Senin 08 Sep 2014 06:00 WIB

Derita Panjang Muslim Sunni Irak

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Derita warga Sunni di Irak mungkin tidak sedramatis yang dialami Suku Yazidi dan umat Kristiani di negara itu. Penyebebnya, antara lain karena pelaku penyiksaan dan pengusiran paksa terhadap kaum Nasrani dan suku Yazidi adalah ISIS, lalu mendapatkan perhatian luas masyarakat internasional.

Ya, ISIS dan pemimpinnya, Abu Bakar Al Baghdadi, memang sedang menjadi berita dunia. Selain sepak terjangnya, juga kekejamannya: Dua orang wartawan AS dipenggal lehernya dan warga minoritas – Nasrani dan Yazidi – diusir, disiksa, dan dibantai.

Selain itu, masyarakat  internasional, terutama Barat, sangat sensitif bila terkait dengan perlakuan buruk terhadap kelompok minoritas, apalagi minoritas non-Muslim. Perlakuan buruk terhadap umat Nasrani dan Suku Yazidi di Irak, misalnya,  sudah mereka katagorikan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Bandingkan bila kekejaman itu dilakukan Zionis Israel terhadap warga Palestina di Gaza.

Sementara itu, bagi media, ISIS dan Al Baghdadi adalah sesuatu yang ‘seksi’. Menarik diberitakan. Termasuk nasib buruk yang menimpa umat Nasrani dan Suku Yazidi di Irak. Pemberitaan itu lengkakp meliputi tulis, foto, dan video. Sehingga, masyarakat pun empati pada penderitaan warga minoritas di Negeri Seribu Satu Malam itu.

Media Inggris, The Guardian, misalnya, dalam komentarnya tentang sepak terjang ISIS dan Al Baghdadi menyatakan, ‘‘Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, namun apa yang kita saksikan tentang ISIS sungguh mengerikan. Mereka membunuh anak-anak, membenci Syiah, memaksa orang lain untuk memeluk Islam atau mengusir mereka , dan melakukan tindakan-tindakan lain di luar perikemanusiaan.’’

Namun, tanpa menafikkan tragedi kemanusiaan yang menimpa umat Nasrani dan Suku Yazidi di Irak, penderitaan yang dialami warga Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah/Aswaja) di negeri itu sesungguhnya lebih mengerikan. Penderitaan yang -- bahkan bila diukur dengan standar hak asasi internasional --  sudah bisa dikatagorikan sebagai tragedi kemanusiaan dan pelakunya sebagai pelanggar berat HAM. 

Penderitaan itu sudah berlangsung selama 11 tahun, sejak invasi AS dan sekutunya ke Irak pada 2003 hingga sekarang. Pelakunya: AS dan koalisinya, pemerintah Irak, dan kemudian ISIS.

Bagi Washington, para warga Irak Sunni dianggap ‘berdosa’ lantaran dianggap pendukung rezim Saddam Husein. Sejumlah wilayah berpenghuni  mayoritas Sunni dilabeli sebagai basis-basis perlawanan terhadap pasukan asing. Sedangkan bagi para warga Ahlus Sunnah wal Jamaah Irak, AS dan pasukan koalisinya justeru dituduh sebagai penjajah yang telah menghancurkan Irak.

Pada 2003 dan tahun-tahun berikutnya, AS beberapa kali menyerang kota-kota Sunni.  Serangan yang paling telak terjadi dua kali di Kota Fallujah,  Provinsi Al Anbar. Pasukan AS waktu itu menggunakan berbagai persenjataan untuk menghancurkan kota yang dihuni mayoritas Sunni tersebut.

Penderitaan warga Sunni Irak semakin panjang dan parah karena juga dilakukan pasukan pemerintah sejak era Perdana Menteri (PM) Ibrahim Al Ja’fari, Ayad Allawi, hingga Nuri Al Maliki. Mereka bukannya melibatkan kelompok-kelompok Sunni dalam pemerintahan bersatu, tapi malah menganggapnya sebagai lawan. Akibat  kebijakan itu, terjadilah pembantaian oleh milisi-milisi garis keras Syiah yang direstui oleh tiga PM tersebut, seperti yang terjadi di pinggiran Baghdad, Diyala, Basrah, Al Anbar, dan Al Ta’mim/Kirkuk.

Sejak invasi AS dan sekutunya terhadap Irak, warga Sunni merasa diperlakukan tidak adil, baik yang menyangkut kesamaan hak dalam akses sosial-budaya, pendidikan,  partisipasi politik, maupun perlindungan keamanan. Akibat dari ketidakadilan itu mereka kemudian melakukan aksi-aksi unjuk rasa damai di sejumlah kota di provinsi Al Anbar, Diyala, Al Huwaijah, dan Mosul.

Namun, aksi-aksi mereka itu kemudian dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah dan dihadapi dengan kekerasan. Pada April 2013, polisi dan tentara menyerang aksi unjuk rasa damai di Al Huwaijah yang menyebabkan 91 warga Sunni meninggal dunia dan 254 luka-luka.

Selain itu, mengutip Aljazira.net, pasukan pemerintah juga menangkap dan memenjarakan orang-orang Sunni. Mereka menculik dan membunuh sejumlah ulama, dokter, akademisi, dan para perwira militer Sunni. Semua itu, demikian Aljazira, berlangsung di depan mata pasukan asing, terutama pasukan AS.

Yang lebih mengerikan adalah pembantaian yang terjadi di Masjid Masab bin ‘Umair di Provinsi Diyala. Ketika warga Sunni sedang shalat Jumat tiba-tiba mereka diserang milisi Syiah radikal. Sejumlah 70 orang meninggal dunia dalam peristiwa itu.

Pemerintah Baghdad juga menyatakan perang terhadap warga di Provinsi Al Anbar. Para warga Sunni dituduh telah melindungi milisi Da’isy -- cikal bakal ISIS -- yang yang mulai menyusun kekuatan di wilayah itu. Padahal, masih mengutip Aljazira, maksud sebenarnya adalah untuk melemahkan basis-basis perlawanan kelompok Sunni di kota-kota tersebut. Banyak dari mereka yang kemudian ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa ada tuduhan yang jelas dan tanpa proses di pengadilan.

Akibat dari semua itu, banyak warna Sunni yang kemudian mengungsi ke provinsi-provinsi yang mayoritas penduduknya Sunni atau hijrah ke luar dari Irak. Yang menyedihkan, masyarakat internasional ternyata diam seribu bahasa atas tragedi yang menimpa warga Sunni. Tidak seperti yang diperlihatkan kepada warga Yazidi dan umat Nasrani.

Kekecewaan warga Sunni terhadap pemerintahan pusat inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal seperti ISIS. Pada awalnya, ISIS memperlihatkan perlindungan kepada kelompok-kelompok Sunni untuk menghadapi hegemoni pemerintahan di Baghdad yang didominasi Syiah. ISIS sendiri juga berideologi Sunni.

Pada perkembangannya, ternyata ISIS juga tidak peduli dengan sesama kelompok Sunni yang lain. Bahkan mereka rela menyerang  kelompok-kelompok Sunni karena dianggap tidak mendukung berdirinya Daulah Khilafah yang dipimpin Al baghdadi. ISIS bahkan kemudian mengeksekusi mati 13 ulama Sunni. Sebuah tindakan yang tampaknya sengaja dilakukan untuk membungkam suara-suara moderat di kalangan Sunni Irak. 

Salah seorang ulama yang pertama kali dieksekusi, seperti diberitakan The Washington Post, adalah Sheikh Muhammad Al Mansuri, imam dan khatib Masjid Agung Mosul. Menurut seorang pejabat PBB, ia dieksekusi mati pada 12 Juni lalu lantaran menolak bersumpah setia kepada ISIS. Sedangkan 12 ulama Sunni lainnya dihukum mati dua hari kemudian dengan alasan yang sama.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab menjadikan Irak seperti sekarang, termasuk munculnya ISIS dan penderitaan para warga Sunni?

Seolah menyesalkan kebijakan negaranya di Irak selama ini, Kepala Staf Gabungan Pasukan Amerika Serikat, Jenderal Martin Dempsey, menyatakan salah satu kunci ‘penyelesaian’ persoalan ISIS adalah terletak pada warga Sunni. ‘‘Negara Islam di Irak dan Suriah bisa runtuh ketika 20 juta warga Sunni Irak yang hidup menderita  menolak keberadaan ISIS,’’ ujarnya dalam konferensi persi beberapa waktu lalu seperti dikutip Aljazira.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement