Senin 19 Jan 2015 06:00 WIB

Israel Minta Mahmud Abbas Disingkirkan

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Dalam beberapa waktu terakhir ini Palestina tak lagi jadi berita utama di media internasional, termasuk di kawawan Timur Tengah sendiri. Penyebabnya apalagi kalau bukan tingkah polah kelompok-kelompok radikal, seperti al-Qaida, ISIS, Jabharu an Nasrah, Bako Haram, Taliban, dan seterusnya. Para pemimpin dunia, terutama di negara-negara Barat,  kini lebih disibukkan dengan persoalan  kelompok-kelompok radikal yang muncul di kawasan mereka sendiri, seperti ketika terjadi serangan terhadap majalah Charlie Hebdo. 

Hal yang sama juga terjadi di Timur Tengah. Mereka juga direpotkan oleh pengaruh al Qaida, ISIS, dan kelompok-kelompok radikal lainnya yang semakin menguat. Apalagi kawasan Timur Tengah juga masih disibukkan dengan persoalan-persolaan dalam negeri mereka yang hingga sekarang belum tuntas menyusul terjadinya angin beliung revolusi rakyat di sejumlah negara Arab, yang kemudian dikenal sebagai al Rabi’ al ‘Araby.

Akibatnya, persoalan-persoalan yang terkait dengan bangsa Palestina pun terlupakan. Termasuk ketika muncul kelompok-kelompok ekstrimis yang kini menguasai dunia perpolitikan di Israel. Tepatnya sejak Ehud Barak keluar dari kepemimpinan (perdana menteri) negara Israel sekitar 13 tahun lalu. Rakyat Israel lebih memilih pemimpin ekstrim yang mereka anggap sebagai pemimpin yang kuat. Ehud Barak mereka pandang sebagai pemimpin lemah, karena itu hanya berkuasa tiga tahun saja (1999-2001). Ia dikalahkan Benjamin Netanyahu yang menjadi perdana menteri (PM)) hingga sekarang.

Setiap kali Netanyahu terpilih kembali menjadi PM, jumlah anggota kabinet yang mempunyai pandangan dan sikap radikal bin ekstrim di pemerintahannya pun bertambah. Termasuk ketika Netanyahu menunjuk Avigdor Lieberman sebagai menteri luar negeri. Pandangan dan sikap ekstrim ini tentu saja yang menyangkut dengan persoalan bangsa Palestina.

Meningkatnya kelompok radikal dan ekstrimis di pemerintahan Israel ini lantaran mereka menganggap bahwa perdamaian dengan Palestina  bukan sesuatu yang penting. Atau bahkan sudah tidak diperlukan lagi, sebab bahaya yang bisa mengancam keamanan negara Zionis Israel sudah sangat berkurang.

Ya, Zionis Israel kini memang sedang euforia. Mereka merasa lebih aman. Mereka merasa tidak lagi dalam bahaya. Apalagi dunia internasional kini sepertinya sudah tidak atau kurang peduli dengan penyelesaian politik (baca: perundingan damai) konflik Arab/Palestina-Israel. Para politisi Israel tidak lagi memikirkan untuk berunding dengan Palestina. Tuntutan mereka kini lebih ekstrim lagi, yaitu mencaplok wilayah-wilayah Arab dan Palestina yang mereka duduki  untuk dijadikan sebagai wilayah Negara Ibrani. Semua yang menentang atau menghalangai tuntutan mereka kalau perlu disikat.

Yang terakhir adalah tuntutan Menlu Israel Lieberman untuk menyingkirkan Presiden Palestina Mahmud Abbas.  ‘‘Abbas adalah teroris. Dia (Abbas) sedang memimpin negara teroris untuk melawan dan membahayakan Israel. Karena itu ia harus dihabisi. Ia harusdisingkirkan dari kehidupan politik Palestina,’’ ujar Lieberman seperti dikutip media al Sharq al Awsat.

Dalam pandangan Lieberman, Presiden Abbas adalah perintang dan karena itu perlu dihabisi. Namun, kita tahu bahwa menteri luar negeri Israel itu tentu tidak bisa mengganti Mahmud Abbas atau menentukan pemerintahan Palestina di Ramallah. Yang ia bisa lakukan adalah menculik atau membunuhnya. 

Apa yang dianggap ‘teroris dan membahayakan’ oleh Lieberman itu tidak lain adalah tindakan Presiden Mahmud Abbad yang telah menandatangai surat untuk membawa Palestina bergabung dengan Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court/Pengadilan Kriminal Internasional) atau ICC pada awal Januari ini. Dengan bergabung dengan ICC, maka akan memungkinkan pihak-pihak di Palestina untuk menuntut para pejabat Israel -- sipil maupun militer --  sebagai penjahat perang.

Langkah Presiden Abbas itu kini sudah menampakkan hasil. Tiga hari lalu sebuah tim jaksa ICC di Den Haag menyampaikan bahwa mereka sedang mempelajari bukti-bukti permulaan tentang terjadinya kejahatan perang di wilayah Palestina, utamanya di Jalur Gaza. Ini adalah langkah resmi pertama ICC yang bisa membawa sejumlah pejabat Israel -- sipil maupun militer -- kepada tuduhan sebagai penjahat perang dan penjahat kemanusiaan.

Mengapa tindakan Presiden Mahmud Abbas dianggap Lieberman sebagai teroris? Mengapa pula komentar pejabat Hamas yang membela serangan ke majalah Charlie Hebdo juga dianggap teroris meskipun sang pejabat telah menarik komentarnya? Bukankah yang justeru harus dianggap teroris adalah Lieberman?

Mahmud Abbas memang layak dikritik. Namun, bukan karena keinginannya menyeret sejumlah pejabat Israel sebagai penjahat perang. Ia perlu dikritik karena lamban dan kurang atau tidak bertindak tegas terhadap Israel selama bertahun-tahun ia menjadi Presiden Palestina. Apa yang ia lakukan sekarang adalah tindakan yang seharusnya. Ia tidak melanggar undang-undang internasional atau peraturan dunia lainnya.  

Yang harus dikritik dan dikecam adalah justeru sikap dan tindakan Lieberman dan Pemerintah Israel yang terus menjajah dan menguasai tanah air Palestina. Juga Pemerintah Presiden Barack Obama yang terus ‘merestui‘ tindakan brutal Israel, termasuk ketika  menguasai Madinatul Quds (Yerusalem Timur) yang terdapat di dalamnya Masjidil Aqsa.   

Kita tahu bila konflik Palestina-Israel tidak segera ada penyelesaian politik maka kawasan Timur Tengah bisa dipastikan akan terus bergolak. Sayangnya, sekali lagi, AS yang menjadi fasilitaror perundingan damai Palestina-Isreal selalu bertindak berat sebelah. AS bahkan membiarkan terus menerus pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Zionis Israel. Sejak Perjanjian Oslo hingga pelanggaran terhadap resolosi Dewan Keamanan Persatuan Bangsa Bangsa.

Lalu apakah masyarkat dunia yang cinta kemerdekaan dan kebebasan ini akan terus diam menghadapi kesewenang-wenangan Zionis Israel ini? Apakah jutaan umat Islam dan Arab akan terus menjadi penonton terhadap tindakan Zionis Israel yang membangun ribuan pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan, mengusir warga Palestina, dan menjadikan tanah air Palestina sebagai wilayah negara Zionis Israel?

Persoalan bangsa Palestina akan terus menjadi penyebab bergolaknya kawasan di Timur Tengah, bahkan dunia, meskipun ia kini jarang disebut dalam berita-berita mengenai konflik di Suriah dan Irak. Atau bahkan dalam perang melawan kelompok-kelompok radikal seperti al Qaida, ISIS, Bako Haram, Taliban, dan seterusnya.

Pembelaan AS dan pihak-pihak lain terhadap kesewenang-wenangan dan kebrutalan Israel di tanah air Palestina bisa dipastikan akan memunculkan kebencian. Kebencian akan melahirkan sikap radikalisme. Radikalisme akan menyebabkan seseorang untuk bertindak anarkis alias teror.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement