Rabu 27 Aug 2014 06:00 WIB

Presiden Idaman

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Presiden idaman di masa depan adalah presiden yang mampu memimpin pemerintahan secara efektif. Namun, apakah makna setepatnya dari efektivitas pemerintahan dalam konteks kepemimpinan presidensial? Banyak suara mencuat yang membayangkan presiden seperti _manager-in-chief_ dari birokrasi pemerintahan yang mengatur ribuan lembaga pemerintahan, jutaan pegawai negeri sipil, militer, dan kepolisian.

Bayangan seperti ini perlu dilempangkan. Birokrasi pemerintahan yang begitu gigantis dengan jumlah pekerja yang melebihi jumlah penduduk di sejumlah provinsi membuatnya tak bisa diurus dari satu titik pusat. Lagi pula status konstitusional dari klaim manajerial kepresidenan tidak serinci itu. Bagian terluas pegawai negeri sipil tidak mendapat arahan (langsung) dari presiden, tetapi dari perundang-undangan yang mengesahkan kehadiran badan-badan dan mengarahkan tugasnya. Karena itu, masuk akal untuk menyebut birokrasi sebagai cabang keempat pemerintahan.

Atas dasar alasan ini, seorang ilmuwan politik, Richard Rose, menyebutkan, "Presiden tidak bisa mengelola seluruh dimensi pemerintahan, yang nyata-nyata lebih sulit daripada mengurus kawanan kuda liar."

Ahli kepresidenan, Stephen Hess, meluruskan, "Ketimbang sebagai chief manager, presiden adalah chief political officer dari sebuah republik." Dalam posisi terakhirnya ini tanggung jawab utama seorang presiden adalah membuat sejumlah kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam anggaran dan rancangan legislasi serta memperlengkapi kebijakan untuk menjamin keselamatan negara.

Sebagai chief political officer, tugas utama presiden adalah "memimpin" (to lead), bukan mengurus (to manage) pemerintahan. Sebagai pemimpin pemerintahan, presiden dituntut bertindak secara sistematis untuk mendefinisikan mandat dan watak kepemimpinannya, selain harus menempatkan orang-orang yang loyal terhadap agendanya dalam posisi-posisi kunci yang akan melaksanakan mandat itu.

Dalam mendefinisikan mandat kepemimpinannya, pertama-tama seorang presiden harus memiliki landasan ideologi kerja (working ideology), berupa seperangkat prinsip dasar sebagai haluan kebijakan. Ideologi kerja ini sudah dinyatakan dalam kampanye yang bisa memberi semacam jangkar nilai dan suar arah kepada publik pemilih. Dalam hal ini ideologi presiden terkait ideologi partai politik yang mendukungnya.

Atas dasar ideologi kerja ini, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang jelas. Sekali lagi, presiden tidak bisa mengurus dan menyelesaikan semua urusan pemerintahan. Karena itu, agenda pemerintahannya harus jelas dan terbatas dengan arahan jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektivan dalam

mengejar, agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense of direction bagi aparat pemerintahan, publik dan media. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Menentukan fokus memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun, ada risiko besar bagi presiden yang terlalu berhati-hati mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.

Dengan prinsip dan fokus yang jelas, presiden baru bisa menentukan komposisi dan personel kabinet yang tepat. Komposisi dan personel yang dipilih harus merupakan bagian dari solusi, bukan menambah masalah. Jika presiden memberi fokus pada kemandirian, kedaulatan dan kepribadian bangsa, sungguh ironis jika menteri-menteri yang dipilih justru figur kepanjangan tangan kepentingan asing atau figur oportunis dengan kepribadian politik yang mudah bergeser. Menteri-menteri terpilih, terutama di posisi-posisi kunci, harus memahami prinsip dan fokus agenda kepresidenan dengan komitmen utamanya diarahkan kepada presiden, bukan kepada kepentingan partai, kelompok kepentingan, ataupun perseorangan.

Dalam memilih personel, presiden cenderung menghendaki kompatibilitas politis dan kebijakan, loyalitas, serta kompetensi profesional pada diri seseorang sekaligus, suatu kombinasi yang sulit diperoleh. Untuk mengatasi hal ini, presiden harus memilih personel itu dalam kerangka pembentukan tim di tiap kementerian atau badan, di mana kapasitas para pemimpin puncaknya harus bisa saling mengisi. Misalnya, presiden bisa memilih sekretaris kabinet yang kompatibel secara politik, deputi sekretaris yang memiliki keahlian pemerintahan, dan mantan anggota tim kampanyenya sebagai juru bicara.

Tim ini berfungsi menjalankan fokus agenda kepresidenan pada setiap instansi terkait. Personel-personel terpilih bisa saja datang dari partai politik pendukung, kalangan profesional, bahkan dari kalangan oposisi sejauh memahami agenda kepresidenan dan loyal kepadanya. Spirit publik lebih menghendaki the right man on the right place, tak peduli asal-usulnya.

Dengan kata lain, menteri dan pejabat senior dipilih demi menyukseskan agenda kepresidenan, bukan untuk menyenangkan partai-partai dan pihak penyumbang. Kini tinggal presiden menentukan nilainya sendiri, bagaimana ia berani menarik batas dari masa lalu dan menorehkan sumbangsihnya yang spesifik dalam sejarah republik.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement