REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Hari Pahlawan baru saja berlalu, tetapi berita yang mengiringi peringatan para pahlawan pendahulu yang memperjuangkan kedaulatan justru berisi kenyataan yang mengusik rasa nasionalisme kedaulatan kita.
Satu kabar memilukan datang dari Desa Kinokot, Nunukan, Kalimantan Utara, di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Seluruh warga desa memilih pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia. Mereka memilih Malaysia karena merasa lebih diperhatikan Pemerintah Malaysia. Dari negeri jiran tersebut mereka mendapat gaji, fasilitas pendidikan, dan kebutuhan lain.
"Warga desa ini seluruhnya 100 persen memilih menjadi warga negara Malaysia," kata Ramli, anggota DPRD yang mendapat laporan setelah mengunjungi kawasan perbatasan bersama kolega dari DPRD Nunukan. Risiko jangka panjang yang mengkhawatirkan adalah desa yang masuk wilayah Indonesia itu bisa diklaim sebagai bagian Malaysia karena berada di zona perbatasan dan penduduknya memilih menjadi warga negara Malaysia.
Bukankah Sipadan dan Ligitan hilang dari kedaulatan Indonesia dengan pertimbangan Malaysia dimenangkan karena sudah membangun infrastruktur lebih dahulu di sana? Lalu, apa tindakan kita? Selamatkan saudara-saudara di perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan dan perhatian, bukan dengan kekerasan.
Berita lain yang juga mengusik kedaulatan adalah tercatatnya warga negara Indonesia (WNI) dalam wajib militer Singapura. Ketika TNI dan Singapura mengadakan latihan bersama di Magelang, dua prajurit yang didaftarkan untuk ikut latihan adalah WNI. Mereka ternyata permanent resident di Singapura dan wajib harus ikut dalam wajib militer.
Sedangkan dari sisi hukum Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 2006, WNI bisa kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Presiden. Akibatnya, kedua WNI tersebut dideportasi kembali ke Singapura dan tidak ikut berpartisipasi dalam latihan bilateral.
Berita ketiga terkait pelanggaran kedaulatan negara yang cukup membuat kita miris. Sebuah pesawat asing melanggar wilayah udara Indonesia, melintas tanpa izin. Setelah dipaksa mendarat, pesawat tersebut didenda Rp 60 juta dan terbang kembali.
Apa yang memprihatinkan? Untuk mengejar pesawat tersebut, TNI AU harus menerbangkan dua jet Sukhoi yang sekali terbang, masing-masing pesawat memakan biaya operasional Rp 400 juta. Artinya, untuk force down (memaksa turun) saja biayanya mencapai Rp 800 juta, tapi pelanggar hukum hanya didenda Rp 60 juta. Padahal, hukum yang berlaku memungkinkan pesawat tersebut didenda sampai Rp 2 miliar.
Pesawat yang tidak memiliki flight approval, yang merupakan salah satu syarat terbang antarnegara, adalah milik pemerintahan Arab Saudi yang melintasi Indonesia menuju Australia guna mempersiapkan kunjungan raja Saudi ke Benua Kanguru tersebut.
Perizinan seperti ini seharusnya tidak memakan waktu lama karena persahabatan Indonesia dan Arab Saudi sudah terjalin baik, tapi mengapa mereka tidak mengurus perizinan sejak awal? Mengapa juga denda yang dikenakan begitu kecil, mengingat negara pelanggar juga mempunyai sumber dana untuk membayarnya? Mengapa pula bangsa Indonesia yang harus menanggung biaya yang diakibatkan pelanggaran bangsa asing?
Semua berita di atas seharusnya menyentak seluruh rakyat untuk kembali kepada spirit perjuangan pada masa lalu demi mempertahankan kedaulatan. Hanya saja jika dulu mempertahankan kedaulatan dengan kekuatan militer, kini selain kekuatan militer, kita harus memperjuangkan kedaulatan dengan kekuatan ekonomi, kekuatan kesejahteraan, kekuatan persatuan, diplomasi, dan kekuatan apa pun yang kita miliki.
Jika Indonesia kuat dan sejahtera, tidak hanya bangsa sendiri yang bangga dan menghargai, bangsa lain pun akan ikut menghormati.