REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Setiap kali kata optimisme hendak kita lukis di kanvas sejarah, selalu saja menerjang badai pesimisme yang menggentarkan. Setelah sebulan menjalani penempaan olah batin lewat ibadah puasa, kedatangan Lebaran mestinya memijarkan optimisme akan kesuburan laku hidup yang lebar, lebur, luber, dan labur (kupat, laku empat).
Tetapi, modus keagamaan yang kita rayakan masih berselancar di permukaan formalisme peribadatan tanpa kesanggupan menggali kedalaman yang suci. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras; tak memiliki kepekaan-perenungan, kehangatan welas-asih, daya-daya penyembuhan, dan perubahan dalam berhubungan dengan Sang Khalik dan makhluknya.
Lebaran yang mestinya memancarkan sikap kejiwaan yang lebar, terciutkan oleh bayangan kesempitan perlindungan dan pelayanan publik. Hasrat warga untuk pulang kampung demi memulihkan daya hidup justru terancam mengorbankan hidup karena keburukan infrastruktur dan standar keamaanan yang menjagal ratusan nyawa manusia.
Gambaran ini bertaut dengan tawuran antarwarga yang terjadi bahkan di bulan suci. Kehadiran rezim demokrasi tak membuat nyawa manusia lebih mahal di negeri ini.
Lebaran yang mestinya menghadirkan rasa lebur dari dosa dengan memijarkan kehendak lebur dengan sesama ternodai ekspresi persengketaan dan permusuhan antarwarga yang mengancam sendi-sendi kehidupan keumatan dan kebangsaan. Sejauh ini, tak ada cermin yang lebih baik dari kerukunan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Indonesia seperti perayaan Idul Fitri. Warga dari berbagai latar suku, agama, ras, dan golongan ikut merayakan Lebaran sebagai momen karnaval solidaritas multikultural.
Namun, di sela-sela perayaan Lebaran tahun ini, modal kultural kebangsaan itu mengalami ujian berat oleh serangan kampanye hitam berkelanjutan yang mengobarkan sentimen SARA serta jalan terjal menuju jabat tangan setelah kontestasi berakhir. Tanpa disadari bahwa diskriminasi manusia atas nama SARA merupakan ekspresi pembangkangan terhadap Tuhan (Pencipta segala keragaman).
Lebaran yang mestinya luber dengan pahala amal-kesalehan tergerus oleh kesemarakan keserakahan korupsi dan kesenjangan sosial yang kian melebar. Kesemarakan peribadatan dan tumbuhnya rumah-rumah ibadah tak menyurutkan laju korupsi.
Luberan amal-kesalehan juga terkuras oleh tingginya tingkat kesenjangan sosial, terlihat dari angka gini rasio yang mencapai 0,41 persen, menandakan kesenjangan tertinggi dalam puluhan tahun terakhir. Dengan mekanisme luberan redistributif yang tak berjalan secara fungsional-institusional, luberan rezeki ke tingkat akar rumput di perdesaan justru dibawa oleh arus mudik buruh urban dan migran dari kalangan rakyat biasa yang termarjinalkan oleh kebijakan ekonomi pemerintah.
Lebaran yang mestinya melahirkan kondisi kebatinan manusia yang “labur”, bersih dirinya dan cerah-bercahaya paras dan hatinya, justru dikotori oleh kegelapan hati yang mengatasnamakan agama untuk tujuan-tujuan kebiadaban. Selang beberapa hari setelah prosesi kembali ke fitrah manusia dengan saling memaafkan, harapan kedamaian hidup kebangsaan terusik oleh kehadiran gerakan ISIS yang menebar ancaman di ruang publik.
Sungguh ironis, semua badai ancaman terhadap kebaikan dan keadaban publik itu terjadi dalam suasana gegap gempita sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ribuan mil perjalanan dan beragam ikhtiar untuk mengabarkan Pancasila dihabisi oleh satu tebangan pedang atas nama Tuhan yang dibiarkan oleh negara.
Dengan kehadiran mega mendung seperti itu, yang kita perlukan untuk menyongsong langit harapan bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme yang fleksibel —optimisme dengan mata terbuka. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat. Meski demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membuat kita terpenjara dalam ketidakberdayaan.
Pemikiran konvensional beranggapan bahwa kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan.
Tetapi, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan, baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, dengan mentalitas kepemimpinan yang lebar, lebur, luber, dan labur.
Politik bisa membawa banyak perbedaan untuk kebaikan atau keburukan. Dengan angin keburukan yang kita tabur hari ini, masa lalu menjadi hantu, masa depan menuai badai. Dengan biji kebaikan yang kita tanam hari ini, masa lalu menjadi lumbung keagungan, masa depan menyongsong panen kebahagiaan. Apa yang membuat kesilaman sebagai kenangan keagungan dan kedatangan sebagai harapan kebahagiaan adalah politik peyalanan yang menanami hari ini dengan benih-benih kebajikan hidup bersama.