REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Pelantikan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden baru Indonesia disambut dengan antusiasme pesta kerakyatan yang meriah.
Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin (relatif) autentik dalam pemilihan presiden kali ini mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan yang digerakkan oleh simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan ini bergerak serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja, Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.
Kebangkitan musim semi kesukarelaan ini memberi dian pemandu untuk keluar dari krisis kepercayaan dalam politik. Krisis ini muncul karena warisan sisi-sisi gelap masa lalu yang tak sepenuhnya kita kenali. Untuk mengenali sebab-sebabnya, kita harus berani menyusuri lorong gelap masa lalu untuk menemukan visi dan formula perubahan yang tepat, bukan mengandalkan resep-resep umum yang telah dikenal.
Bagi siapa saja yang bertekad menghadapinya, krisis yang diwariskan itu bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam, melainkan membuka peluang bagi perubahan fundamental. Dengan sikap demikian, krisis merupakan kritik alam tentang perlunya kerendahan hati bahwa kemungkinan historis itu jauh lebih kaya dan beragam ketimbang konsepsi intelektualitas manusia.
Oleh karena itu, betapa pun krisis bisa membawa tragedi kemanusiaan, kita tidak boleh kehilangan harapan. Sikap yang diperlukan bukanlah meremehkan masalah atau mengecilkan hati, melainkan optimisme realistis.
Warisan terbaik para pendiri bangsa ini adalah “politik harapan” (politics of hope), bukan “politik ketakutan” (politics of fear). Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia.
Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala.
Akan tetapi, politik harapan harus berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan. Di sinilah titik genting politik Indonesia saat ini. Wacana dan perjuangan politik lebih didorong oleh pertarungan kepentingan ketimbang pertarungan gagasan.
Melemahnya kekuatan visi membuat politik kehilangan responsibilitasnya. Berbagai kebijakan dan pilihan politik yang dikembangkan sering kali tak memenuhi empat prinsip utama suatu politik yang responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan.
Dengan keempat prinsip ini, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah. Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi, watak politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang.
Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan lewat aktualisasi politik harapan.
Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk merealisasikan politik harapan suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya justru membuatnya apatis.
Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.
Semua pihak harus menyadari bahwa politik, sebagaimana dikatakan Hannah Arendt, adalah suatu “ruang penjelmaan” (space of appearance) yang memungkinkan dan merintangi pencapaian manusia di segala bidang. Oleh karena itu, terang-gelapnya langit harapan di negeri ini sangat ditentukan oleh warna politik kita.
Para pemimpin harus insaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya berkuasa hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggung jawab dan penghormatan pada yang lain. Bermula dari keinsafan para pemimpin di pusat teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput, membawa bangsa keluar dari kelam krisis menuju terang harapan.