REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Adalah sebuah kerugian besar bagi bangsa ini karena parpol Islam pasca partai Masyumi dan pasca partai NU gagal melahirkan pemimpin, nasional dan lokal, yang mendapat kepercayaan rakyat banyak. Di kalangan Masyumi dulu banyak muncul pemimpin kelas nasional setanding dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Wilopo, I.J. Kasimo, Johannes Leimena, dan lain-lain. Nama-nama semisal Soekiman Wirjosendjojo, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara, Jusuf Wibisono, Burhanudin Harahap, adalah tokoh-tokoh nasional idealis dengan karakter kepemimpinan yang kuat.
Dari rahim NU, kita mengenal KH Hasjim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Wahid Hasjim, Imron Rosjadi, KH Masjkur, KH Iljas, Subchan ZE, dan yang terbaru adalah Abdurrahman Wahid dan K.H. Ahmad Hasjim Muzadi. Dua nama terakhir ini memang dibentuk oleh kultur NU, sedangkan para pendahulunya adalah pembentuk NU.
Seperti halnya yang berlaku dalam NU, nama-nama tokoh Masyumi di atas adalah pembentuk Masyumi, bukan yang dibentuk oleh partai ini. Karena Masyumi mengalami kecelakaan sejarah, partai ini hanya sempat bernafas selama 15 tahun (1945-1960). Usia pendek inilah yang menghalangi Masyumi mencetak kader penerusnya untuk disiapkan menjadi memimpin Indonesia. Kehancuran Masyumi adalah sebuah malapetaka bagi perkembangan demokrasi bagi Indonesia, karena partai ini dikenal teramat gigih membela konstitusi dan kultur demokrasi, di saat partai-partai lain memasukkan dirinya ke dalam sistem politik antidemokrasi.
Pada bulan Nopember 1968, pernah didirikan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) dipimpin Mohamad Roem untuk meneruskan cita-cita Masyumi, tetapi kandas di kuncupnya, karena Roem tidak diizinkan rezim Orba (Orde Baru) untuk berada dalam kepemimpinan. Lalu digantikan Djarnawi Hadikoesoemo, tetapi tidak lama, karena juga dinilai berbahaya oleh rezim berkuasa. Pasca Djarnawi, para pemimpin Parmusi adalah manusia-manusia jinak yang bersekutu dengan penguasa tanpa perlu diawasi lagi, karena mereka adalah pelayan kekuasaan yang sedang berlaku. Sampai tahun 1973, saat dipaksakannya penyederhanaan sistem kepartaian, parpol Islam yang masih berkibar adalah NU yang berani menunjukkan taringnya kepada penguasa, sekalipun tidak seperkasa Masyumi. Januari 1973, hanya tersisa tiga kekuatan politik yang diizinkan hidup: Golkar, PPP, dan PDI.
Golkar (Golongan Karya) selama lebih seperempat abad menjadi kendaraan penguasa militer pimpinan Jenderal Soeharto. PPP (Partai Pesatuan Pembangunan) adalah leburan partai NU, Parmusi, PSII, Perti), sedangkan PDI (Partai Demokrasi Indonesia) adalah perumahan baru bagi PNI, Partai Kristen, Partai Katolik, dan Partai Murba. Di bawah rezim Orba, posisi politik PPP dan PDI hanyalah sebagai partai pengiring, taringnya sudah digergaji. Tetapi PDI yang kemudian menjelma menjadi PDI-Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputeri menjelang keruntuhan Orba, taringnya tumbuh kembali. Ruh Bung Karno bangkit melalui Mega dan ditakuti rezim Orba. Buahnya yang terkini adalah Joko Widodo yang mendapat mandat dari Mega untuk menjadi orang pertama di Indonesia, sekalipun bukan dari trah Bung Karno. Sungguh fenomena ini dahsyat dan dramatis!
Adapun dari parpol Islam, baik yang berasal dari kultur Masyumi secara tidak langsung (PAN, PKS, dan PBB) mau pun yang berasal dari kultur NU (PKB, PNU/Partai Nahdlatul Ummat) tidak satu pun, kecuali sebentar di bawah Abdurahman Wahid, yang berhasil menampilkan pemimpin nasional yang didukung publik secara luas. Di antara parpol Islam yang pernah mendapat perhatian karena militan dan berlagak suci, kemungkinan hari depannya akan kelabu, karena dalam kelakuan politiknya tidak terjalin persahabatan antara kata dan laku. Sebagian besar tokohnya sama-sama mandi berkubang dalam luluk pragmatisme, berbanding lurus dengan kebanyakan parpol lain di Indonesia. Maka ujungnya adalah: quo vadis parpol-parpol Islam? Akan terus bergumul dengan kegagalan atau menata diri kembali, demi memenangkan kepercayaan publik, sehingga mampu melahirkan pemimpin andalan dengan visi dan karakter yang kuat. Terserah kepada mereka untuk memberi jawaban secara jujur dan historis!