REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Media Arab menyebutnya sebagai Da’isy atau Dawa’isy. Ketika organisasi garis keras yang mengambil nama dari sebuah bunga itu ingin mendirikan negara Islam, mereka kemudian menyebutnya Tandzimu Al Daulah, kependekan dari Tandzimu Al Daulah Al Islamiyah fi Al Irak wa Al Syam alias Organisasi Negara Islam di Irak dan Syam (Suriah).
Lalu saat organisasi ini mendeklarasikan berdirinya sebuah negara dengan nama Al Daulah Al Islamiyah fi Al Irak wa Al Syam (Negara Islam di Irak dan Syam/Suriah), media Arab menuliskannya sebagai Al Daulah Al Islamiyah atau Daulah Islamiyah. Media Barat menyebutnya sebagai ISIS, singkatan dari Islamic State of Iraq and Syam/Syria. Mengikuti media Barat, media massa di Indonesia juga menggunakan ISIS untuk menyebut Negara Islam di Irak dan Suriah itu.
Ketika ISIS dideklarasikan, Abu Bakar Al Baghdadi yang memegang tampuk kepemimpinan Da’isy sejak 2010, lalu dibaiat sebagai khalifah. Tepatnya Khalifah fi Al Daulah Al Islamiyah fi Al Irak wa Al Syam alias Khalifah Negara Islam di Irak dan Syam/Suriah. Namun, Al Baghdadi sendiri lebih suka menyebut dirinya sebagai Al Khalifatu li Al Muslimin alias khalifah umat Islam.
Ya, ISIS dan Abu Bakar Al Baghdadi inilah yang dalam waktu beberapa bulan terakhir telah menggemparkan dunia. Atau lebih tepatnya membuat khawatir masyarakat internasional, termasuk mayoritas umat Islam sendiri. Pertama, ISIS ternyata telah berhasil merekrut ribuan tentara asing. Mereka menyebutnya sebagai mujahidun li nashrati Al Islam wa al Muslimin, para pejuang untuk memenangkan Islam dan umat Islam.
Kedua, dengan dukungan tentara asing yang militan dalam waktu yang relatif singkat ISIS berhasil menguasai wilayah yang luas di Irak dan Suriah. Di Suriah, kekuasaan ISIS terbentang dari wilayah A’zaz di Provinsi Halb di sebelah utara hingga wilayah Bukmal di sebelah timur yang berbatasan dengan Irak. Para pengamat memperkirakan daerah kekuasaan ISIS di Suriah lima kali lipat luas Lebanon.
Sedangkan wilayah kekuasaan ISIS di Irak membentang dari Fallujah, Kirkuk dan Ramadi hingga Mosul di Provinsi Anbar yang menjadi tempat kelahiran Negara Islam di Irak dan Suriah. Namun, keberhasilan ISIS menguasai Provinsi Sholahuddin dianggap peristiwa penting lantaran menyambungkan wilayah kekuasaan mereka di utara Irak dengan wilayah tengah negara itu. Kekuasaan ISIS di Irak ini merupakan wilayah kaya minyak, yang kini menjadi sumber utama pendapatan negara mereka.
Berbeda dengan Alqaida yang sasarannya kepentingan Barat, bagi ISIS siapa pun yang menghalangi ‘perjuangan’ mereka dianggap musuh yang halal diperangi. Karena itu, para ‘pejuang’ ISIS yang berideologi Sunni pun tidak segan-segan untuk memerangi kelompok-kelompok Sunni lainnya yang menjadi mayoritas di daerah-daerah kekuasaan mereka. Bahkan mereka kini juga sedang berupaya menundukkan wilayah Kurdistan yang dihuni oleh sebagian besar suku Kurdi yang mayoritas juga menganut Sunni.
Di Suriah, pada awalnya para ‘pejuang’ Da’isy (sebelum ISIS berdiri) bahu membahu dengan kelompok-kelompok oposisi yang melawan rezim Presiden Bashar Assad. Kelompok-kelompok oposisi di Suriah mayoritas menganut Sunni sedangkan Bashar Assad merupakan penganut Syiah Alawi. Namun, pada perkembangannya jamaah Da’isy berbalik menyerang kelompok-kelompok oposisi ini. Termasuk kelompok-kelompok garis keras yang juga berideologi Sunni.
Selain memerangi kelompok-kelompok Sunni yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan ISIS, para pengikut Al Baghdadi juga harus berhadapan dengan tentara pemerintah Perdana Menteri Irak, Nuri Al Maliki. Bahkan beberapa kali para ‘pejuang’ ISIS melucuti persenjataan tentara pemerintah Irak. Terakhir ketika mereka menundukkan Mosul, kota terbesar kedua di Irak. Para pejuang ISIS menjarah berbagai jenis persenjataan dan amunisi serta bank-bank di kota itu.
Selanjutnya, para ‘pejuang’ ISIS pun tidak segan-segan mengusir, menjarah, dan membunuh kelompok-kelompok minoritas, seperti Kristen, Yazidi, dan lainnya. Ratusan sekte Yazidi yang telah ribuan tahun mendiami wilayah Sinjar, Irak Utara, mereka bunuh. Puluhan anak laki-laki mereka kubur hidup-hidup. Sementara yang lainnya yang menolak tawaran ISIS untuk berpindah ke agama Islam, melarikan diri ke wilayah Kurdistan.
Ya, ISIS dan Abu Bakar Al Baghdadi memang telah menebarkan teror dan ketakutan. Bukan hanya tindakan dan sepak terjangnya, penampilannya pun menakutkan. Entah apa maksudnya, para ‘pejuang’ ISIS sering menjuluki Al Baghdadi sebagai Sheikh Syabah alias Sheikh Hantu. Mungkin karena pakaiannya yang serba hitam dan lusuh, serta berjenggot panjang keabu-abuan, ia tampak seperti hantu yang menakutkan. Penampilan Al Baghdadi ini kemudian juga diikuti para pengikutnya.
Melihat latar belakang ISIS yang seperti itu rasanya sulit untuk bisa menerima bahwa mereka berjuang untuk Islam. Islam jelas tidak menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan. Tujuan yang baik harus dicapai dengan cara-cara yang baik pula. Islam adalah kedamaian. Karena itu, apa yang dilakukan oleh ISIS dengan menebarkan teror dan kekerasan lainnya, jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Tujuan ISIS jelas hanya satu: haus kekuasaan!
Itulah sebabnya para ulama di Timur Tengah -- antara lain Sheikh Al Azhar, Sheikh Yusuf Qardhawi, dan ulama Arab Saudi -- telah menfatwakan ISIS bukan berjuang untuk Islam. Bahkan para ulama itu juga mengharamkan umat Islam untuk bergabung dengan ISIS. Menurut mereka, klaim ISIS berjuang menegakkan syariat Islam hanyalah propaganda untuk menipu anak-anak muda Islam agar mau bergabung dengan mereka.
‘‘Padahal apa yang mereka (ISIS) lakukan tak ada hubungannya dengan Islam sama sekali. Bahkan perbuatan mereka yang rela membunuh, menjarah, dan mengusir orang lain dari tempat tinggalnya justeru bertentangan dengan Islam karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW,’’ demikian fatwa Al Azhar.
Namun, yang perlu disambut gembira, keberadaan ISIS ternyata telah mempersatukan kelompok-kelompok di Irak: Syiah, Sunni, dan Kurdi. Mereka sama-sama gerah dengan sepak terjang ISIS. Mereka juga bersepakat untuk memaksa Perdana Menteri Nuri Al Maliki mengundurkan diri. Al Maliki dipersalahkan dan dianggap paling bertanggung jawab atas meluasnya pengaruh ISIS di Irak. Ia juga dituduh kurang mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok lain di luar kelompok Syiah.
Pengganti Al Maliki adalah Haidar Al Ibadi yang dinilai lebih akomodatif. Kelompok Sunni dan Kurdi sudah menyatakan akan mendukung Al Ibadi untuk membentuk pemerintah persatuan yang kuat. Dengan pemerintahan Irak yang kuat yang tidak hanya didominasi oleh kelompok Syiah, mereka yakin akan bisa menyerang balik ISIS. Apalagi negara-negara tetangga seperti Arab Saudi, Iran, dan Turki sudah menegaskan akan mendukung pemerintahan persatuan Irak.