Jumat 19 Dec 2014 06:00 WIB

Kedipan Buram Politik Indonesia

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Clifford Geertz, antropolog dari Amerika Serikat, menjelaskan makna penting sebuah perilaku seseorang – kita sebut saja sebagai tindakan sosial seperti kata Max Weber -- dalam sejarah kebudayaan. Tindakan itu semacam kode atau isyarat. Kode itu bisa dienkripsi atau dipahami oleh orang lainnya sehingga terjadi interaksi. Untuk memudahkan pengertian, pakar soal Indonesia itu membuat perumpamaan kedipan mata. Sebuah kedipan bisa merupakan isyarat atau kode, bisa pula cuma sedang kedutan saja. Jika cuma kedutan maka hal itu tak bermakna apa-apa, bukan sebuah tindakan sosial.

Mengutip Clyde Kluckhohn, Geertz menyebutkan, kebudayaan adalah, salah satunya, suatu endapan sejarah. Mirip endapan yang membentuk lapisan tanah. Bagi pakar geologi, endapan itu dimaknai sebagai riwayat tanah. Namun bagi arkeolog endapan itu menjadi jejak sejarah kebudayaan. Sebagai contoh, lapisan-lapisan tanah di Sangiran, di dinding bengawan Solo, adalah saksi sejarah panjang umat manusia: di sanalah ditemukan pithecanthrophus erectus.

Karena itu, bagi Weber, manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri. Dalam konteks ini, Geertz menilai kebudayaan adalah jaringan-jaringan itu. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk bisa menangkap makna dari setiap lapisan endapan, bahkan walau sebuah noktah sekalipun. “Sebuah bercak tingkah laku, sebuah bintik kebudayaan, dan voila! -- sebuah gerak isyarat,” kata Geertz, dalam sebuah esainya.

Kita, rakyat Indonesia, yang orang kebanyakan ini sudah semestinya bisa membaca setiap isyarat atau kode dari perilaku elite ini. Saat ini, mereka sedang membuat dagelan yang tak lucu: republik serba tandingan. Ada DPR tandingan, ada Partai Golkar tandingan, ada PPP tandingan. Khusus soal DPR sudah hampir tiga bulan berlalu. Semua itu tak memberikan makna positif sama sekali bagi laju peradaban Indonesia. Ia akan menjadi endapan atau noktah dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Endapan kotor yang hitam. Kita tak bisa menilai semua itu semacam kedutan mata saja yang tanpa makna. Hal itu telah menimbulkan kemacetan dalam proses bernegara. Kita telah disandera mereka. Parlemen tak bisa berfungsi, checks and balances kekuasaan tak terjadi.

Salah satu ciri dari sistem demokrasi – sebuah sistem perwakilan – adalah terhentinya kaitan langsung masyarakat selaku pemegang kedaulatan yang sejati dengan proses pengambilan keputusan. Semua diserahkan kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini tak terjadi di masa kerajaan di masa lampau. Seorang rakyat – sekali lagi “seorang” -- bisa melakukan appeal kepada raja jika ada sesuatu yang menurut dirinya tak sesuai, apapun itu. Ia bisa menetap di gerbang istana sampai raja berkenan. Kendatipun, dalam sistem kerajaan, namun nasib sial akan tiba jika raja murka, bisa mati dibunuh atau diusir secara keras.

Lalu apa yang bisa dilakukan kita terhadap arogansi politisi kita saat ini? Kedipan apa yang harus kita lakukan? Kita tak bisa menunggu sampai lima tahun mendatang saat kita mempunyai kesempatan – saat kedaulatan menghampiri kita lagi sebagai rakyat – untuk menghukum mereka. Sikap diam kita hanya dimaknai oleh mereka bahwa kita cuma sedang kedutan. Ini menunjukkan bahwa komunikasi politik antara elite dan akar rumput tak berjalan secara sehat. Ada pengabaian dan kebebalan di satu sisi, ada apatisme dan frustrasi di sisi lain.

Semua itu tak tercipta seketika dan secara begitu saja. Kita masih dihinggapi penyakit yang sama, sejak masa Orla hingga masa Orba, yaitu paternalistik, transaksional-pragmatis, dan populisme. Kita terjebak di lumpur yang sama. Kita tentu tak ingin episode 20-30-an tahun, saat huru-hara besar kembali meledak seperti 1965 dan 1998. Fakta-fakta menunjukkan bahwa jurang kaya-miskin kian lebar, politik oligarkis makin kuat, nepotisme dan politik dinasti merajalela, korupsi makin meraksasa tak terhenti, ekonomi hanya berbasis sumberdaya alam, serba impor untuk segala hal, utang swasta tak terkontrol lagi, tak berdaulat terhadap devisa hasil ekspor, dan seterusnya.

Jika regangan ini tak dihentikan maka pada titik tertentu akan melepaskan energi dahsyat. Musuh kita bukan lagi diktator karena kita sudah demokratis. Musuh kita adalah sesama kita sendiri. Tentu kita tak ingin semua itu terjadi. Itu bukan hanya kedipan buram tapi dentuman mematikan. Kita harus mencegahnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement