Kamis 14 Aug 2014 06:00 WIB

Agama untuk Perdamaian Dunia (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Bahwa agama dapat memainkan peran penting untuk perdamaian dunia tidak diragukan lagi. Namun, dalam kenyataannya, agama tidak selalu dapat memainkan peran tersebut.

Dari waktu ke waktu, agama digunakan kelompok yang memiliki agenda keagamaan dan politik tertentu untuk menyebar kebencian, konflik, kekerasan, dan perang. Tensi dan konflik terjadi bukan hanya antaragama, melainkan intraagama -di antara mazhab, aliran, atau denominasi dalam agama tertentu.

Keadaannya bisa lebih parah di daerah atau lokalitas yang secara sosial-budaya relatif homogen, yang tidak memiliki tradisi yang lama dan kuat dalam keragaman, yang secara alamiah menumbuhkan toleransi dan hidup berdampingan secara damai.

Karena itu, dalam pandangan penulis “Resonansi” ini ketika menyampaikan presentasi terkait tema Simposium Madrid (15-17 Juli 2014) tentang "Promosi Perdamaian Dunia melalui Dialog Antaragama", dialog intra dan antaragama perlu pembudayaan dan penguatan. Indonesia beruntung memiliki tradisi yang relatif panjang sejak akhir 1960-an atau awal 1970-an dengan tiga bentuk dialog: dialog intraagama, dialog antaragama, dan dialog antarumat beragama dan pemerintah.

Tidak banyak negara lain di dunia yang memiliki tradisi dialog intra dan antaragama seperti Indonesia. Dialog diselenggarakan majelis-majelis agama yang ada di Indonesia atau yang berkaitan dengan pihak luar negeri, seperti International Conference of Religion and Peace (ICRP); institusi pemerintah seperti Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB); atau semipemerintah semacam Forum Kerja Sama Umat Beragama (FKUB); dan lembaga advokasi seperti Wahid Institute atau Maarif Institute.

Meski demikian, seperti diungkapkan Wakil Ketua DPD, La Ode Ida, bukan tidak ada gejala intoleransi di Indonesia. Dia mengungkapkan terdapat kelompok-kelompok religio-politik berorientasi transnasional yang aktif menyebarkan paham keagamaannya yang tidak toleran secara internal agama dan juga terhadap penganut agama lain.

Menghadapi kecenderungan seperti itu, dia menyarankan penguatan dan pemberdayaan kaum mayoritas moderat yang terwakili dalam ormas-ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan semacamnya yang ada di seluruh Indonesia. “Hanya dengan kewaspadaan dan sikap proaktif membentengi umat Islam arus utama (mainstream), toleransi dan harmoni intra dan antaragama dapat ditumbuhkan."

Argumen La Ode Ida ini senantiasa penting dan relevan karena paham dan praksis keagamaan intoleran bisa menyebar cepat berkat komunikasi instan melalui internet, media sosial, dan televisi. Tanpa ketahanan dan mekanisme peringatan dini yang dapat dibangun ormas-ormas arus utama dalam lapisan keanggotaan dan lingkungan umat, intoleransi dapat merasuki berbagai kalangan umat beragama.

Dalam presentasinya, penulis “Resonansi” ini sepakat, sikap waspada dan proaktif para pemimpin agama dan ormas jelas merupakan faktor penting dalam penguatan peran agama untuk perdamaian dunia. Akan tetapi juga jelas, mereka dengan agama yang mereka peluk bukanlah faktor independen yang bisa berdiri sendiri. Sebaliknya, agama dan penganutnya sedikit banyak tergantung pula pada faktor lain, seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hubungan internasional.

Dalam konteks itu, peningkatan peran agama dalam promosi perdamaian dunia perlu didukung kondisi dan iklim politik yang kondusif. Sistem dan proses politik otoriter, represif, dan tidak adil mendorong terciptanya situasi tidak damai yang penuh konflik dan kekerasan. Dalam situasi seperti ini, agama sering dimanipulasi dan para pemimpin agama terkooptasi untuk kepentingan status quo politik.

Karena itulah, perlu penciptaan sistem dan proses politik demokratis yang memberikan kesempatan kepada setiap warga mengekspresikan diri-termasuk dalam bidang keagamaan- secara bebas dan berkeadaban. Dengan politik demokratis, setiap orang dan kelompok agama dapat menumbuhkan iklim keterbukaan dan dialogis untuk memperkuat sikap saling menghormati dan toleransi.

Iklim politik yang kondusif juga diperlukan pada tingkat internasional. Realitas hubungan internasional yang pincang; tidak adil karena adanya negara-negara pemegang hegemoni yang menciptakan situasi tidak damai. Banyak konflik dan perang, seperti antara Palestina dan Israel, tidak pernah bisa diselesaikan secara damai karena kekuatan-kekuatan internasional bersikap tidak adil dan cenderung memihak salah satu pihak tanpa reserve.

Faktor ekonomi juga perlu dipertimbangkan. Selama kondisi ekonomi baik di satu negara tertentu maupun pada tingkat internasional masih pincang, selama itu pula iklim damai tidak bisa tercipta. Karena itu, pemerintah satu negara perlu mengambil kebijakan afirmatif untuk memberdayakan mereka yang tertindas secara ekonomi dan mengangkat mereka ke taraf kehidupan lebih layak.

Jika penataan kehidupan politik dan ekonomi dapat ditata lebih adil, hampir bisa dipastikan kondisi sosial budaya damai dapat pula tercipta. Dalam situasi seperti itu, peran agama dalam promosi perdamaian dan kedamaian dapat terwujud lebih baik pula. Dengan demikian, agama dapat lebih fungsional dalam menciptakan peradaban yang damai.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement