REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Malala namanya. Tepatnya Malala Yousafzai. Usianya baru 17 tahun. Sweet seventeen, istilahnya. Namun, meskipun masih belia, remaja putri dari Pakistan ini oleh Komite Nobel -- dalam pengumuman yang disampaikan di Oslo, Norwegia, pada Jumat (10/10) lalu -- dinyatakan berhak menerima penghargaan bergengsi Nobel Perdamaian Tahun 2014.
Lalu apa makna Malala bagi dunia sehingga dia disejajarkan dengan nama-nama besar seperti Martin Luther King Jr, Anwar Sadat, Manachem Begin, Dalai Lama, Aung San Suu Kyi, Nelson Mandela, Yasir Arafat, dan Barack Obama? Nama-nama yang tersebut tadi merupakan di antara tokoh-tokoh dunia yang pernah menerima Penghargaan Nobel Perdamaian.
Malala memang tidak sendirian menerima Nobel Perdamaian Tahun 2014. Ia berbagi dengan Kailash Satyarthi. Kedua orang ini mengalahkan 278 calon lainnya. Malala dan Satyarthi akan menerima hadiah sekitar 1,1 juta dolar AS.
Satyarthi adalah warga India, 60 tahun. Ia dinilai layak menerima Nobel Perdamaian karena perjuangannya membela hak-hak anak di negaranya. Sejak 1990-an ia aktif menentang industri India yang mengekploitasi buruh anak. Pada 1998 ia memulai sebuah pawai global tahunan untuk menentang praktek pekerja anak. Komite memuji Satyarthi telah ‘memelihara tradisi Gandhi’ dalam aksi-aksi damai memperjuangkan hak asasi anak-anak.
Bagaimana dengan Malala? Pada 2009, ketika usianya baru 11 tahun, ia sudah dikenal dunia lewat buku hariannya yang dimuat BBC bahasa Urdu. Dengan nama samaran Gul Makai, Malala menyerukan tentang pentingnya anak-anak perempuan di negerinya mendapatkan pendidikan seperti halnya anak laki-laki. Pada usia 15 tahun, tepatnya 9 Oktober 2012, ia dan teman-temannya diberondong tembakan saat berada di bus dalam perjalanan pulang dari sekolah. Belakangan diketahui pelakunya adalah kelompok Taliban.
Malala tertembak di kepalanya. Untungnya nyawanya masih selamat. Beberapa waktu kemudian ia diterbangkan ke sebuah rumah sakit di London untuk menjalani perawatan. Lantas apa hubungan antara buku harian Malala dengan peristiwa penembakan? Atau lebih tepatnya dengan Taliban?
Dalam buku hariannya, Malala menulis tentang kehidupan di Lembah Swat, saat wilayah indah yang dijuluki ‘Swissnya Pakistan’ itu dikendalikan rezim Taliban sejak 2007. Lembah Swat berada di barat daya Pakistan, berbatasan dengan Afghanistan. Taliban berkuasa di daerah itu selama dua tahun hingga didesak mundur militer Pakistan pada 2009. Selama berkuasa, rezim Taliban menutup semua sekolah untuk anak perempuan, termasuk sekolah yang dimiliki oleh ayah Malala, Ziauddin Yousafzai.
Ziauddin adalah seorang guru. Ia mendorong anak perempuannya untuk bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya. Namun, keinginan sang bapak dan anak yang bercita-cita menjadi dokter tampaknya harus tertunda lantaran Taliban melarang anak gadis bersekolah.
Ketika Taliban keluar dari Swat, Malala pun kembali bersekolah. Tapi, ‘dendam’ Taliban kepada remaja perempuan yang masih berusia 15 tahun dan terus menyerukan anak-anak perempuan untuk bersekolah itu tampaknya belum hilang. Puncaknya terjadi pada 9 Oktober 2012 ketika segerombolan orang-orang Taliban menembaki bus yang ditumpangi Malala dan teman-temannya dalam perjalanan pulang sekolah.
Di sinilah makna penting kehadiran Malala. Ia berani melawan sebuah rezim yang didominasi kaum laki-laki. Sebuah rezim yang meletakkan kaum perempuan hanya sebagai ‘objek’ atau ‘pelengkap penderita’. Malala memberontak. Ia melawan. Melawan sebuah rezim seperti Taliban yang pernah berkuasa di Afghanistan antara 1996 hingga 2001.
Kehidupan di Afghanistan era Taliban berkuasa benar-benar didominasi kaum laki-laki. Kaum perempuan hanya berkegiatan di sekitar rumah. Sekolah dilarang. Ke pasar atau belanja ditabukan kecuali disertai muhrimnya. Apalagi terlibat dalam kegiatan sosial, budaya, dan politik. Pendek kata, peran perempuan hanyalah di rumah dan di rumah: menjadi istri, melayani suami, melahirkan, merawat anak, dan seterusnya.
Afghanistan era Taliban yang dideklarasikan dengan nama The Islamic Emirate of Afghanistan jelas merupakan promosi buruk sebagai negara Islam. Selain diwarnai dengan kekerasan dan konflik internal, Afghanistan masa Taliban juga tertinggal dalam berbagai bidang, baik ekonomi, pendidikan, maupun sosial budaya.
Namun, di negeri Malala sendiri, Pakistan, meskipun menolak ‘paham’ Taliban, negeri itu sebenarnya menyimpan banyak masalah. Antara sang kaya dan si miskin terdapat perbedaan mencolok. Panggung politik didominasi keluarga-keluarga feodal, kaya, dan berpengaruh, semacam Bhutto, Chaudhry, Zia-ul-Haa, Le-gha ri, Sajjad, Musharraf, Syarif, Gillani, dan Zardari. Mereka kalau bukan keluarga pengusaha, ya tuan tanah atau jenderal berpengaruh.
Sedangkan panggung kehidupan sosial kemasyarakatan lebih banyak diperankan para ulama lokal dengan basis sekolah agama, seperti pesantren tempat belajar kebanyakan orang miskin. Di sinilah gesekan atau bahkan konflik internal sering terjadi antara politikus dan ulama. Persoalannya bukan hanya murni dalih agama atau kepentingan nasional, tapi juga masalah pribadi atau kelompok. Ini belum termasuk persaingan para politikus yang sangat keras dalam memperebutkan kekuasaan. Juga, perebutan pengaruh antarinternal tokoh agama hanya karena beda paham, aliran, atau pendapat.
Itulah sebabnya, suksesi kekuasaan di Pakistan beberapa kali berjalan tidak normal. Kudeta kekuasaan sering kali terjadi, baik dengan alasan tuduhan korupsi maupun penyalahgunaan wewenang/kekuasaan. Bahkan sejumlah politikus mati terbunuh atau dibunuh. Benazir Bhutto -- pernah menjadi PM dua kali -- mati terbunuh saat kampanye. Ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto -- yang juga pernah menjadi presiden dan PM -- mati dihukum gantung oleh Presiden Muhammad Zia-ul-Hak. Yang terakhir ini, juga tewas dalam ledakan pesawat udara.
Sedangkan nasib kaum perempuan pun setali tiga uang. Hanya anak-anak orang kaya dan politikus yang bisa mengenyam pendidikan yang baik. Benazir Bhutto misalnya, lulusan Oxford dan Harvard. Atau, Hina Rabbani Khar yang merupakan perempuan termuda yang pernah menjabat menteri luar negeri Pakistan. Saat dilantik pada Juli 2011, usianya baru 34 tahun. Hina berasal dari keluarga kelas atas Pakistan. Ayahnya, Ghulam Rabbani Khar, adalah politikus dan tuan tanah. Hina lulusan Universitas Massachusetts, AS, bidang manajemen dan bisnis.
Sementara itu, bagi perempuan Pakistan pada umumnya, terutama yang tinggal di desa-desa, tentu tidak bisa bernasib sebaik Bhutto dan Khar. Nasib kaum perempuan kebanyakan, jangankan menjadi politikus, memperoleh pendidikan yang baik pun masih merupakan barang langka.
Di sinilah relevansi penghargaan Nobel Perdamaian buat Malala. Gadis belia 17 tahun ini telah membetot perhatian dunia bahwa masih banyak kaum perempuan yang bernasib malang. Bukan hanya belum berkesempatan mengenyam pendidikan yang baik, tapi juga kerap menjadi objek berbagai kekerasan. n