Kamis 04 Sep 2014 06:00 WIB

Warisan Islam Asia Tenggara (2)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

 Pembicaraan tentang warisan Islam Asia Tenggara dalam Konperensi 20 tahun Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (14-15/8/2014) menghadirkan sejumlah Indonesianis-cum-Islamisis senior terkemuka. Di antara mereka adalah M.C. Ricklefs, gurubesar emeritus Australian National University, pakar sejarah Islamisasi Jawa/Indonesia; Robert Hefner, gurubesar Boston University, pakar antropologi masyarakat Muslim Indonesia; dan Martin van Bruinessen,  gurubesar emeritus Utrecht University, pakar tasawuf. Ketiga ahli ini menyampaikan makalah kunci bersama penulis Resonansi ini.

Baca Juga

Selain itu juga berpartisipasi ahli Islam Indonesia atau Asia Tenggara, seperti Shamsul AB, gurubesar UKM Kuala Lumpur; Peter Riddell, gurubesar Melbourne School of Theology; Iik Arifin Mansurnoor, gurubesar emeritus University Brunei Darussalam; Mitsuo Nakamura, gurubesar emeritus Chiba University, Jepang; Mark Cammack, gurubesar Southwestern Law School of Los Angeles; Ronald Lukens-Bull, gurubesar University of North Florida; Janet Steele, gurubesar George Washington University; Anne K. Rasmussen, gurubesar The College of William and Mary. Mereka didampingi lebih dari 40 penyaji lebih yunior. Pembahasan sepanjang konperensi mencakup tiga makalah kunci, dan 19 paralel panel.

Penulis Resonansi ini dalam makalah kunci pada pembukaan konperensi berargumen, perkembangan dan dinamika Islam Indonesia atau Asia Tenggara umumnya banyak dipengaruhi warisan (legacy) masa silam yang kemudian berpadu dengan sejumlah fenomena baru yang muncul dalam 20 tahun terakhir. Watak Islam Indonesia yang menampilkan Islam Washatiyah memungkinkan terwujudnya Indonesia yang damai dan stabil yang pada gilirannya memberikan iklim kondusif bagi pembangunan, modernisasi dan demokrasi.

Pembangunan dan modernisasi Indonesia yang berlangsung sejak masa Orde Baru pada 1970an menghasilkan peningkatan ekonomi dan pendidikan. Melalui pendidikan yang kian tersedia sejak dari dasar, menengah sampai perguruan tinggi, terjadilah mobilitas intelektual, ekonomi dan sosial di anak-anak umat. Mereka ini selanjutnya menjadi kelas menengah Muslim yang menjadi tulang punggung bagi kemunculan berbagai lembaga baru semacam dari sekolah Islam atau madrasah favorit, Lembaga Amil Zakat (LAZ) filantropi dan relief, perbankan syariah.

Di tengah perkembangan ini, kian banyak gedung pesantren, sekolah Islam, madrasah dan perguruan tinggi yang permanen dan bertingkat. Masjid-masjid baru yang indah, megah dan kokoh juga berdiri di mana. Gejala ini memberikan kebanggaan baru (newly found pride) kepada kaum Muslimin umumnya.

Pada saat yang peningkatan kecintaan kepada Islam juga menimbulkan fenomena relijio-sosial baru mulai dari kian meluasnya pemakaian jilbab, kian banyaknya jumlah jamaah haji dan umrah serta wisata keagamaannya lain.

Gejala seperti ini juga diamati Profesor Ricklefs. Dalam pidato kuncinya tentang ‘Rediscovering Islam in Javanese history’ ia menguraikan tentang anggapan keliru para pengkaji Islam Indonesia sebelumnya. Misalnya saja J.C. van Leur yang dalam bukunya Indonesian Trade and Society (1967) yang menganggap ‘Islam hanya lapisan tipis yang mudah terkelupas’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pendeknya, Islam tidak memiliki pengaruh dan dampak terhadap kehidupan warga Indonesia.

Menurut Ricklefs, pandangan stereotipikal yang mengecilkan peran dan posisi Islam dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia juga terlihat misalnya pada karya Clifford Geertz, The Religion of Java (1960) yang membagi masyarakat Muslim Jawa (kemudian cenderung diterapkan pula pada seluruh kaum Muslimin Indonesia): santri, abangan dan priyayi.

Dalam pandangan Ricklefs, pada awalnya tidak ada dikhotomi santri-abangan karena adanya ‘sintesa mistik’ dalam masyarakat Muslim Jawa. Tetapi sejak awal abad 20 terjadi polarisasi di antara kedua varian masyarakat Muslim. Tetapi, proses Islamisasi yang meningkat sejak akhir masa Orde Baru mengakibatkan budaya Muslim abangan kian memudar; sebaliknya Islam santri beserta lembaga-lembaga kian menguat walaupun pada saat sama yang politik santri cenderung melemah.

Gejala yang sama juga teramati pembicara kunci lain, Profesor Robert Hefner. Menyampaikan makalah bertajuk ‘A Conservative Turn? Plurality, Vitality, and Ethical Constestation in Indonesian Islam’, Hefner mengakui terjadinya apa yang dia sebut sebagai ‘rapid conservatism’, konservatisme yang kelihatan berkembang cepat di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Gejala ini menurut Hefner bisa juga disebut sebagai ‘normativisasi kehidupan publik’.

Hefner berargumen, ‘normativisasi kehidupan publik’ itu dimungkinkan perkembangan pendidikan Islam dan pemusatan kembali (recentering) otoritas keagamaan. Sejalan dengan itu, terjadi peningkatan ‘social imaginary’ yang berpadu dengan fiqh sehingga memunculkan ‘fiqh normativity’.

Pada saat yang sama, Islam Indonesia paling ‘associationalized’, sangat terasosiasi melalui banyak ormas Islam—hal yang tak dimiliki kawasan Muslim lain. Ormas-ormas Islam ini memainkan peran penting dalam apa yang disebut Hefner sebagai ‘maslahization of normativity’, bahwa normativitas yang terus meningkat selalu terkerangkakan untuk kemaslahatan umat dan negara-bangsa Indonesia.

 

Ikuti informasi terkini seputar sepak bola klik di sini

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement