REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Pedagogik Indonesia. HAR Tilaar, guru besar emeritus berusia 83 tahun (lahir 1932), adalah salah satu di antara sedikit pengkaji dan praktisi pendidikan yang masih sangat aktif dan prolifik menulis. Selain Pedagogik Teoritis untuk Indonesia (2015) yang merupakan karya mutakhirnya, dia telah menulis 28 buku dan 21 buklet tentang pendidikan. Belum lagi makalah dan artikel.
Tilaar adalah salah satu dari sedikit pemikir dan penggerak pedagogik kritis di Indonesia bersama figur semacam Mansour Faqih dan Mochtar Buchori-yang keduanya telah almarhum. Pemikiran pendidikan dan pedagogik kritis tokoh-tokoh ini secara tipikal melihat pendidikan dalam kaitan dengan politik, sosial, budaya, filsafat, atau agama.
Pendidikan lebih daripada sekadar teknologi pendidikan atau persiapan pengajaran dan pembelajaran di kelas. Sayangnya, banyak kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan -termasuk LPTK, perguruan/fakultas yang menghasilkan guru- cenderung terbelenggu masalah teknis administratif yang bukan tidak menyita waktu. Akibatnya, para guru dan belakangan juga dosen semakin tidak punya kesempatan meningkatkan penguasaan substansi untuk mereka sampaikan kepada peserta didik.
Keadaan ini kian parah dalam dasawarsa terakhir ketika dunia pendidikan Indonesia sejak dari TK sampai perguruan tinggi mengalami proses birokratisasi terus-menerus. Para guru dan dosen sibuk dalam berbagai usaha mendapatkan sertifikasi atau mempertahankannya. Mereka menghabiskan waktu berhari-hari mengisi borang semacam penilaian kinerja guru (PKG) atau beban kerja dosen (BKD) dengan ketentuan dan poin yang sering tidak logis.
Jika mereka tidak mampu atau salah mengisi poin tertentu dalam borang semacam PKG atau BKD, bukan tidak sering mereka mendapat intimidasi dari atasan atau inspektorat kementerian. Mereka dengan mudah diancam sebagai 'melakukan perbuatan melawan hukum' atau 'harus mengembalikan tunjangan sertifikasi yang telah mereka terima'.
Karena itu, Tilaar mencatat, dunia pendidikan Indonesia terlalu dikuasai struktur kekuasaan. Akibatnya, pemikiran dan ilmu pendidikan serta ilmu pedagogik tidak dapat berkembang-atau bahkan disebut telah mati. Meminjam kerangka Raymond Williams, pemikir asal Inggris yang sangat berpengaruh pada paruh kedua abad ke-20, pedagogik di Indonesia berada dalam kondisi budaya dominan-di bawah kekuasaan yang membelenggu.
Otonomi, kebebasan, dan kemerdekaan nyaris tidak ada lagi dalam dunia pendidikan Indonesia. Lembaga pendidikan hanya menjadi sekadar unit pelaksana teknis (UPT) kementerian yang terkait dengan pendidikan. Mereka menjadi sekadar melaksanakan kebijakan para birokrat dan administrator pendidikan, yang sering mengeluarkan ketentuan dan kebijakan salah kaprah, menyesatkan, dan menjerumuskan pendidikan ke lubuk tanpa dasar.
Singkatnya, dalam pandangan Tilaar, lenyapnya kebebasan dan kemerdekaan peserta didik karena disebabkan dua hal pokok, pertama, sekali lagi pendidikan terlalu banyak dicampuri politik praktis. Berbagai kekuatan politik ingin melihat hasil secara cepat dari sistem pendidikannya karena terkait anggaran.
Kedua, pendidikan terlalu dipengaruhi pandangan ekonomi yang melihat tujuan dan hasil pendidikan untuk jangka pendek. Pendidikan dipandang sebagai investasi untuk memperoleh profit dengan cepat; pendidikan bukan dilihat sebagai investasi untuk pengembangan kapital budaya dan kapital sosial.
Jika pendidikan Indonesia dapat mencapai kemajuan-tidak hanya transfer ilmu, tapi juga melahirkan warga Indonesia yang merdeka mengembangkan imajinasi, kreativitas, dan harkat dirinya-perlu perubahan mendasar dan fundamental. Meminjam kerangka AP Hargreaves & DL Shirley dalam The Global Fourth Way (2012), perubahan radikal perlu dilakukan dalam empat hal.
Pertama, pembatasan tugas mengajar bagi guru (dan juga dosen). Mereka sebaiknya belajar lebih banyak dan lebih mendalam, termasuk dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, guru dan dosen tidak hanya kian berilmu, tapi juga dapat semakin efektif dalam proses pembelajaran.
Kedua, transformasi organisasi guru (dan juga dosen) untuk dapat lebih efektif memperjuangkan peningkatan penghargaan pada profesi guru dan dosen. Asosiasi guru dan dosen juga mesti meningkatkan perannya dalam peningkatan kondisi ekonomi dan kesejahteraan, sekaligus juga sebagai lokus peningkatan keilmuan dan profesionalitas para anggotanya.
Ketiga, peningkatan penguasaan teknologi oleh para guru dan dosen dalam rangka meningkatkan efektivitas pembelajaran. Dengan memanfaatkan dunia maya melalui e-learning, misalnya, para peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan sekaligus memecahkan berbagai hal yang mereka hadapi.
Keempat, pemberdayaan peran guru dan dosen sebagai dinamo perubahan. Mereka tidak hanya merupakan guru dan dosen profesional, tetapi juga intelektual yang menunjukkan jalan ke arah kemajuan peserta didik dan masyarakat.
Keempat rekomendasi ini tidak mudah diwujudkan, apalagi di tengah birokratisasi pendidikan yang terus berlangsung. Namun, sesulit apa pun keadaan, mereka yang cinta pada pendidikan Indonesia tidak boleh pernah menyerah.