Senin 01 Sep 2014 06:00 WIB

Kisah Anak-Anak Muda Tergiur Propaganda ISIS

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Inilah kisah tiga anak muda yang tergiur (baca: tertipu) propaganda ‘jihad’  ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Pertama, seorang pemuda dari desa kecil di Lamongan, Jawa Timur. Wildan Mukhollad namanya, kelahiran 1995. Ia pernah nyantri di Pesantren Al Islam di Tenggulun, juga di Lamongan.

Sebelum menamatkan sekolah di Madrasah Aliyah, Wildan meminta kepada keluarganya untuk bisa melanjutkan sekolah di Al Azhar, Mesir. Kebetulan kakak perempuannya juga kuliah di sana. ‘‘Dia belum lulus Aliyah, minta ke Mesir. Kebetulan dia itu bagus peringkat pertama. Kami minta dia selesai dulu di Tenggulun, karena bapak kan sakit parah, tapi keinginan dia ke Mesir itu besar sekali,’‘ ujar Muhammad In’am, kakak Wildan, kepada BBC Indonesia.

Pada 2011, Wildan berangkat ke Kairo, tinggal di rumah kakak perempuannya. Ia sekolah di Dirosah Khossoh sebagai persiapan kuliah di Universitas Al Azhar. Namun, pada akhir 2012 Wildan tiba-tiba menghilang dari rumah kakaknya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui ia sudah berada di Suriah bergabung dengan ISIS.   

Menurut In’am, selama di Suriah dan kemudian di Irak, adiknya hanya melakukan kontak searah dengan keluarganya di Lamongan. Tiba-tiba, lanjutnya, pada pertengahan Februari lalu keluarganya mendapat kabar Wildan telah meninggal dunia. Menurut laporan  media, pemuda 19 tahun ini tewas saat melakukan aksi bom bunuh diri di Irak.

Kisah kedua mengenai seorang pemuda 20 tahun dari Cardiff, Wales, Inggris. Nasir Mutsanna, nama pemuda itu, sangat berprestasi di sekolahnya. Setamat SMA, ia diterima di fakultas kedokteran di empat universitas terkemuka di Inggris.

Hingga suatu hari, keluarga imigran dari Yaman yang berhasil meningkatkan statusnya sebagai kelas menengah di masyarakat Wales itu, dikejutkan dengan kemunculan anaknya di video yang dirilis ISIS. Si anak berbicara tentang keutamaan jihad. Ia mengajak pemuda-pemuda lain di seluruh dunia ikut bergabung berjuang bersama ISIS di Irak dan Suriah. ‘‘Ketika menyaksikan anak saya, saya tidak bisa menahan tangis,’’ kata ayah Mutsanna kepada Radio BBC.

Menurutnya, anaknya menghilang dari rumah pada November 2013, menjelang dimulainya tahun ajaran baru kuliah di fakultas kedokteran. Yang lebih menyedihkan, lanjut ayah Mutsanna, anaknya yang lain, Ashil Mutsanna (17) -- adik Nasir Mutsannya -- juga menghilang sejak Februari lalu dan kemudian diketahui telah bergabung dengan kakaknya di Irak dan Suriah.

Kisah ketiga tentang pemuda kurus bertato bernama Douglas McAuthur McCain. Pemuda kelahiran 1981 di Illinois, AS ini, seperti ditulis The Washington Post,  tidak pernah lama tinggal di suatu tempat. Ia menghabiskan 33 tahun usianya berpindah-pindah – sekolah, pekerjaan, dan tempat tinggal. Hingga, suatu hari, ia berada di Suriah, bergabung dengan kelompok milisi ISIS dan tewas terbunuh dalam konflik bersenjata.

Mayat McCain ditemukan Tentara Pembebasan Suriah. Ia tewas setelah pertempuran beberapa hari lalu bersama ISIS. Di saku pakaiannya ditemukan paspor dan uang 800 dolar AS.

Kematian McCain meninggalkan banyak misteri. Misalnya bagaimana seorang pemuda yang bergaya hidup ala Barat tiba-tiba bergabung dengan gerakan garis keras seperti ISIS. Menengok perjalanan hidupnya pun menunjukkan ia seperti anak-anak hitam Amerika pada lazimnya.

Ia menyukai pizza hut, musik rap, bola basket, dan lainnya. Bahkan ia juga suporter fanatik Chicago Bulls dan mengidolakan pemain basket Michael Jordan. Seorang temannya menggambarkan McCain sebagai  pemuda  ramah, suka bola basket, gemar bercanda, dan punya jiwa humor.

Antara 1997-2000 ia pindah ke Minneapolis dan masuk SMA di dua sekolahan di distrik Robbinsdale. Namun, ia tak sampai lulus. Sejak 2000 McCain mulai banyak terlibat pelanggaran. Dari pelanggaran lalulintas, pencurian, hingga kepemilikan marijuana. Namun, pelanggaran itu tergolong kejahatan kecil saja.

Hingga suatu saat ketika ia menetap di San Diego, ia berkenalan dengan seorang Somalia, pemilik restoran yang menjual makanan khas Afrika. Tidak jelas, apakah pekenalannya dengan orang Somalia ini menjadi titik balik keyakinan McCain. Namun, menurut sepupunya, Jocelyn Smith, saudaranya itu sudah memeluk Islam sejak 10 tahun lalu, jauh sebelum berkenalan dengan pemilik restoran Somalia.

Menurut Smith, keluarganya tidak terkejut ketika McCain memeluk Islam. Yang membuat sedih ketika saudaranya itu pergi ke Turki dan kemudian tiba-tiba ditemukan tewas di Suriah.

Ya, itulah kisah tiga pemuda dari tiga negara berbeda. Mereka rela meninggalkan keluarga dan negaranya untuk pergi ke  satu tujuan: menyabung nyawa berperang bersama ISIS di Irak dan Suriah. Kesamaan lainnya: mereka tiba-tiba menghilang dari keluarganya dan ketahuan kemudian telah menjadi pengikut Al Baghdadi.

Selain mereka, masih banyak pemuda asing lain yang kini bergabung dengan ISIS. Sebagian mereka telah menemui ajal. Diperkirakan sekitar 3000 warga asing kini menjadi pengikut Abu Bakar Al Baghdadi. Mengutip pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman, ada 56 orang WNI bergabung dengan ISIS. Empat orang di antaranya tewas dan salah satunya akibat bom bunuh diri.

Pertanyaannya, motif apa yang mendasari anak-anak muda itu hingga mau menyabung nyawa demi berperang bersama ISIS? Benarkah mereka sedang jihad fi sabilillah? Betulkan mereka lagi berjuang menegakkan Syariat Islam?

Bila semua itu benar, maka mereka yang meninggal dalam peperangan disebut syahid dan pahalanya surga. Namun, bila mereka hanya tergiur (baca: tertipu) propaganda ISIS, saya khawatir mereka yang meninggal di Irak dan Suriah sebenarnya hanyalah mati sia-sia.    

Marilah kita lihat apa yang terjadi di Irak dan Suriah. Di Irak ada pemerintahan sah PM Nuri Al Maliki yang  kemudian digantikan PM Haidar Al Ibad. Lantaran kecewa terhadap invasi AS dan kebijakan pemerintahan yang ada, lalu muncul kelompok-kelompok perlawanan di berbagai wilayah di Irak.

Ada kelompok Rijal Al Tariqah Al Naqsyabandiyah, Majelis Al ‘Asyair (suku-suku Arab Sunni), kelompok Al Bi’tsiyun, Kataib Tsaurah Al ‘Isyrin, Jamaah Al Anshar Al Islam, Jamaah Jaisyu Al Mujahidin, Al Jaisyu Al Islamu fi Al Iraq, dan Al Bisymarkiyah. Semua nama-nama ini adalah kelompok bersenjata.

Di Suriah kondisinya hampir serupa. Sejak berlangsung konflik bersenjata antara oposisi (tergabung dalam Tentara Pembebasan Suriah) dengan pasukan rezim Presiden Bashar Assad 2011, muncul pula  kelompok-kelompok jihadis, seperti Tandzimu Alqaida, Jabhatu Al Narhsoh, dan terakhir Tandzimu Al Daulah Al Islamiyah fi Al Iraq wal Al Syam yang disingkat Da’isy atau ISIS.

Tandzimu Al Daulah Al Islamiyah tadinya hanya ingin mendirikan Negara Islam di Irak. Namun, pada perkembangannya, ketika mereka berhasil merebut sejumlah wilayah di Suriah, mereka kemudian menggabungkan kekuasaan di dua negara itu menjadi Negara Islam di Irak dan Suriah.

Kekuasaan ISIS diperoleh dari memerangi kelompok-kelompok Muslim lain, dan bahkan dengan kelompok jihadis sendiri. Lalu, dalam kondisi demikian, apakah bisa dikatakan peperangan ISIS sebagai jihad fi sabilillah dan menegakkan Syariat Islam? Padahal, yang mereka perangi dan mereka bunuh sejatinya adalah sesama Muslim. Bisa jadi mereka meneriakkan ‘Allahu Akbar’, dan pada waktu yang sama mereka saling membunuh sesama Muslim.

Saya khawatir anak-anak muda yang berperang bersama ISIS – seperti Wildan, Mutsanna, dan McCain -- hanyalah tertipu dengan propaganda ‘jihad’ mereka. Padahal, anak-anak muda itu hanya dimanfaatkan oleh Al Bahdadi dan pengikutnya untuk memenuhi ambisi merengkuh kekuasaan di kawasan yang penuh konflik itu. Wallahu a’lam.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement