REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Buat sebagian besar orang, Laila Fitriani Ahmad mungkin hanya sekadar nama. Nama remaja putri yang tewas setelah motornya disenggol iring-iringan bus polisi yang bertugas melakukan pengamanan pada persidangan praperadilan Komjen Budi Gunawan versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Buat kebanyakan orang, kecelakaan di dekat Mabes Polri mungkin hanya sekadar berita: seorang siswi SMK tewas ketika dibonceng ayahnya. Namun, bagi Ahmad Guntur, hari itu adalah kali terakhir dia bisa melihat senyum manis sang putri yang baru saja merayakan ulang tahun. Hari itu ia menyaksikan anaknya berpulang ke Sang Pencipta.
Seterusnya, keluarga mereka tak lagi sama. Sang ayah juga bunda kehilangan seluruh momentum diskusi akan masa depan Laila. Seperti mau memilih jurusan apa di kelas dua, akan kuliah di mana, nanti menikah tunggu lulus atau sambil kuliah. Seluruh deret diskusi dan momentum kebersamaan keluarga dengan Laila mendadak terenggut sempurna.
Bagi saya pribadi, nama-nama di atas bukan sekadar sosok dalam berita, melainkan teman, saudara, dan kenalan masa kecil. Adik Guntur adalah teman baik saya ketika SMP, juga SMA. Dari dialah saya pertama kali mendengar kisah memilukan ini.
Imajinasi kontan membayangkan kecelakaan yang terjadi ketika sang adik bercerita akan kakaknya, Guntur, yang dalam keadaan terbaring lemah, kaget, spontan berteriak-teriak panik, "Tolong anak saya, tolong anak saya, tolong anak saya ...!"
Saya bisa merasakan sebagian nyawa lenyap dari seorang ayah saat melihat anaknya tergeletak terluka parah dan berdarah-darah sementara dirinya sendiri tidak mampu berbuat banyak karena ia pun dalam keadaan syok dan terluka. "Tolong anak saya, tolong anak saya."
Bus aparat yang menabrak mereka terus melaju, berhenti pun tidak. Lalu muncul bus lain mendekat. Sang ayah melambaikan kakinya, ya dengan kaki, meminta bantuan. Beruntung bus aparat tersebut berhenti dan memberi bantuan, tapi nyawa sang anak sudah tidak bisa diselamatkan.
Berapa harga sebuah nyawa? Tak ada yang bisa membayarnya. Berapa harga sebuah kenangan? Tak akan sanggup kita membelinya.
Akan tetapi upaya keadilan seharusnya tetap diperjuangkan, mampu ditegakkan. Sekalipun tak akan mengembalikan nyawa remaja putri yang dikenal cantik, sangat baik, dan ramah oleh teman-temannya, tapi akan menjadi pembelajaran tegas bagi semua pihak agar tidak terulang lagi.
Alhamdulillah, pihak Polri berjanji akan mengusut tuntas peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa gadis berjilbab ini. Sedikit pun saya dan banyak pihak tidak pernah kehilangan kepercayaan akan kemampuan, kecerdasan, serta rasa keadilan dari para penegak keadilan.
Saya teringat beberapa tahun lalu ketika iring-iringan presiden secara tidak langsung mengakibatkan kecelakaan maut di jalan tol. Apakah ini pelajaran mahal yang sama?
Apakah sudah saatnya kita mengevaluasi kecepatan iring-iringan mobil aparat. Benarkah harus selalu sedemikian cepat? Apalagi jika hanya dalam perjalanan pulang.
Sungguh ironis. Ketika Budi Gunawan menuntut keadilan, ketika KPK menuntut keadilan, ketika persidangan dilangsungkan untuk memastikan keadilan tetap dipelihara, di saat yang sama, seorang anak SMA dan seorang ayah dari keluarga biasa, tanpa terduga terkena imbas dan jatuh menjadi korban, dari perkara yang sama sekali tidak ada hubungan apa-apa dengan mereka.
Teringat satu peribahasa, gajah bertarung pelanduk mati di tengah-tengah. Bahkan, meski dalam kejadian ini sang pelanduk tidak berada di antara dua gajah, ia tetap menjadi korban.
Semoga para pemimpin di Tanah Air sadar, apa pun yang mereka lakukan akan besar pengaruhnya bagi rakyat. Semoga banyak pihak belajar dari peristiwa-yang saya yakin bukan merupakan kesengajaan, melainkan kelalaian semata-ini. Doa saya untuk ananda Laila Fitriani Ahmad, semoga Allah memeluk dan menjadikanmu bidadari di surga terindah. Amin.