebut sebagai Pemilu paling aman dengan tingkat kekerasan politik sangat minimal, kasuistik dan isolatif. Pileg 2014 umumnya berlangsung aman dan damai, kecuali ada beberapa tindakan kekerasan di Aceh menjelang pemungutan suara. Pemungutan suara Pilpres 2014 juga berlangsung aman dan damai.

Selain itu, Pemilu Indonesia 2014 khususnya disebut banyak media internasional sebagai ‘mengagumkan’ karena merupakan Pemilu terbesar di muka bumi pada 2014 yang dilaksanakan hanya dalam waktu satu hari saja. Memang India juga melakukan Pemilu pada 2014, tetapi Pemilu India dilaksanakan selama berhari-hari dan berpekan-pekan.

Pada segi lain, banyak kalangan memandang Pilpres 2014 sebagai paling ‘kompetitif’, paling sengit, paling heboh, dan juga paling mengkhawatirkan. Hal ini terkait dengan kenyataan hanya ada dua pasang capres-cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla.

Kekhawatiran memuncak karena penyebaran smear campaign (kampanye fitnah) yang lazim disebut sebagai ‘black campaign’ (kampanye hitam) seperti terlihat misalnya dalam penerbitan Obor Rakyat yang disebarkan ke pesantren-pesantren misalnya. Tetapi smear campaign gagal memantik kekerasan. Sebaliknya, pihak yang keberatan membawa kasus ini ke ranah hukum—meminta Polri mengusut dan memprosesnya secara hukum. Inilah cara paling berkeadaban.

Kekhawatiran kalangan masyarakat juga memuncak pada hari-hari menjelang dan hari pencoblosan. Kekhawatiran yang sama juga ada menjelang dan di hari penetapan pemenang Pilpres 22 Juli. Banyak rumor beredar tentang bakal adanya kekerasan dan anarki.

Kenapa Pemilu dan konsolidasi demokrasi Indonesia bisa berlangsung lebih mulus? Hal ini terkait erat dengan salah satu distingsi demokrasi Indonesia, yaitu eksistensi, sikap pro-aktif dan aktif civil society (atau masyarakat madani, masyarakat sipil atau masyarakat kewargaaan). Berbeda dengan banyak negara lain yang berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia sangat kaya dengan civil society dalam bentuk ormas, NGO dan kelompok relawan yang secara fenomenal muncul seputar Pilpres 2014.

Aktivisme berbagai macam civil society ini tidak hanya sangat menolong bagi terciptanya Pilpres lebih bersih, adil dan transparan, tetapi juga dalam menjembatani pihak-pihak yang berkompetisi dan sekaligus dengan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dengan begitu, pada saat yang sama mereka juga dapat memberikan semacam ‘ketenangan’ bagi para warga; mereka sangat membantu terciptanya suasananya yang tetap terkendali.

Begitulah restropeksi yang membanggakan. Kita boleh menikmati sanjungan yang bisa menjadi insentif bagi para warga untuk bangga dengan Indonesia. Namun secara retrospektif pula, keempat Pemilu tersebut yang terlaksana dalam rentang waktu satu setengah dasawarsa masih mengandung kelemahan tertentu, meski juga jelas demokrasi kian berurat berakar di negeri ini.

Karena itu, jelas pula konsolidasi demokrasi masih jauh daripada selesai. Masih banyak agenda yang perlu dilakukan ke depan. Demokrasi prosedural yang cenderung terus kian mahal, transaksional dan mengandung politik uang yang masif perlu lebih disederhanakan. Hal ini bisa dilakukan tidak hanya dengan menata kembali sistem politik demokrasi prosedural, tetapi juga dengan penguatan penegakan hukum, sehingga politik oportunistik transaksional yang membiakkan korupsi dapat diminimalisasi—jika belum dapat dilenyapkan sama sekali.

Terkait dengan itu, perlu membangun demokrasi lebih bermakna secara substantif tidak hanya secara politik, namun juga bagi peningkatan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Masih terdapat kesenjangan di antara sistem politik demokrasi dengan realitas hidup sehari-hari di luar Pemilu prosedural.

Selama empat Pemilu, tidak atau belum terlihat banyak korelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Meski dalam sepuluh tahun terakhir ekonomi Indonesia bertumbuh relatif cukup baik, tingkat kesejahteraan masyarakat terbawah tidak membaik secara signifikan. Bahkan gini ratio antara masyarakat kelas atas dan kelas menengah dengan kelas bawah kian melebar. Belum terlihat jelas arti demokrasi dalam kaitan dengan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin dan menganggur yang cukup besar jumlahnya. Inilah agenda yang perlu menjadi prioritas kepemimpinan nasional baru ke depan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement